eQuator.co.id – Peta pemasaran sudah berubah. Dalam lima tahun terakhir. Sudah ada 40 juta kaum muda. Yang melek internet. Yang setiap hari menenteng gadget. Itulah milenials market.
Tapi lebih banyak lagi yang belum berubah. Bahkan belum siap berubah. Para pebisnis tua. Masih sibuk dengan pasarnya yang lama. Yang juga sudah makin tua.
Kaum milenials tidak dirilirik. Di mata orang-orang tua, anak muda bukan pasar potensial. Duitnya cekak. Daya belinya terbatas. So, belum perlu dianggap pasar serius.
Tiba-tiba terjadi tsunami. Tsunami milenials. Toko-toko tradisional ambruk. Pusat perbelanjaan elektronik terbesar di Indonesia tutup. Beberapa jaringan supermarket internasional gulung tikar.
Lalu munculah miliarder-miliarder baru. Anak-anak muda. Yang usianya belum genap 40 tahun. Bahkan banyak yang di bawah 30 tahun. Merekalah orang-orang hebat di belakang tsunami itu.
Tsunami milenials tidak hanya melanda dunia bisnis. Dunia filantropi pun terkena imbas. Lembaga amil zakat yang punya banyak kantor pelayanan pun kalah melawan aplikasi crowdfunding.
Anak-anak muda yang 40 juta itu tidak hanya bersemangat belanja, tapi juga peduli dhuafa. Mereka tidak berderma dengan uang tunai. Tapi melalui uang digital.
*Tidak terasa. Sudah hampir setahun. Kira-kira pada tanggal-tanggal inilah. Setahun silam. Saya merayu Pak Dahlan Iskan. Agar mau menulis lagi.
Sudah beberapa bulan mantan menteri BUMN itu tidak menerbitkan artikel. Twitternya pun dimatikan. Tidak pernah mencuit lagi. Terus terang, saya kangen. Dengan tulisannya yang segar. Dengan ide-idenya yang out of the box.
Saya kirim pesan pendek. Lewat SMS. Lewat WA. Juga kirim email. Sekedar say hello. Tidak dibalas.
Kabar terakhir yang saya ikuti, dua bulan sebelumnya, Pak Dahlan akan umrah sekeluarga bulan Desember. Jangan-jangan belum kembali ke Tanah Air?
‘’Nanti sore bisa ke Capital?’’ jawab Pak Dahlan hampir sebulan kemudian.
Bergegas saya ke apartemen di SCBD itu. Menjemput kabar baik. ‘’Saya habis operasi di Singapura. Aorta dissection. Aorta saya robek. Harus dipasangi selang seperti ini,’’ kata Pak Dahlan sembari memperlihatkan potongan selang yang dibawanya pulang untuk kenang-kenangan,
Melihat Pak Dahlan yang kurus dan pandangan matanya sayu, saya tak tega menanyakan apakah siap menulis lagi. Sampai akhirnya Pak Dahlan meminta saya untuk datang ke Apartemen Capital. Dua pekan kemudian.
‘’Sudah siap menulis lagi Bah?’’ tanya saya.
‘’Saya sudah janji. Tidak akan menulis di koran lagi. Saya sudah tidak punya koran,’’ jawabnya.
Mungkin Pak Dahlan ‘keprucut’. Maunya menolak. Tapi menjawabnya begitu. “tidak akan menulis di koran lagi’’ memang kalimat yang saya tunggu-tunggu. Coba kalau jawabannya, ‘’nulis di koran apa?’’, matilah saya. Saya kan tidak punya koran juga?
‘’Koran digital itu masa kini dan masa depan. Abah nulis di koran digital saja. Zaini akan membuat websitenya. Saya yang kelola kontennya,’’ jawab saya. Zaini hanya cengar-cengir saja.
Pak Dahlan tidak segera menanggapi. Seumur-umur, baru sekali ini saya melihat Pak Dahlan ‘aras-arasen’. Tidak bersemangat ngobrol tentang jurnalistik dan media.
Tapi saya tidak boleh putus asa. Tiap hari saya tanya. Lewat SMS, whatsapp dan email. ‘’Sudah siap menulis lagi?’’
Aksi teror itu akhirnya membuat Pak Dahlan menyerah. Lahirlah DI’s Way. Dahlan Iskan’s Way. Dengan alamat domain: www.disway.id. ‘’Saya hanya akan menulis 10 artikel saja,’’ kata Pak Dahlan. Saya tidak menanggapi. Saya yakin, itu karena Pak Dahlan masih belum pernah menikmati asyiknya ngeblog.
Tanggal 9 Februari 2018. Disway.id online perdana. Hebohnya bukan main. Server gratisan dari penjual nama domain langsung down dalam 30 menit pertama.
Terpaksa sewa server baru. Lumayan. Bisa bertahan 2 minggu. Down lagi. Tak mampu melayani jumlah pengakses yang sudah ratusan ribu orang.
Datanglah bala bantuan. Dari Iwan, pengusaha jasa internet. Dipinjami servernya. Gratis. Sharing dengan satu pelanggan lainnya. Hanya bertahan seminggu. Iwan dikomplain pelanggannya. Karena layanan datanya lemot. Sejak disway.id berumah di sana.
Terpaksa membeli server baru. Khusus untuk disway.id. Yang terus diupgrade kapasitasnya secara berkala. Sesuai jumlah kunjungan. Yang sekarang sudah menembus 5 juta.
Mulai 9 Februari, saat usianya genap setahun, Disway.id akan dikelola secara profesional. Dengan manajemen baru. Yang kantor pusatnya di Surabaya.
Lewat manajemen baru inilah, Pak Dahlan yang konvensional, akan hadir lebih intensif di pasar milenials. Dengan karya-karya jurnalistiknya yang tak akan lekang dimakan zaman.
Sebagai penggagas Disway.id, saya bangga. (jto)
Penulis adalah redaktur tamu Rakyat Kalbar dan admin www.disway.id