eQuator.co.id – Jakarta–RK. Kerawanan pada daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu 2019 mengharuskan KPU mencari solusi. Terutama pada penduduk yang sulit mendapat e-KTP. Karena itu, KPU mewacanakan untuk menerbitkan kartu pemilih bagi penduduk tertentu. Sasarannya adalah mereka yang memiliki hak pilih, tapi secara administrasi sulit memenuhi persyaratan.
Komisioner KPU Viryan Azis menuturkan, sampai saat ini ada satu dokumen yang wajib dimiliki penduduk bila ingin menggunakan hak pilihnya. Yakni, e-KTP. Maka, bila tidak memiliki e-KTP, penduduk tersebut tidak akan bisa menggunakan hak pilihnya.
’’Instrumen apa yang bisa memfasilitasi ini,’’ tuturnya di KPU kemarin (28/9).
Mereka yang kesulitan untuk mendapatkan e-KTP juga tidak bisa dibilang sedikit. Misalnya, penduduk yang karena kemiskinannya terpaksa tinggal di tanah negara. Atau mereka yang mendiami hutan-hutan milik negara. Secara administrasi, Disdukcapil tidak akan menerbitkan e-KTP. Namun, hak mereka untuk memilih tidak boleh hilang karena persoalan administrasi tersebut.
Hilangnya hak pilih akibat persoalan administrasi bisa menjadi persoalan serius. Karena itu, perlu ada terobosan hukum atau perubahan UU untuk bisa memfasilitasi mereka. ”Kami melihat sekarang dokumen yang bisa menjangkau warga negara salah satunya adalah kartu pemilih,’’ lanjutnya. Sebab, kartu pemilih dikeluarkan penyelenggara pemilu, bukan dispendukcapil.
Meski demikian, Viryan berharap pemerintah mau mengeluarkan kebijakan lain terkait kependudukan. Minimal menyelesaikan seluruh perekaman data dan pembuatan e-KTP bagi penduduk di atas 17 tahun. ’’Kartu pemilih ini menjadi opsi terakhir,’’ tutur alumnus Universitas Tanjungpura Pontianak itu.
Saat ini perbaikan DPT terus dilakukan. Rencananya, Senin (1/10) KPU memulai Gerakan Melindungi Hak Pilih (GMHP). Masyarakat diimbau datang satu kali ke kantor kelurahan untuk mengecek apakah nama dia tercatat di DPT atau tidak. Atau mengecek di web lindungihakpilihmu.go.id dengan memasukkan nama dan nomor induk kependudukan.
Bila tidak tercantum, bisa segera mendatangi posko-posko pemilu yang ada di seluruh kelurahan, desa, dan kecamatan untuk meminta namanya dimasukkan. ’’Kami juga akan bersurat ke Kemendagri untuk meminta salinan data kependudukan terbaru 2018 dengan format SQL,’’ tambah mantan komisioner KPU Kalimantan Barat itu.
Sementara itu, masih terkait Pemilu 2019, Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), meminta maaf kepada Presiden Joko Widodo dan Jaksa Agung HM Prasetyo, kemarin. Ini berkaitan dengan pernyataan salah seorang kadernya, Andi Arief.
Andi Arief menuding Jokowi dan Prasetyo berada di balik hijrahnya Ketua DPD Partai Demokrat Sulawesi Utara, Vicky Lumentut. Vicky kini telah menjadi kader partai Nasdem.
“Saya minta maaf kepada Presiden Jokowi dan Jaksa Agung atas tweet Bung Andi Arief (AA), kader Demokrat yang terlalu keras,” ujar SBY dalam akun Twitternya @SBYudhoyono, Jumat (28/9).
“Pernyataan spontan AA tersebut mungkin berlebihan dan membuat tak nyaman Pak Jokowi dan Pak Prasetyo,” tambahnya.
Menurut SBY tweet yang dilakukan Andi Arief adalah bentuk kekecewaannya kepada Vicky. “Saya tahu AA mewakili perasaan jutaan kader Demokrat yang tidak terima partai dan pemimpinnya dilecehkan oleh Partai Nasdem,” katanya.
“Penjaketan Ketua DPD PD Sulut Vicky Lumentut (jadi kader Nasdem) secara demonstratif tadi malam memang sangat melukai,” bebernya.
Meskipun dikatakan SBY, Presiden Jokowi tidak tahu menahu soal pindah partainya salah satu kader Partai Demokrat ke Partai Nasdem ini. “Meskipun saya yakin Pak Jokowi tidak tahu-menahu, beliau pasti bisa rasakan perasaan kader Demokrat. Semoga dapat dipetik hikmahnya,” ungkapnya.
Sebelumnya, Andi Arief melakukan tweet menyeret nama Presiden Jokowi dan Jaksa Agung HM Prasetyo terkait pindahnya Partai Demokrat Sulawesi Utara Vicky Lumentut berpindah ke Partai Nasdem.
Hal ini karena kader Partai Demokrat Yan Harahab yang menduga Vicky Lumentut pindah ke Partai Nasdem kerena tersangkut kasus hukum dana banjir yang sedang diusut Kejaksaan Agung.
“Jokowi ini tahu apa pura-pura enggak tahu atau malah terlibat dalam urusan abuse of power jaksa agung yang menjadi ketua DPD Nasdem provinsi kejaksaan,” cuit Andi Arief.
“Kalau Jokowi memang terlibat dalam skandal jaksa agung jadi alat politik Nasdem, saya menyerukan #2018gantipresiden,” tambahnya.
Sehingga kalau Kejaksaan Agung jadi alat politik Partai Nasdem, maka lebih baik pilpres dipercepat di tahun 2018 ini.
“Jokowi, kejaksaan dan Nasdem apa harus menunggu SBY menyerukan rakyat turun ke jalan untuk mengakhiri kebobrokan hukum yang digunakan untuk politik,” tandas Andi Arief. (Jawa Pos/JPG)