Wacana Jaringan Gas Trans-Kalimantan Berhembus (Lagi)

Gara-gara Keputusan Pemindahan Ibu Kota

Ilustrasi pemindahan ibu kota. Foto: Prokal/JPNN

eQuator.co.id – PALANGKA RAYA-RK. Keputusan pemerintah untuk memindah ibu kota ke Kalimantan memantik beragam reaksi. Bahkan, wacana pembangunan saluran pipa transmisi gas bumi trans-Kalimantan kembali berembus.

Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) menyatakan, pembangunan pipa transmisi gas bumi tersebut akan menghubungkan provinsi se-Kalimantan. Untuk mematangkan rencana itu, digelarlah focus group discussion (FGD) di Swiss-Belhotel Danum Palangka Raya kemarin (31/7).

Kegiatan tersebut dihadiri Gubernur Kalteng Sugianto Sabran. Orang nomor satu di Bumi Tambun Bungai itu mendukung penuh wacana pembangunan jaringan pipa gas trans-Kalimantan. Sesuai dengan rencana, jaringan pipa gas akan membentang dari Bontang, Banjarmasin, Palangka Raya, hingga Pontianak. Rencana itu diharapkan membawa berkah untuk kesejahteraan seluruh masyarakat. Sebab, dengan dipilihnya Kalimantan sebagai ibu kota, kebutuhan gas tentu ikut meningkat.

’’Terkait lahan dan lain-lain akan dipersiapkan. Kami susun perencanaan dengan membentuk tim untuk merekomendasikan lokasi mana saja yang akan diajukan,’’ ungkap Sugianto.

Karena Kalimantan akan menjadi ibu kota, lanjut gubernur, pihaknya berusaha maksimal untuk merealisasikan proyek tersebut. Dia juga berharap semua pihak mendukung. ’’Jika terwujud nanti, gas dapat digunakan setiap saat dengan harga relatif murah. Masyarakat dapat menikmati kekayaan sumber daya alam yang ada,’’ ucap mantan anggota DPR yang juga politikus senior PDIP itu.

Di tempat yang sama, Kepala BPH Migas Fanshurullah Asa mengungkapkan, rencana pembangunan saluran pipa gas trans-Kalimantan direncanakan sejak 2012. Jika terhubung, saluran pipa itu sangat mencukupi kebutuhan gas di calon ibu kota pemerintahan ke depan. ’’Jadi, kalau hanya untuk kebutuhan ibu kota, itu persoalan kecil dan kami yakin sangat mencukupi. Baik di Kalsel, Kalteng, maupun Kaltim,’’ tegasnya.

Jika pengerjaan selesai, Fanshurullah Asa meyakini bisa menggerakkan pertumbuhan ekonomi yang lebih bagus di masa mendatang. ’’Kami memohon kepada pemerintah provinsi melalui gubernur agar forum FGD dimanfaatkan untuk mengkaji pembangunan pipa trans-Kalimantan sebagaimana diamanahkan dalam rencana induk sejak 2012,’’ ungkapnya.

Jika didukung gubernur Kalteng bersama komisi VII, DPD, serta pihak-pihak lain, rencana tersebut bisa berjalan lancar. Persoalan itu penting karena berkaitan dengan kepastian pasokan maupun kebutuhan. Target pelaksanaannya masih menunggu hasil pengajuan badan usaha kepada BPH. ’’Hari ini (kemarin) kami meminta dengan hormat kepada gubernur se-Kalimantan dan jajaran untuk fokus terhadap penciptaan kebutuhan karena pasokan gas di Indonesia sangat mencukupi untuk jangka panjang nanti,’’ tegasnya.

Menurut dia, menciptakan kawasan industri menjadi hal penting. Diperlukan komitmen untuk mengonversi penggunaan pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) dan memanfaatkan potensi gas yang dimiliki. ’’Kalau sudah dinilai layak, badan usaha mesti bekerja sama dengan BUMD agar pengeluaran izin dan lahan dipermudah,’’ tuturnya.

Untuk wilayah Kalimantan, kata dia, ada tiga badan usaha yang mengajukan kepada BPH untuk melakukan investasi. Selanjutnya segera disusun studi kelayakan dan desainnya. ’’Untuk masalah perekonomian, saya kira ini sangat layak. Apabila dibandingkan dengan minyak, ini bisa setengah dari industri yang menggunakan BBM. Sangat efisien,’’ terangnya.

IBU KOTA BARU

HARUS JADI PUSAT BISNIS

Sementara itu, Peneliti The SMERU Research Institute Rendy A. Diningrat menilai ada ketidakkonsistenan pemerintah antara apa yang dicita-citakan dan yang dirancang. Menurut Rendy, pemerintah memiliki argumen bahwa pemindahan ibu kota adalah upaya pemerataan pembangunan dan ekonomi di luar Jawa. Namun, Bappenas masih memberi gambaran bahwa yang berpindah hanya pusat pemerintahan.

