Hampir tiap hari Tri Maharani memandu lewat telepon petugas medis di berbagai daerah yang menolong korban gigitan ular. Di Indonesia, ada 76 jenis ular berbisa, tapi cuma tersedia tiga antibisa.
RAMONA TIARA VALENTIN, Kediri
eQuator.co.id – TAHUKAH Anda, ada berapa jenis ular berbisa di Indonesia? Ada 76 jenisnya. Juga, tahukah Anda berapa antibisa yang sudah ada di Indonesia? Cuma 3. ”Antibisa untuk gigitan kobra, welang, dan ular tanah,” kata Tri Maharani kepada Jawa Pos Radar Kediri.
Tri adalah dokter dengan spesialisasi emergency medicine. Subspesialisasinya adalah toksikologi alias ilmu tentang bermacam-macam racun. Dia memiliki kepakaran khusus di bidang langka: penanganan bisa ular.
Di seluruh dunia, hanya 53 dokter yang tercatat punya kepakaran demikian. Juga, Maha –sapaan akrabnya– satu-satunya di Indonesia.
Fakta itu ironis sebenarnya. Sebab, secara geografis, Indonesia kaya gunung, hutan, dan sungai. Wilayah-wilayah subur tumbuh kembangnya ular. Total, ada 348 jenis ular yang tersebar di penjuru negeri ini.
Sebagai gambaran, Maha menyebutkan, pada 2016 di Indonesia 135 ribu orang terkena gigitan ular. Sebanyak 728 orang di antaranya digigit ular berbisa. Akibatnya, 35 korban meninggal.
Tak heran, dalam setahun Maha bisa menangani lebih dari 700 pasien. Baik yang berkonsultasi langsung di rumah sakit tempat dia bekerja maupun di rumah sakit wilayah lain. ”Atau, ada juga yang konsul lewat online melalui blog yang saya bikin,” katanya.
Kisah pertautan kepala Instalasi Gawat Darurat RS Daha Husada, Kediri, Jawa Timur, itu dengan kepakaran yang langka tersebut dimulai pada 2012. Saat itu Maha mengikuti short course di Malaysia yang membahas bisa ular.
”Waktu itu ada teman saya bilang, angka gigitan ular di Indonesia cukup besar,” tutur lulusan sarjana kedokteran Universitas Brawijaya itu saat dijumpai Radar Kediri (Jawa Pos Group) di kediamannya di Jalan Dr Wahidin, Kediri.
Dari sana, muncul keprihatinan dan semangat dalam diri Maha. Dia pun mulai berusaha memahami ular, bisa, hingga gigitannya.
Perempuan yang mendapatkan penghargaan sebagai Wanita Inspirasi Indonesia 2016 itu pun lantas membulatkan tekad berkeliling Indonesia. Dengan menggunakan uang pribadi. Untuk memberikan edukasi ke tenaga medis maupun masyarakat awam.
Dia pernah pergi ke Papua untuk mengedukasi warga yang tinggal di hutan, khususnya mengenai bisa ular. Dia juga menyampaikan cara penanganan yang benar dan tepat untuk korban gigitan ular berbisa. ”Bisa ular itu tidak hematogen, melainkan limfogen. Lewat kelenjar getah bening,” bebernya.
Hampir tiap hari pula melalui telepon dia memandu petugas medis di berbagai daerah dalam memberikan pertolongan kepada korban gigitan ular berbisa. Juga, saat berkesempatan menjadi pemateri tentang kegawatdaruratan di mana saja, dia selalu menyelipkan materi tentang bisa ular.
Soal kelangkaan dokter dengan kekhususan di bidang penanganan bisa ular, menurut dia, kondisi itu terjadi karena untuk mendalaminya, seseorang harus berusaha sendiri mencari ilmunya ke luar negeri. Belum ada program pemerintah yang khusus di bidang tersebut. ”Apalagi, antivenom-nya juga baru ada tiga di Indonesia,” katanya.
Berbagai peristiwa menegangkan dalam penanganan pasien pun sudah tuwuk dijalani Maha. Terutama kalau pasien sudah sangat terlambat ditangani. Misalnya, pasien baru berobat setelah tergigit tiga bulan sebelumnya. Atau, pasien yang cara penanganan pertamanya salah. ”Sebab, banyak yang masih mengira bisa ular mengalir melalui pembuluh darah. Padahal, melalui limfa,” papar dia.
Untuk mereka yang tergigit ular dan sedang jauh dari berbagai fasilitas kesehatan, Maha menyebutkan, yang paling penting adalah imobilisasi atau dibuat tidak bergerak selama 24–48 jam.
Jejak pertautan Maha dengan bisa ular itu sejauh ini tersimpan tak hanya di rumah sakit tempatnya bekerja, tapi juga di rumah tempat dia tinggal. Kepada Radar Kediri, dia menunjukkan ular-ular yang tersimpan dalam botol air mineral ukuran 1 liter. Terendam dalam cairan formalin. ”Ini ular pemberian korban gigitan,” tutur Maha.
Maha sering menggunakan ular-ular itu untuk bahan edukasi. ”Sebenarnya, ada banyak. Tapi, sebagian di rumah sakit,” tutur perempuan kelahiran Kediri 47 tahun silam itu.
Sadar bahwa ilmu yang ditekuninya langka, Maha selalu membuka pintu kepada siapa saja yang tertarik untuk mempelajarinya. Itu dia lakukan sebagai bentuk pengabdian dan penghargaan terhadap nyawa sesama manusia. ”Kita harus bisa menolong sesama manusia semaksimal mungkin sebelum dia meninggal,” tuturnya. (*/Radar Kediri/JPG)