Wacana Registrasi Akun Medsos dengan KK

Tuai Pro-Kontra, Data Bisa Dimonetisasi Intelijen Asing

Ilustrasi.NET

eQuator.co.idJakarta-RK. BELUM jelas dampak registrasi kartu prabayar dengan menggunakan KK dan KTP, Pemerintah mulai mewacanakan registrasi akun media sosial (medsos) menggunakan data kependudukan tersebut. Praktis, wacana ini menuai pro dan kontra di kalangan pengamat medsos IT dan telko serta komunitas-komunitas blogger, vlogger, bahkan buzzer.

Mereka yang pro menyatakan setuju karena bisa membantu aparat menyiduk akun-akun medsos yang memuat Hate Speech (ujaran kebencian) dan hoax. Sedangkan mereka yang tidak setuju, beralasan dengan registrasi menggunakan KK atau KTP sama saja menjual data penduduk kita ke asing. Pihak Ditjen Informasi dan Komunikasi Publik (IKP) Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo) juga belum bisa memastikan apakah akan dilakukan dengan mekanisme seperti kartu prabayar atau tidak.

Dirjen IKP Kemkominfo, Niken Widiastuti, mengatakan program registrasi kartu prabayar yang merupakan kebijakan Kemkominfo bisa dikatakan sukses. Sudah ada 351 juta yang teregistrasi. Namun, belum bisa dijadikan barometer untuk diterapkan ke hal lain.

“Ini kan baru wacana ada yang mempunyai ide dan mengusulkan registrasi resmi di media sosial seperti kartu prabayar,” terang Niken, di Jakarta, seperti dilansir INDOPOS (Jawa Pos Group), Kamis (15/3).

Lebih jauh, dijelaskan Niken, registrasi akan efektif supaya publik bisa bertanggung jawab atas apa yang disebarkan dan diucapkan dalam akun-akun medsos mereka. Sehingga, medsos akan lebih sehat dan bersih dari hal-hal yang berbau perseteruan, perpecahan, dan saling membenci.

Hanya saja, ia kembali menegaskan, jika itu masih sebatas wacana dini dan belum sampai ada mekanismenya. “Ini masih wacana awal, tentu perlu kajian-kajian yang mendalam dari berbagai aspek, baik itu sosial, hukum, ekonomi dan politik, jadi ini masih panjang sekali,” jelas Niken.

Namun, walau masih awal dan belum mengarah ke konsepnya, Niken mengapresiasi positif wacana tersebut. “Bagi saya ini wacana yang bagus, tapi kalau ditanya bagaimana ke depannya, saya belum tahu, kan masih perlu kajian,” tegasnya.

Secara pribadi, tidak atas nama Kemkominfo, Niken berkeyakinan bahwa wacana ini bisa saja mengikuti jejak keberhasilan registrasi kartu prabayar yang jadi alasan awal munculnya ide ini. “Kemungkinan (berhasil, red) ya, tapi kembali lagi kita belum tahu, masih kemungkinan,” tandas dia.

Jika pemerintah masih mentah dalam wacana registrasi akun medsos, pengamat telko, Founder Indo Telko Forum, Doni Ismanto Darwin mengatakan ide harus mendaftarkan NIK dan KK untuk mendapatkan akun media sosial adalah hal yang berlebihan dan dapat merugikan pengguna serta Indonesia secara lebih besar.

Ia menjelaskan, harus disadari bahwa Indonesia belum memiliki UU Perlindungan Data Pribadi untuk melindungi pengguna atau masyarakat baik dari pengumpulan informasi secara tak bertanggung jawab atau pemanfaatan data pribadi untuk komersial. “Selama UU PDP tak ada, posisi pelanggan akan lemah dan cenderung diminta untuk terus lebih berhati-hati,” bebernya.

Itu terjadi dikarenakan registrasi prabayar berbasis NIK dan KK dimana akhirnya pengguna juga diminta untuk melindungi diri sendiri dengan hati-hati dalam memosting data. “Harap diketahui di Indonesia ini top aplikasi adalah sosial media dan chatting (nyaris 87 persen dan 84 persen) pengguna internet di Indonesia melakukan dua hal ini,” tutur Doni.

Jika dilihat dari maraknya pengguna media sosial, masyarakat Indonesia paling suka menggunakan WhatsApp, Facebook, dan Twitter milik negara asing. Jika NIK dan KK digunakan untuk registrasi sama saja memberikan data penduduk secara sukarela ke asing.

“Padahal, di bisnis digital itu yang mahal memiliki data pelanggan secara tepat agar bisa diprofiling setelah itu ditawarkan untuk berbagai produk bisa dalam bentuk iklan dan lainnya,” jelasnya.

Terus, soal keamanan, lanjut dia, dapat dibayangkan jika platform “asing” ini bisa tahu sampai detail penggunanya, lantas perlindungan negara bagaimana ke depan? Doni mengatakan, wacana pemerintah tersebut benar atau tidaknya tentu akan tetap dilaksanakan. Bahkan sebenarnya isu pelanggan itu benar atau tidak memberikan data dalam menggunakan aplikasi harusnya dikembalikan ke si pelanggan.

“Misal, ketika menggunakan aplikasi pembayaran, bisa dipastikan pelanggan memberikan data benar, karena antisipasi jika terjadi dispute dengan pemilik platform tentu akan lebih mudah,” terangnya.

Untuk solusi, ia memaparkan, sebaiknya cukup nomor kartu prabayar handphone menjadi acuan. Hal ini dikarenakan tidak akan ada koneksi internet tanpa nomor selular atau telepon rumah.

“Bukannya registrasi SIM Card sudah diperketat yah. Maka dari itu, jangan lupa filosofi tadi, secara digital Indonesia ini belum berdaulat. Kok malah “memberikan” harta karun paling berharga ke pemilik platform?” tanya Doni. “Harta karun yang dimaksudkan yakni data. Karena di era digital, data adalah tambang emas yang dimonetisasi menjadi bisnis,” imbuhnya. (INDOPOS/JPG)