eQuator.co.id – Tahun lalu saya lebaran di rumah sakit. Lima hari sebelum lebaran istri saya tidak sadarkan diri. Anak wedok saya nangis-nangis di telepon. Minta saya pulang.
Bukan main sulitnya cari tiket mendadak. Di hari mudik seperti itu. Sampai-sampai dari Amerika saya harus lewat Hongkong-Vietnam-Kunming-KL baru ke Surabaya.
Ada batu yang ‘berulah’ di ginjal istri saya. Batu lama. Kali ini menyiksa sekali. Sakit sekali. Tidak tertahankan. Pingsan beberapa hari.
Tahun lalu kami salat lebaran di halaman rumah sakit. Lalu berkumpul di kamar perawatan. Sungkeman di situ. Istri masih diinfus.
Sungkemannya termasuk gantian: suami sungkem kepada istri. Saya, anak laki-laki saya, menantu laki-laki saya mencium kaki istri masing-masing. Saling memaafkan.
Tidak ada Soto Banjar hari itu. Sambil berbaring istri saya minta maaf: tahun itu tidak bisa bikin Soto Banjar.
Tahun ini kami aman sentosa. Semua sehat. Alhamdulillah. Saat tulisan ini Anda baca istri saya sangat sibuk di dapur. Menyiapkan bahan-bahan untuk membuat Soto Banjar. Saya belum pernah makan Soto Banjar yang enaknya melebihi bikinan istri saya. Pun Soto Banjar yang di Banjarmasin.
Saya hanya bisa bantu mengisi ketupat. Cengkorongan ketupatnya sendiri beli di pasar. Saya tinggal memasukkan beras ke dalamnya.
Saya bisa melakukan itu. Sudah biasa. Sejak kecil dulu. Bahkan saya bisa membuat cengkorongan ketupatnya. Profesional.
Di hari kelima lebaran biasanya saya membuat itu. Waktu kecil dulu. Di desa. Saya sendiri yang mengambil janur (daun muda kelapa). Dengan cara memanjat. Saya bisa membuat cengkorongan ketupat sampai 500 biji. Tiap 10 biji diikat jadi satu. Lalu disiram air. Agar tidak layu. Keesokan harinya, subuh, ibu saya menggendongnya ke pasar. Dijual.
Biasanya saya membuat dua model cengkorongan ketupat. Kini saya sudah lupa nama kedua model itu.
Melihat begitu sibuknya istri saya, anak saya usul: habis salat makan bersama di restoran saja.
“Jangan,” kata saya. “Bikin soto itu salah satu kebahagiaan tertinggi beliau,” tambah saya.
Tentu saya tetap punya ‘pasien’ di hari lebaran. Bahkan sepanjang tahun.
Lebaran tahun ini “pasien” saya hanya dua: Ria yang jantungnya bocor itu baru selesai operasi. Masih banyak yang harus dilakukan. Seorang lagi asal Banyumas. Dari Purwokerto. Dua hari sebelum lebaran ia menjalani transplantasi hati. Di Tianjin. Sukses. Operasinya 6 jam.
Saat saya menulis naskah ini ia baru saja sadar. Masih di ICU. Tapi sudah bisa tersenyum. Umurnya baru 35 tahun. Kena kanker hati stadium 4.
Untung tidak ada masalah biaya. Bisa segera ditangani. Saya terharu mendengar tekadnya: kalau sembuh nanti, ia bilang, ingin segera cari istri.
Tentu saya harus minta maaf kepada pembaca DI’s Way. Di hari yang fitri ini. Minal aidin wal faizin. Terutama pada pembaca yang rajin memberikan komentar. Misalnya orang seperti mas Khusnun, Malang. Yang tidak bosan-bosannya memarahi saya. Yang selalu salah menulis ‘utang’ menjadi ‘hutang’.
Waktu saya menulis ‘Pakistan terlalu banyak hutangnya’ ia langsung berkomentar: Pakistan tidak punya hutang. Yang banyak adalah utang.
Kebiasaan salah menulis utang menjadi hutang termasuk yang sulit diperbaiki. Mungkin karena dulu saya terlalu banyak punya hutang, eh, utang.
Rasanya lebih sulit dari mengubah kebiasaan menulis ‘dirubah’ menjadi ‘diubah’. Untuk yang ini saya akan selalu ingat. Bahwa asal katanya adalah ‘ubah’. Bukan ‘rubah’. Rubah itu nama binatang. Sehingga ketika mendapat awalan ‘di’ jadinya ‘diubah’. Bukan ‘dirubah’. Dan ‘mengubah’ bukan ‘merubah’. ‘Merubah’ bisa diartikan menjadi rubah.
Saya membaca seluruh komentar pembaca. Kadang tangan ini gatal. Ingin segera membalas komentar itu. Di situ juga. Saat itu juga. Tapi cara yang tersedia terlalu ruwet. Bagi saya. Harus mengisi beberapa keterangan di kolom yang tersedia. Saya sampai minta programer DBL (yang mengelola DI’s Way) untuk membikinkan program khusus untuk saya: klik nama pembaca yang berkomentar, langsung muncul tempat saya menulis jawaban.
Tapi untung juga tidak mudah berkomentar. Agar tidak emosian. Sesekali saya terlalu emosi. Sebentar. Sekilas. Misalnya saat membaca komentar yang nyelekit.
Akhirnya emosi itu turun sendiri. Rasionalistas yang menggantikannya. Astagfirullah.
Padahal, kalau saja mudah berkomentar, sebenarnya saya hanya ingin menjelaskan begini: kalau Anda mengalami apa yang saya alami, Anda akan memahami.
Tapi syukurlah kata-kata itu tidak jadi saya tulis. Dengan demikian Anda pun tidak harus tahu perasaan saya itu. Biarlah perasaan seperti itu saya simpan sendiri di dalam hati.
Perasaan seperti itu memang sangat pahit. Tapi pagi ini kan sudah hilang. Oleh enaknya Soto Banjar bikinan istri. (Dahlan Iskan)