Pilihan jatuh ke Hawaii. Di situlah lokasi pertemuan dua pejabat tinggi Amerika Serikat dan Tiongkok kemarin. Hawaii persis di tengah antara daratan dua negara –juara dan runner up bidang ekonomi.
Hasilnya juga tengah-tengah. Tidak ada perbaikan keadaan. Juga tidak lebih buruk –karena sudah buruk sekali.
Liu He, wakil perdana menteri Tiongkok, hanya mengatakan pertemuan tersebut sangat konstruktif. Itulah bahasa standar diplomasi untuk mengatakan ‘tidak ada hasil’.
Mike Pompeo, Menteri Luar Negeri AS, lebih tidak memberi indikasi apa-apa.
Tapi setidaknya mereka sudah bertemu muka. Selama 7 jam. Sambil makan malam enak –steak daging. Yang semoga masih terasa lezat di tenggorokan –meski bercampur dengan begitu banyak persoalan: perang dagang, Taiwan, Hongkong, Laut Tiongkok Selatan, Xinjiang, Covid-19, John Bolton, Kim Jong-un, hingga George Floyd.
Pertemuan 7 jam itu cukup memadai untuk penerbangan ke Hawaii yang masing-masing juga 7 jam.
Hanya media yang kecewa. Terutama yang punya ekspektasi besar atas pertemuan itu.
Tapi wartawan tidak kekurangan cerita. Tetap ada sisi menarik dari pertemuan itu: siapa yang mendampingi Liu He.
Maka para wartawan sibuk menulis sosok berumur 70 tahun itu: Dr Yang Jiechi.
Terutama tentang perjalanan karirnya. Dari paling bawah sampai jenjang paling atas.
Awalnya Dr Yang ‘hanya’ seorang penerjemah. Ia memang lulusan perguruan tinggi jurusan bahasa asing di Shanghai. Lantas meraih gelar doktor dari Nanjing University.
Dr Yang sendiri orang Shanghai –dua jam dengan kereta cepat dari Nanjing. Zaman ia jadi mahasiswa perjalanan tersebut bisa 6 jam –dengan kereta hijau. Saya pernah menempuh jarak itu 6 jam. Padahal sudah tahun 1990 –belum ada jalan tol maupun kereta cepat.
Keuntungan menjadi penerjemah jelas: punya ilmu yang banyak. Spektrum keilmuannya pun luas.
Dr Yang kemudian berhasil menjadi penerjemah tokoh sentral Tiongkok, Deng Xiaoping. Orang begitu sulit bertemu Deng. Sampai termimpi-mimpi. Dr Yang justru selalu di sebelah Deng –dalam pertemuan dengan Ronald Reagan.
Yang pun ikut keliling dunia. Dari satu pemimpin ke pemimpin lainnya. Ia serap semua ilmu mereka. Ia ingat baik-baik isi pembicaraan mereka.
Jadilah Yang kaya ilmu.
Pun atasannya melihat kemampuan Yang. Termasuk mampu dipercaya.
Maka Yang disekolahkan ke Inggris. Ke dua universitas sekaligus. Mula-mula ke Bath University. Lalu ke London School of Economic.
Pulang dari Inggris, Yang tetap jadi penerjemah. Tapi ia segera mendapat gelar ‘Tiger Yang’. Pemberi gelarnya bukan orang sembarangan: George HW Bush.
Yakni setelah Yang berhari-hari bersama Bush dan istri. Ketika Bush melakukan perjalanan ke provinsi paling pojok Tiongkok: Tibet.
Yang jadi penerjemah di sepanjang perjalanan itu.
Gelar ‘Tiger Yang’ itu diberikan sebagai penghargaan atas kemampuan dan pembawaan ya. Yang selalu sigap. Juga cocok dengan shionya: macan. Ia lahir tanggal 1 Mei 1950. Tepat pula di Hari Buruh –hari terpenting di dunia komunis.
Sejak itu Tiger Yang menjadi sahabat keluarga Bush.
Sebelum Bush menjadi presiden, Yang pun sudah menjadi menteri luar negeri.
Ketika Bush menjadi presiden, Yang sudah pensiun dari kementerian. Tapi pemerintah Tiongkok mengangkat Yang menjadi duta besar: di Amerika Serikat.
Dr Yang mewakili harapan para penerjemah se-dunia. Kini Dr Yang menjadi anggota politbiro partai. Ia lebih tahu Amerika dari siapa pun di Tiongkok.
Siapa tahu salah satu mahasiswa Indonesia pun punya karir semelejit itu. Yakni mereka yang kini ambil jurusan bahasa asing di berbagai universitas.
Saya, dulu, sering bertemu penerjemah Presiden SBY. Mereka memang orang pilihan. Salah satunya kemudian jadi Duta Besar di Amerika –sempat pula menjadi Wakil Menteri Luar Negeri: Dino Pati Jalal.
Di Amerika saya juga pernah bertemu seorang penerjemah. Ia ditugaskan menjadi penerjemah saya. Ketika pertama kali saya ke sana –atas undangan pemerintah Amerika.
Waktu itu bahasa Inggris saya amat-sangat-luar-biasa parah. Belum bisa membedakan pengucapan hari Selasa dan Kamis. Apalagi membedakan ‘jelek’ dan ‘tempat tidur’. Sekarang mendingan: tinggal parahnya saja.
Penerjemah itu ternyata pernah mendampingi Ibu Tien Soeharto. Saat beliau ke acara terpisah: Pak Harto menghadiri rapat, Ibu Tien ke salah satu perusahaan Amerika Serikat yang berinvestasi di Indonesia.
“Saya pernah punya pengalaman unik,” ujarnya sekian tahun kemudian. “Ketika tuan rumah mengucapkan kata-kata yang bisa membuat Ibu Tien tersinggung, tidak saya terjemahkan apa adanya” katanya.
Itulah memang salah satu tugas penerjemah kenegaraan. Harus punya kemampuan diplomasi seperti itu.
“Ternyata Ibu Tien membisiki saya. Beliau mengatakan ‘tidak begitu’,” kata penerjemah itu. Sambil tertawa. “Ternyata Ibu Tien mengerti bahasa Inggris,” tambahnya.
Pak Harto memang tidak pernah berpidato dalam bahasa Inggris di luar negeri. Akibatnya: banyak yang mengira beliau hanya bisa bahasa Indonesia.
Itu sangat kontras dengan presiden sebelumnya: Bung Karno. Yang pidato bahasa asingnya mengagumkan dunia.
Beda presiden tentu boleh beda gaya. (Dahlan Iskan)