Tuntutan Jaksa Tak Sesuai Fakta Sidang

Tak Pernah Terima Gaji, Malah Jadi Penjamin PWU

SAVE DAHLAN. Dahlan Iskan saat menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor Surabaya, Jumat (7/4). Ghoofur Eka/Jawapos

eQuator.co.id –SIDOARJO-RK. Pengabdian dan segala pembelaan Dahlan Iskan benar-benar tidak mampu meluluhkan nurani jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Tinggi Jawa Timur (Kejati Jatim). Dengan dalil yang sangat tidak berdasar, mereka menuntut Dahlan hukuman enam tahun penjara dalam sidang di Pengadilan Tipikor Surabaya, Jumat (7/4).

Dahlan menanggapinya dengan santai. Dia menyadari sudah diincar kejaksaan untuk harus masuk penjara. Perjuangan dan pengorbanannya membawa PT Panca Wira Usaha (PWU) Jatim—dari perusahaan yang terancam mati menjadi korporasi yang menguntungkan—kini berbalas tuntutan penjara. Padahal, selama pengabdiannya itu, tidak sepeser pun Dahlan menerima uang PT PWU. Jangankan uang sogokan, gaji pun dia tidak menerima.

“Saya diincar. Semua juga tahu lah. Dan saya harus masuk penjara. Makanya oleh kejaksaan dituntut setinggi-tingginya,” kata Dahlan sesudah mendengarkan tuntutan JPU.

Dahlan menilai tuntutan jaksa tidak masuk akal. Sebab, dalam penjualan aset PWU di Kediri dan Tulungagung yang dipersoalkan, dirinya tidak menerima uang sepeser pun. Semua hasil penjualan masuk ke perusahaan. “Tadi kan jelas bahwa saya tidak terima uang apa pun begitu,” ulangnya

Yusril Ihza Mahendra, pengacara Dahlan, menegaskan bahwa dakwaan JPU tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Seluruh keterangan saksi yang terungkap dalam sidang dan alat bukti surat, termasuk keterangan ahli, sama sekali tidak menunjukkan bahwa Dahlan melakukan korupsi. “Kami menolak seluruh tuntutan jaksa,” tegasnya.

Menurut Yusril, sebagian besar dalil yang diungkapkan JPU berasal dari keterangan Sam Santoso yang tidak pernah dihadirkan dalam sidang. Sam hanya diperiksa dalam bentuk berita acara dan keterangannya dibacakan. “Kami menolak keterangan Sam. Sepertinya sengaja tidak dihadirkan, cuma jadi keterangan tertulis itu saja,” imbuhnya.

Dari surat tuntutan JPU, Yusril menilai ada kerancuan dalam dalil jaksa. Di satu sisi mengakui perseroan terbatas (PT) dan tunduk pada hukum PT, di sisi lain ada anggapan bahwa aset PWU termasuk aset daerah. “Mana yang mau dipakai?” tanya dia.

JPU juga mengabaikan pasal 3 ayat 2 Permendagri Nomor 3 Tahun 1998 tentang Bentuk Hukum Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Dalam aturan itu jelas disebutkan, BUMD yang bentuk hukumnya berupa PT tunduk pada Undang-Undang (UU) PT. Menurut Yusril, kalau tunduk pada rezim perseroan, tidak bisa seperti apa yang disampaikan jaksa. Misalnya pengumuman dan tender yang harus terbuka. Di persidangan ada tender, tertutup, dan itu tidak dilarang dalam aturan, apalagi perseroan.

Dalam tuntutannya, JPU menganggap Dahlan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan korupsi sebagaimana dakwaan primer. Dalam dakwaan itu, JPU menerapkan pasal 2 UU Tipikor. Artinya, Dahlan dianggap terbukti melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang menyebabkan terjadinya kerugian negara.

Atas dasar itu, selain menuntut hukuman enam tahun, jaksa mengajukan denda Rp750 juta dan uang pengganti Rp4,197 miliar. Tuntutan tersebut jelas ngawur. Sebab, faktanya Dahlan tak pernah menerima apa pun selama menjadi direktur utama PWU Jatim, termasuk yang sudah menjadi haknya.

Dalam sidang 17 Januari dan 4 April 2017, kasir serta bagian keuangan PWU menerangkan bahwa Dahlan tidak pernah menerima gaji dan fasilitas apa pun dari PWU Jatim selama menjadi direktur utama. Selama mengunjungi perusahaan dan melakukan perjalanan dinas ke luar negeri untuk kepentingan PWU, Dahlan juga menggunakan uang pribadi.

Bukan itu saja, Dahlan juga rela menjadi personal guarantee (penjamin perseorangan) untuk utang yang diajukan PWU Jatim Rp40 miliar ke bank. Utang itu digunakan untuk membangun pabrik conveyor belt. Dahlan juga pernah meminjamkan uang pribadi Rp5 miliar untuk pembangunan gedung Jatim Expo (sekarang JX International).

“Bagaimana logikanya? Pak Dahlan rela mengorbankan dirinya sendiri untuk PT PWU. Tidak logis kalau kemudian memperkaya diri sendiri. Apalagi, nilainya jauh di bawah yang dia korbankan,” ucapnya.

