eQuator.co.id – JAKARTA-RK. Produksi surat suara pemilu secara resmi dimulai Rabu lalu (16/1). Meski demikian, produksi tidak langsung dilakukan secara masal. Surat suara yang diproduksi awal masih dicek ulang untuk memastikan akurasi pencetakan. Dengan begitu, ketika produksi masal dilakukan, tidak ada lagi perbaikan.
’’Sudah dicetak satu-satu, lalu kami periksa lagi, jangan sampai ada kesalahan. Itu bentuk kehati-hatian kami,’’ terang Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi. Bila sudah dipastikan tidak ada kekurangan, barulah pabrik bisa melanjutkan produksi dengan kualitas yang telah disepakati dalam lelang.
Pemeriksaan tidak lagi dilakukan sekilas saja, tetapi sudah mendetail. ’’Misalnya gradasi warna, itu juga kami pastikan lagi,’’ lanjut mantan ketua Bawaslu Provinsi Banten itu. Pengecekan gradasi warna dilakukan dengan cara membandingkan hasil cetakan dengan dummy yang diserahkan di awal oleh KPU. Bahkan, garis pembatas kolom juga diteliti, apakah terlihat atau tidak setelah dicetak.
Proses produksi surat suara akan dilakukan di enam perusahaan pemenang lelang. Di Jakarta dan Bekasi, produksi dilakukan PT Gramedia, Balai Pustaka, dan PT Aksara Grafika Pratama. Kemudian, di Surabaya dan Gresik, produsennya adalah PT Puri Panca Pujibangun dan PT Temprina Media Grafika. Di Makassar, produsennya adalah PT Adi Perkasa Makassar.
Pramono mengungkapkan, proses produksi berlangsung selama 60 hari atau selambatnya 70 hari. Itu sudah termasuk pendistribusiannya ke seluruh kabupaten/kota oleh tiap-tiap perusahaan. Dengan begitu, pada pertengahan Maret, produksi dan distribusi surat suara sudah tuntas seluruhnya.
Produksi akan dilakukan secara bersamaan untuk lima jenis surat suara. Yang membedakan adalah dapil mana yang surat suaranya akan diproduksi terlebih dahulu karena mempertimbangkan proses distribusi atau pertimbangan teknis lain. ’’Nanti tanggal 19 wartawan kami ajak langsung ke beberapa pabrik pemenang lelang agar bisa melihat sendiri,’’ lanjutnya.
Untuk wilayah Kalimantan Barat, misalnya, surat suara sangat mungkin tidak diproduksi di awal-awal. Salah satu pertimbangannya, masih ada problem di bagian surat suara DPD. ’’Jadi, yang didulukan itu yang sudah tidak ada lagi masalah,’’ timpal Ketua KPU Arief Budiman.
Urutan produksi sudah didesain sedemikian rupa agar proses distribusi tidak sampai terlambat.
Status OSO yang masih menggantung menjadi penyebab surat suara untuk Kalbar, khususnya surat suara DPD, tidak diproduksi di awal waktu. KPU masih memberikan tenggat kepada OSO untuk menyerahkan surat pernyataan mundur dari kepengurusan Partai Hanura. Dalam hal ini, mundur dari jabatan sebagai ketua umum partai tersebut paling lambat 22 Januari.
Hingga saat ini, nama OSO belum bisa dipastikan apakah bakal masuk atau tidak ke dalam daftar calon tetap anggota DPD. Karena itulah, desain surat suaranya pun menggantung. Bila OSO legawa untuk mundur dari Ketum Hanura sebelum 22 Januari, desain surat suara calon anggota DPD asal Kalbar akan diubah karena nama dia akan dimasukkan.
Terkait tenggat tambahan itu, KPU menyatakan siap menghadapi eksekusi dari PTUN Jakarta. KPU tetap akan mengikuti proses PTUN tersebut. ’’Dan kami akan menyampaikan apa-apa yang kami anggap sebagai argumentasi kami terhadap (putusan) PTUN,’’ terang Komisioner KPU Ilham Saputra.
Bagaimanapun, KPU tetap mengutamakan putusan Mahkamah Konstitusi dalam mengambil langkah terkait pencalonan OSO. Artinya, putusan PTUN yang kedua, yakni memasukkan OSO ke dalam DCT anggota DPD, baru bisa dilakukan bila OSO menyatakan turun dari kursi kekuasaan di partainya. KPU untuk saat ini hanya akan menerbitkan SK baru tanpa OSO setelah SK DCT yang lama dibatalkan PTUN.
Syarat turunnya OSO dianggap sebagai bentuk kepatuhan hukum terhadap putusan MK. Bagaimanapun, yang diputus MK adalah larangan seorang pengurus parpol mencalonkan diri sebagai anggota DPD sejak Pemilu 2019. Penjelasan itu sudah dijabarkan secara detail dalam pertimbangan putusan MK sehingga tidak perlu penafsiran lain. (Jawa Pos/JPG)