-ads-
Home Features Tradisi Tolak Bala Melayu, Dimulai sejak 1961

Tradisi Tolak Bala Melayu, Dimulai sejak 1961

Mengunjungi Pekan Gawai Rakyat Rasau Jaya Umum (bagian 1)

RITUAL TOLAK BALA. Kepala kampung dan tokoh adat Melayu setempat tengah melakukan ritual jamuan laut sebagai salah satu rangkaian kegiatan Pekan Gawai Rakyat, Desa Rasau Jaya Umum, Kubu Raya, yang ke 15, Minggu (29/4). Ocsya Ade CP/RK
RITUAL TOLAK BALA. Kepala kampung dan tokoh adat Melayu setempat tengah melakukan ritual jamuan laut sebagai salah satu rangkaian kegiatan Pekan Gawai Rakyat, Desa Rasau Jaya Umum, Kubu Raya, yang ke 15, Minggu (29/4). Ocsya Ade CP/RK

Indonesia berdiri kokoh mewadahi 300-an kelompok etnik. Adat dan budayanya sangat beragam. Memiliki kepercayaan ritual atau upacara adat tolak bala merupakan hal yang jamak. Salah satunya di suku Melayu.

Ocsya Ade CP, Rasau Jaya

eQuator.co.id – Di Kalimantan Barat, ritual tolak bala Melayu dikemas dalam acara robo-robo dan gawai rakyat. Salah satu contoh gawai rakyat terdapat di Desa Rasau Jaya Umum, Kecamatan Rasau Jaya, Kabupaten Kubu Raya.

-ads-

Tolak bala berasal dari bahasa Melayu. Tolak atau menolak. Bala adalah musibah atau bencana. Dapat disimpulkan bahwa tolak bala adalah satu kompleks perlakuan bercorak ritual dengan tujuan menghindari kejadian buruk, sial, nasib tidak baik, atau apa saja yang tidak diingini berlaku kepada diri sendiri dan komunitas di masyarakat.

Dari segi individu, perlakuan itu mungkin tidak merupakan ritual, tetapi perlakuan mengawal, mengelak, maupun menyisih. Bala tadi, tidak saja bencana yang didatangkan oleh sesuatu tenaga asing atau luar, tetapi oleh nasib atau untung diri sendiri.

Di Desa Rasau Jaya Umum, tolak bala ini dikemas dalam kegiatan yang dinamai Pekan Gawai Rakyat. Dulu, ritual serupa dilaksanakan sebagai bentuk memanjatkan puji syukur setelah masa panen. Dalam kurun belasan tahun, ritual dikemas menjadi suatu gawai. Yang juga bertujuan untuk mempromosikan wisata dan kearifan lokal daerah. Untuk meningkatkan ekonomi masyarakatnya.

Tahun ini, Pekan Gawai Rakyat sudah berlangsung 15 kali. Sebelum gawai dibuka Minggu 29 April lalu, berlangsung ritual yang dilakukan kepala adat atau orang yang dipercayai sebagai kepala kampung.

Ritual pertama adalah pemasangan ancak. Sebuah wadah yang terbuat dari anyaman bambu dilapisi daun pisang. Dalam wadah yang berukuran kurang lebih 1×1 meter itu, disusun nasi ketan/pulut berbagai warna. Ada juga ketupat, ayam bakar, telur ayam kampung dan bahan lainnya. Setelah itu, ancak digantung di pohon, belakang rumah kepala kampung.

Selain ancak, masih ada ritual lain, yakni jamuan laut. Atau lebih dikenal dengan nama sedekah bumi. Jamuan laut termasuk dalam jenis ritual tolak bala. Upacara adat ini bertujuan untuk memberikan persembahan kepada para penunggu laut, agar kaum nelayan yang menggantungkan hidupnya pada sumber daya laut mendapat berkah.

Sepanjang aliran sungai yang dilewati, kepala kampung beserta tokoh adat lainnya melempar ketupat serta bahan lain ke sungai/laut. Dalam serangkaian ritual ini, puji dan syukur serta berdoa kepada Allah SWT dilakukan. Ritual tersebut turun temurun dari nenek moyang.

Usai serangkaian ritual, seluruh masyarakat yang hadir dalam gawai pun duduk bersama di tanah beralas kerpet/terpal/koran dan membaca doa yang dipimpin pemuka agama. Setelah berdoa, makanan, yang dibawa masing-masing dan dihidangkan masyarakat, bisa disantap. Identik dengan ketupat, patlau (ketan putih), opor ayam, sambal udang, serta masakan khas Melayu lainnya.

Gawai juga dijadikan ajang silaturahmi. Mengasah kekompakan masyarakat. Sehari atau dua hari sebelumnya, masyarakat di desa ini sudah disibukkan dengan menyiapkan masakan dan membuat ketupat. Seperti halnya menjelang lebaran.

Ditemui usai membuka gawai, Kepala Desa Rasau Jaya Umum, Rajali Ahmad, menerangkan ritual tolak bala sudah dilakukan sejak awal membuka kampung. Yang kini bernama Desa Rasau Jaya Umum tersebut. Dimulai sejak 1961, atau sekitar pembukaan lahan transmigrasi. Baru dikemas menjadi suatu gawai sejak 15 tahun lalu.

“Cikal bakalnya berawal dari selamatan kampung. Tolak bala bahasa setempatnya. Sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT atas keberhasilan panen padi maupun untuk kegiatan lainnya, semua warga kumpul bersama membawa makanan dan membaca doa selamat. Itulah yang melatarbelakangi adanya kegiatan ini,” jelas Rajali kepada Rakyat Kalbar.

Seiring berjalannya waktu, sambung dia, tolak bala dikemas menjadi gawai yang dilengkapi dengan perlombaan. Permainan rakyat, hiburan rakyat, dan wisata kuliner.

Setakat ini, Pekan Gawai Rakyat sudah menjadi agenda desa. Maka, di akhir masa jabatannya, Rajali menitip pesan kepada masyarakat untuk tetap bersama melestarikan adat dan budaya ini.

“Saya berharap, ini tetap dilestarikan. Karena gawai ini juga menjadi aset di Desa Rasau Jaya Umum,” harap dia.

Warga luar negeri, lanjutnya, lebih banyak mengenal Bali ketimbang Indonesia. “Karena adat budaya. Kita berharap seperti itu tidak mengurangi rasa hormat kepada kegiatan budaya lain yang bisa mengangkat nama Kalbar umumnya,” ujar Rajali.

Kepada pemangku kepentingan, ia berharap kearifan lokal ini bisa menjadi perhatian mereka. Selain menjadi aset desa, juga menjadi aset kabupaten.

“Gawai ini suasananya mirip dengan robo-robo di Mempawah dan Sungai Kakap. Ada bedanya, kalau robo-robo serempak dilaksanakan, tapi gawai di Rasau Jaya Umum ini berbeda waktunya,” terangnya.

Perlombaan dalam gawai ini diantaranya adalah lomba sampan bidar, dragon boat, maupun pangka gasing. Dan masih banyak lomba tradisional lainnya. Dibuka Minggu pagi, ribuan masyakarat tumpah ruah menikmati rangkaian kegiatan yang dipusatkan di kawasan Pelabuhan Rasau Jaya ini. (*/bersambung)

Editor: Mohamad iQbaL

Exit mobile version