eQuator.co.id – JAKARTA –RK. Hakim Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta memperberat hukuman mantan Menteri Sosial (Mensos) Idrus Marham. Yakni dari sebelumnya tiga tahun penjara dan denda Rp 150 juta menjadi pidana penjara lima tahun dan denda Rp 200 juta. Vonis di tahap banding itu sama dengan tuntutan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di pengadilan tingkat pertama.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, pihaknya menerima salinan putusan lengkap putusan PT DKI Jakarta, kemarin (18/7). Putusan itu telah dibacakan hakim PT DKI pada 9 Juli lalu. ”Kami hargai pengadilan yang telah menerima banding yang diajukan KPK dan menegaskan bahwa terdakwa (Idrus) terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan korupsi,” kata Febri.
Idrus dinyatakan bersalah dalam perkara korupsi proyek pembangunan PLTU Riau 1. Mantan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Golkar itu menerima uang Rp 2,25 miliar dari bos Blackgold Natural Resources Johannes Budisutrisno Kotjo. Uang itu diberikan Kotjo melalui mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih.
Febri mengatakan, pihaknya juga mengapresiasi PT DKI Jakarta yang cepat menyelesaikan putusan tersebut. Menurut dia, proses yang cepat itu membantu KPK dan pihak terdakwa untuk memahami secara lebih dalam bagaimana pertimbangan hakim. ”Sekaligus sebagai kebutuhan analisis apakah akan dilakukan upaya hukum atau tidak,” ungkapnya.
Saat ini, KPK mempelajari putusan tersebut. Dan menunggu upaya hukum Idrus. Apakah mengajukan kasasi atau tidak. ”Jika benar pihak terdakwa mengajukan kasasi, kami pastikan KPK akan menghadapi,” terang mantan aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) tersebut.
Kuasa hukum Idrus, Samsul Huda menilai putusan banding itu adalah keputusan yang fatal. Sebab, kata dia, Pengadilan Tipikor Jakarta telah menyidangkan perkara kliennya selama berhari-hari dengan menguji dakwaan, tuntutan, keterangan saksi, dan bukti-bukti. ”Kami heran bagaimana pengadilan banding bisa membatalkan putusan tingkat pertama?,” kata Samsul.
Menurut Samsul, hakim di tingkat banding salah menerapkan pasal 12 a UU Pemberantasan Tipikor untuk kliennya. Seharusnya, kata dia, hakim menerapkan pasal 11 UU Tipikor lantaran Idrus adalah pihak yang pasif dalam perkara suap PLTU Riau 1. ”Namanya dicatut oleh Eny untuk mendapatkan uang dari Kotjo,” paparnya. (Jawa Pos/JPG)