eQuator.co.id – Pontianak-RK. Entah terbang kemana nurani dan cara berpikir hakim di Pengadilan Negeri (PN) Pontianak. Ketika Presiden Joko Widodo ‘tunduk’ pada desakan publik, segera meneken Perppu kejahatan seksual, pengadil di sana malah membebaskan terdakwa pencabulan anak di bawah umur.
Pencabulan tersebut terjadi tahun lalu. Terdakwa pencabulan berinisial SB, Direktur PT PAS yang bergerak di bidang perkebunan sawit. Ia tertangkap tangan tim Resmob Polda Kalbar bersama pelajar kelas 2 SMP yang baru berusia 13 tahun, di kamar Hotel Star Jalan Gajah Mada Pontianak, Jumat 11 September 2015.
Tak hanya hakim, keseriusan jaksa dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kalbar menuntut pelaku pencabulan anak pun patut dipertanyakan. Jangankan tuntutan maksimal penjara belasan tahun, jaksa penuntut umum (JPU) cuma menuntut SB setahun penjara. Gelap mata jaksa, lebih gelap mata hakim. Vonis bebas spesial dianugerahkan kepada SB.
Padahal, selain pencabulan anak di bawah umur, kasus tersebut diduga juga merupakan perkara perdagangan manusia yang jika terbukti hukuman minimalnya 3 tahun penjara. Pasalnya, Si Pelajar dijual oleh sepupunya berinisial KR (23 tahun) kepada SB seharga Rp1,4 juta. Selain mereka, satu pelaku lagi adalah karyawan hotel berinisial MM yang mempertemukan SB dengan KR.
Bersama korban dan para pelaku eksploitasi anak itu, polisi juga mengamankan sejumlah barang bukti. Diantaranya uang tunai Rp1,1 juta dan HP Samsung dari tersangka KR, uang tunai Rp600 ribu dan HP BlackBerry dari tersangka MM, tiga kondom dan HP iPhone 6 dari tersangka SB. Polisi pun menjerat pelaku dengan UU Perlindungan Anak nomor 35 tahun 2014.
Koordinator Komisi Yudisial (KY) Perwakilan Kalbar, Budi Dharmawan, menyatakan vonis yang diberikan tiga hakim PN Pontianak terhadap SB telah jadi perhatian publik. “Memang belum ada laporan, namun kita wajib menindaklanjutinya,” jelas Budi kepada Rakyat Kalbar, Kamis (26/5).
Ia mengakui kejanggalan dari vonis hakim tersebut. “Dua tersangka lainnya KR dan MM selaku mucikari itu divonis bersalah setahun penjara. Tetapi hakim malah memberikan vonis bebas kepada SB selaku pembeli anak di bawah umur. Padahal perkaranya split dan majelis hakimnya sama,” ujar Budi.
Langkah yang akan diambilnya adalah melaporkan majelis hakim yang memvonis bebas itu ke KY RI di Jakarta. “Selain itu, dalam waktu dekat ini ada koalisi antikejahatan seksual yang mau melapor dan mengeksaminasi putusan tersebut. Tentu laporan yang akan dibuat nanti itu akan kita tindaklanjuti,” pungkasnya.
Anggota Koalisi Masyarakat Anti Kejahatan Seksual, Lely Khainur, membenarkan. Menurut dia, rasa keadilan terhadap korban dan masyarakat telah dicederai para hakim.
“Kejanggalan sangat jelas terlihat dimana dua pelaku lainnya yang juga dijerat dengan pasal yang sama divonis bersalah oleh hakim dengan hukuman satu tahun penjara. Sedangkan SB divonis bebas,” tuturnya.
Selain melakukan eksaminasi publik, dalam konteks mendukung kasasi yang dilakukan JPU Kejati Kalbar, Koalisi juga ingin KY menganalisa vonis tersebut.
Sementara itu, Kasipenkum Kejati Kalbar, Supriyadi enggan berkomentar. “Saya masih di Jakarta, ada pelatihan,” tulisnya kepada Rakyat Kalbar via WhatsApp (WA), Kamis (26/5) pukul 18.17 WIB.
Kendati demikian, ia berjanji memaparkan bagaimana bisa tuntutan jaksa jauh dari ancaman hukuman maksimal dalam UU Perlindungan Anak. “Saya masih Diklat di Jakarta. Nanti ya Senin. Saya pulang, maka akan saya jelaskan,” timpalnya.
Laporan:Achmad Mundzirin
Editor: Mohamad iQbaL