Tret-tet-tet Kelas IV SD

Oleh: AZRUL ANANDA

Sebelum punya gawang itu, biasanya gawang disiasati menggunakan dua sepeda. Tapi, terlalu banyak gol kontroversial berkaitan dengan tingginya bola di atas jangkauan kiper. Solusinya: bikin gawang portabel.

Pembagian tugas pun ada. Salah satu bertugas khusus menyiapkan berbagai logistik. Misalnya minuman.

Waktu itu, saya ingat betul betapa hebohnya sepak bola di Surabaya. Semua ribut beli kaus yang sama, dengan paket topi dan syalnya. Tidak ada yang pakai barang non-official alias tidak asli alias palsu. Semua heboh ingin menonton ke stadion.

Saya termasuk beruntung, orangtua saya pengurus tim. Jadi bisa nonton semua pertandingan di Surabaya. Pulang sekolah, naik bemo sendirian ke stadion, masuk masih pakai seragam, lalu nonton di kawasan bench pemain atau kadang-kadang duduk di pinggir gawang. Atau kalau terburu-buru dan bemo kelamaan, saya naik angguna.

Saya ingat betul, guru-guru saya di SD, tetangga-tetangga, terus heboh minta dicarikan tiket. Tidak harus gratis. Bayar pun mereka bersedia asal dapat tiket. Laki-laki, perempuan, keluarga, segala usia. Semua heboh sepak bola.

Lalu, ada heboh tret-tet-tet, istilah resmi pergi bareng untuk mendukung tim bertanding di luar kota. Keren sekali waktu itu. Ada yang carter pesawat. Booking puluhan bus. Dan lain-lain. Semua rapi. Semua tertib. Sulit dipercaya, saya pernah jadi bagian dari tret-tet-tet itu.

Masih kelas IV SD, saya dititipkan ke salah satu bus suporter yang akan berangkat ke Jakarta. Sendirian. Karena tidak resmi ikut membeli tiket bus, sifatnya dititipkan, saya tidak dapat jatah kursi. Saya disuruh duduk atau berbaring di ”ruang kosong memanjang” di belakang baris paling belakang.