eQuator.co.id – Ini bukan sepakbola. Yang tiap menjelang musim kompetisi terjadi transfer pemain. Klub kuat mengincar-incar di klub mana ada pemain jadi. Yang bisa dibeli.
Karena ini bukan sepakbola. Justru partai lemah yang mengincar caleg jadi. Dari partai lemah lainnya. Bahkan dari partai kuat sekali pun. Asal transaksi cocok.
Mula-mula saya tidak paham arah pembicaraan seperti itu. Seolah pengetahuan sepakbola saya begitu dangkalnya. Tapi, oh, ini bukan pembicaraan sepakbola.
Pembicaraan itu terjadi di ruang tunggu. Yang bicara para tokoh politik muda. Dari banyak partai. Di acara perkawinan hari Minggu lalu. Tokoh Amal Ghozali yang mantu. Pengusaha pertanian yang sukses. Juga pengurus pusat partai Demokrat. Di Taman Mini Indonesia Indah.
Saya dan Ustadz Yusuf Mansyur hanya diam mendengarkan. Sekilas. Tidak lagi tinggi minat kami berdua di bidang itu. Bahkan saya lebih banyak di luar negeri. Belakangan ini. Dan yang akan datang.
Pembicaraan mereka itu penuh dengan humor. Sesekali kami berdua ikut tertawa. Agar tidak tampak ganjil. Tapi saya dan ustadz Yusuf Mansyur lebih sering berbisik untuk topik lain.
Seandainya masih ada minat politik, omongan mereka itu sungguh menarik. Ada satu partai yang jadi pusat pembicaraan mereka. Yang hasil surveinya selama ini jeblok. Di bawah 2 persen. Tidak akan lolos masuk parlemen. Hari itu baru saya tahu: ada batasan persentase 2 persen untuk bisa masuk parlemen. Khas Indonesia, rupanya.
Saya juga baru tahu: Minggu malam itu adalah hari-hari menegangkan. Batas waktu pendaftaran calon anggota legislatif tinggal tiga hari. Bisa terjadi saling geser posisi. Bisa saling tendang ke nomor sepatu –istilah untuk nomor urut terakhir. Tegang sekali, kata mereka. Saya sama sekali tidak tahu.
Saya pikir malam itu yang menegangkan hanya satu: final piala dunia. Bagian yang paling seru dari pembicaraan para politisi itu bukan geser-menggeser calon di dalam satu partai. Tapi justru antarpartai.
Partai yang oleh para surveyor dinyatakan jeblok itu punya jalan pintar –eh, jalan pintas. Mencalonkan tokoh-tokoh dari partai lain. Yang sudah jadi tokoh. Yang perolehan suaranya dulu tinggi. Diminta pindah jadi calon partai tersebut. Sekarang ini.
Ruang tunggu itu sebenarnya menarik untuk direkam. Tapi kalau saya keluarkan kamera bisa saja pembicaraan terhenti. Padahal omongan mereka lagi mencapai puncaknya: berapa miliar rupiah uang transfer mereka. Rp 2 miliar. Rp 3 miliar. Entah dari mana sumber datanya.
Bedanya dengan sepakbola: uang transfer itu tidak diterima partai tempat asalnya. Namanya pun bukan uang transfer: tapi bantuan biaya kampanye.
Mereka yang pindah itu tidak takut. Partai begitu lemahnya. KPU bukan seperti FIFA. Yang bisa memberi sanksi pada bintang sepakbola. Tidak ada juga VAR. Untuk mengecek kebenaran gerak-gerik politisi itu.
Mereka juga menyebut nama. Siapa dari partai di dapil mana yang ditransfer ke partai itu. Saya belum bisa mengecek kebenarannya. Daftar calon sementara masih di KPU. Untuk diteliti. Bukan masalah transfernya. Tapi dokumen pencalonannya.
PDI Perjuangan, kata ruang tunggu itu, akan tergerus banyak. Partai Demokrat juga. Bahkan orang segarang OSO tidak bergigi: partai Hanura kabarnya kehilangan 14 caleg potensialnya. Lewat jalan pintas tadi.
Heran, menjelang final piala dunia hari itu, tidak ada yang tertarik bicara bola. Politik memang menggiurkan –untuk yang belum insyaf. (dis)