Jaksa juga menganggap pelepasan aset PWU dilakukan tanpa izin DPRD Jatim. JPU mendasarkan dalil itu pada keterangan Sekretaris DPRD Jatim (saat ini) Ahmad Jaelani yang hanya membaca salinan surat dari DPRD ke gubernur. Sebab, dia baru menjabat sekretaris DPRD pada 2014. Sedangkan kejadian berlangsung pada 2002–2003.

Yusril mengatakan, jaksa mengabaikan keterangan Ketua Komisi C DPRD (saat itu) Dadoes Sumarwanto dan anggota komisi C Farid Alfauzi. Mereka pernah dihadirkan sebagai saksi dalam sidang. Sebagai saksi fakta, mereka memastikan pernah menerima surat perihal permintaan izin penjualan dan pembelian aset dari PWU Jatim.

Surat tersebut dibahas dalam rapat dengar pendapat di Komisi C selama enam bulan dengan mengundang para pakar, Biro Perekonomian Pemprov Jatim, dan Biro Hukum Pemprov Jatim serta berkonsultasi ke Kementerian Dalam Negeri. Dari hasil rapat dan konsultasi itu, Komisi C menyimpulkan bahwa PWU berbentuk PT. Dengan begitu, penjualan dan pembelian aset mengikuti UU 1/1995 tentang PT.

Apalagi, Menteri Dalam Negeri menyatakan bahwa pasal 14 Perda 5/1999 tentang PT PWU bertentangan dengan UU 1/1995 tentang PT. Karena itu, pasal 14 Perda 5/1999 tidak berlaku dan tidak bisa dijadikan acuan. “Dua saksi fakta itu menegaskan bahwa penjualan aset PWU tidak perlu izin dari DPRD Jatim,” katanya.

Selain itu, jaksa menganggap pelepasan aset di Kediri dan Tulungagung menyimpang, karena tidak diumumkan di media massa. Yusril mengatakan, ada bukti dokumen yang menyangkal dakwaan tersebut. Yaitu anggaran dasar/anggaran rumah tangga (AD/ART) perseroan serta UU 1/1995.

Dalam pasal 11 ayat 4 dan 5 AD/ART maupun pasal 8 UU PT disebutkan, kewajiban mengumumkan pengalihan harta kekayaan PT berlaku untuk pengalihan sebagian besar atau keseluruhan harta perusahaan. Nah, aset di Kediri dan Tulungagung yang pelepasannya dipermasalahkan jaksa termasuk sebagian kecil dari aset PWU Jatim. “Sehingga tidak perlu diumumkan di media massa,” ujarnya.

Dalil jaksa lainnya adalah pelepasan aset PWU di Kediri dan Tulungagung dianggap melanggar karena tidak dilakukan melalui lelang. Padahal, dari keterangan sejumlah saksi, ada lebih dari tiga orang yang mengajukan penawaran harga untuk dua objek tersebut.

Jaksa mengonstruksi Dahlan melakukan perbuatan melawan hukum karena melakukan pertemuan dan kesepakatan harga dengan calon pembeli (Sam Santoso) sebelum lelang. Konstruksi itu dibangun sejak tahap penyidikan.

Nah, dalam sidang terungkap, Sam dibawa Wisnu Wardhana untuk dikenalkan kepada Dahlan di sebuah hotel. Saat itu tak ada pembicaraan terkait penjualan. Wisnu hanya mengenalkan Sam sebagai calon pembeli. Dahlan meminta Wisnu melakukan penjualan dengan mengikuti prosedur. Dia juga mewanti-wanti kepada Sam agar tidak menyogok anak buahnya.

“Selama pertemuan itu, tidak ada pembicaraan terkait harga. Pembicaraan justru banyak soal buku Sam Santoso tentang pemberantasan korupsi di perusahaan. Setelah itu tidak pernah ada pertemuan, kecuali saat tanda tangan akta,” kata Yusril. Segala proses seperti negosiasi harga dilakukan Wisnu. “Pak Dahlan tanda tangan akta karena memang itu tugas direktur utama,” imbuhnya.

Saat dihadirkan sebagai saksi Dahlan, Wisnu menyatakan, dirinya bersama Sam yang menyepakati harga aset PWU dan format pembayaran. Kesepakatan itu baru dilaporkan ke Dahlan untuk dimintakan persetujuan. Dahlan menandatangani persetujuan setelah mendapat laporan bahwa tahapan itu sudah sesuai prosedur.

Selain itu, Dahlan dianggap tanda tangan akta sebelum lelang. Padahal, dalam sidang sejumlah saksi menyatakan bahwa tanda tangan akta hanya sekali. “Sebelum tanda tangan, Pak Dahlan sudah memastikan apakah uang sudah masuk dan nominalnya sesuai,” ucapnya.

Terpisah, sidang PWU dengan tersangka Wisnu Wardhana berakhir tadi malam. Dia divonis hakim Pengadilan Tipikor Surabaya hukuman penjara tiga tahun dan denda Rp200 juta. Selain itu, dia diwajibkan membayar uang pengganti Rp1,5 miliar.

Meski demikian, hakim Tahsin yang memutus perkara itu menyatakan bahwa Wisnu tidak terbukti melanggar dakwaan primer, sehingga dibebaskan dari tuduhan jaksa. Namun, hakim menilai dia terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dalam dakwaan subsider. “Menyatakan terdakwa Wisnu Wardhana tetap dalam status tahanan kota,” ucapnya. (Jawa Pos/JPG)