eQuator.co.id – JAKARTA-RK. Badan Bahasa telah mencatat 668 bahasa daerah. Dari jumlah tersebut 74 bahasa dipetakan vitalitas dan daya hidupnya. Keluarga diharapkan sebagai ujung tombak penjaga bahasa daerah.
Menurut data dari Badan Bahasa, 11 bahasa dinyatakan punah. Empat bahasa dinyatakan kritis dan 22 bahasa terancam punah. Sedangkan yang berstatus aman hanya 19 bahasa.
Kepala Badan Bahasa Dadang Sunendar mengakui bahwa hasil pemetaan menunjukkan perlunya langkah strategis terhadap kekayaan bahasa yang dimiliki Indonesia. ”UU Nomor 24 Tahun 2009 pasal 42 disebutkan bahwa pemerintah daerah wajib mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra daerah. Kewajiban itu ada di pemerintah daerah,” tutur Dadang, kemarin.
Menurutnya selama ini balai bahasa dan kantor bahasa di setiap provinsi sudah bekerjasama dengan pemerintah daerah. Kerja sama ini dalam rangka mengembangakan bahasa daerah. Dadang menyebutkan bahwa banyak pemerintah daerah yang belum mengalokasikan anggaran untuk perlindungan bahasa dan sastra daerah. ”Tidak ada presentase (dana APBD yang harus disisihkan, Red). Harusnya diimplementasikan dalam program kerja. Programnya apa banyak,” ucapnya.
Dia berharap agar pemda yang memiliki bahasa daerah melakukan afirmasi. Menurutnya, balai bahasa akan mendampingi untuk melakukan kegiatan tersebut.
Maret nanti Badan Bahasa akan mulai melakukan pemetaan bahasa daerah. memang dari 668 bahasa yang sudah dicatat, belum semua dipetakkan. Menurutnya, Indonesia memiliki lebih dari 750 bahasa daerah. ”Pemetaan bahasa daerah dipercepat harapannya tahun ini selesai. lama. Setelah pemetaan bahasa selesai maka akan dipilah mana yang harus direvilitasi,” ujarnya.
Kepala Pusat Pengembangan dan Pelindungan, Badan Bahasa Kemendikbud Gufran A. Ibrahim mengatakan bahwa keluarga memiliki peran penting dalam melestarikan bahasa daerah. Sebab, dari orang tua anak akan belajar bahasa daerah. Pada saat anak belajar berbicara, sebaiknya diajarkan dulu satu bahasa. Agar anak tidak bingung. ”Menurut saya yang perlu diajarkan pertama kali adalah bahasa daerah,” ungkapnya.
Gufran menekankan bahwa anak berhak memperoleh bahasa daerahnya. Selain itu, dengan mengajak anak dengan bahasa daerah maka menghindarkan bahasa daerah dari kepunahan. ”Supaya tidak kehilangan keindonesiaannya,” tutur Guru Besar Antropolinguistik Universitas Khairun, Ternate, itu.
Lebih lanjut Gufran menjelaskan jika dalam satu keluarga tidak lagi membiasakan bahasa daerah di lingkungan rumah maka hal itu tanda pertama kepunahan bahasa daerah. Hal tersebut selaras dengan penelitian Living Tongues Institute, nirlaba yang meneliti bahasa etnik di dunia. Living Tongues Institute menyebutkan bahwa bahasa punah bukan karena penuturnya berhenti bicara tapi karena selapis generasi tidak membiasakan anak-anaknya menggunakan bahasa daerah. ”Awal mula ancaman kepunahan bahasa itu ada di keluarga,” katanya. (Jawa Pos/JPG)