’’Dalam konsep-konsep urban planning, pemerataan pembangunan itu bisa dicapai ketika sebuah kota mampu menjadi pusat pertumbuhan baru,’’ ujar Rendy kepada Jawa Pos kemarin (31/7). Menurut Rendy, ibu kota baru harus memiliki basis ekonomi yang besar. Kota yang menjadi pusat kegiatan ekonomi dan bisnis tak hanya cukup menjadi pusat pemerintahan. ’’Jika tujuannya untuk pemerataan pembangunan, ibu kota baru harus didorong menjadi pusat bisnis,’’ tambahnya.

Rendy menyebutkan, Bappenas pernah menyatakan bahwa Jakarta menanggung beban berat terkait dengan urbanisasi. Jakarta juga dinilai punya risiko gempa bumi dan banjir. Selain itu, kemacetan Jakarta disebut menimbulkan kerugian ekonomi Rp 56 miliar per tahun. ’’Memindah pusat pemerintahan tak akan mengurangi beban Jakarta. Aktivitas pemerintahan hanya berkontribusi 10 persen pada beban ibu kota,’’ urai Rendy.

Dia berpendapat, jika pemerintah ingin menumbuhkan pembangunan dan ekonomi di luar Jawa, fokus yang bisa dilakukan adalah menggenjot ekspansi dan investasi di luar Jawa. Dalam RPJMN, rancangan pembangunan di luar Jawa sebenarnya banyak sekali. Misalnya, kawasan ekonomi khusus di luar Jawa dan rencana pembangunan destinasi-destinasi wisata baru. ’’Apakah pemerintah sudah pada kesimpulan bahwa proyek-proyek itu gagal sampai punya pemikiran memindahkan ibu kota?’’ urai Rendy.

Selain itu, dibanding harus memindah ibu kota, menurut Rendy, pemerintah perlu lebih dulu memastikan otonomi daerah sudah berfungsi dengan optimal. Sebab, hal itu menjadi salah satu instrumen pemerataan pembangunan. Dia lantas mencontohkan Bantaeng dan Banyuwangi yang berkembang pesat tanpa harus memindah ibu kota provinsi. ’’Karena kuncinya memang ada di kemampuan daerah untuk mengidentifikasi masalah. Dengan begitu, kebijakannya akan tepat sasaran,’’ papar Rendy.

Meski begitu, Rendy menyatakan tetap mendukung jika keputusan memindah ibu kota sudah bulat. Namun, rencana tersebut harus disertai kajian komprehensif dan rancangan yang tepat sasaran untuk menjawab berbagai permasalahan. ’’Catatannya adalah ibu kota baru harus dirancang juga sebagai pusat ekonomi dan bisnis. Selanjutnya, perlu diketahui bahwa jika tujuannya pemerataan ekonomi, asal pemerintah afirmatif dengan akselerasi pembangunan di luar Jawa, pemerataan pembangunan akan terjadi kok,’’ ucapnya.

Ahli tata kota Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Haryo Sulityarso menyatakan, untuk mendirikan suatu kota baru harus dipenuhi beberapa syarat. Baik syarat geologis, aksesibilitas, maupun kebencanaan. Selain itu, harus diperhatikan potensi terjadinya bencana alam. Bukan hanya gempa, melainkan juga banjir dan kebakaran hutan.

Di Kalimantan, ujar dia, rata-rata areanya merupakan tanah gambut. Karena itu, diperlukan perlakuan khusus untuk membuat fondasi. Biayanya tak murah. Ketersediaan air bersih juga tidak leluasa. Hasil lab ITS menunjukkan bahwa warna airnya kecokelatan dan sangat sulit menjadi jernih.

Di sisi lain, aksesibilitas harus menjadi perhatian. Baik aksesibilitas laut, udara, maupun darat. Sebab, utilitas suatu kota yang bersifat internasional harus memiliki tiga akses tersebut. Aksesibilitas darat tidak hanya mengenai penggunaan kendaraan, tetapi juga alternatif jika terjadi suatu hal. Hubungan tidak boleh sampai terputus. Misalnya karena kebakaran hutan. ’’Di Kalimantan, biasanya aksesibilitas pesawat sangat terbatas karena tidak berani landing atau take off. Jalur darat pun jarak pandang hanya 2–3 meter karena tertutup asap,’’ paparnya.

Selain aksesibilitas, pelayanan seperti kesehatan juga membutuhkan biaya besar. Karena itu, rencana pemindahan ibu kota harus benar-benar dipikirkan secara matang. ’’Karena akibatnya masih akan dirasakan ke depan. Ini yang harus dipikirkan betul. Jangan sampai ada masalah di kemudian hari,’’ jelasnya. (Jawa Pos/JPG)