eQuator.co.id – JAKARTA-RK. Mulo Sitorus kini bisa tersenyum lega setiap kali memandangi kartu keluarganya. Penganut kepercayaan Ugamo Malim atau Parmalim itu akhirnya merasakan buah dari perjuangan kelompok penganut kepercayaan. Secara bertahap, pemerintah melalui Dispendukcapil di masing-masing Kabupaten/Kota mengakomodir mereka dalam identitas kependudukan.
Sejak Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan pada 18 Oktober 2016, dia dan para penganut Parmalim, juga penganut kepercayaan lainnya, mulai mengajukan perubahan identitas di kartu keluarga. Prosesnya telah tuntas. ’’Untuk pengajuan perubahan di KTP, bagi warga penghayat Ugamo Malim sedang mempersiapkan diri untuk mengajukan ke Dinas Dukcapil masing-masing,’’ terang warga Tangerang itu saat dikonfirmasi kemarin (26/2).
Beberapa penganut kepercayaan lainnya sudah mendapatkan KTP baru. Misalnya potongan foto E-KTP atas nama Endang Subagja yang didapat Jawa Pos. Warga Cirebon itu memiliki E-KTP yang tidak mencantumkan kolom agama. Sebagai gantinya, di KTP ada kolom kepercayaan. Tertulis di situ, Kepercayaan terhadap Tuhan YME.
Putusan MK tersebut membuat hak-hak para penganut kepercayaan terpulihkan. Mereka tidak lagi terpaksa mengisi KTP-nya dengan salah satu dari enam agama, karena memang tidak termasuk penganutnya. Hanya saja, karena jenis kepercayaan yang dianut begitu banyak, maka diambil jalan tengah menggunakan frasa Kepercayaan Terhadap Tuhan YME. Sesuai dengan sila pertama Pancasila.
Butuh waktu sedikitnya setahun bagi pemerintah untuk mengeksekusi putusan MK itu. Wakil Presiden Jusuf Kalla pun angkat bicara. ’’Bahwa sekali lagi, aliran kepercayaan itu bisa dicatat. Sesuai dengan ketentuan,’’ kata pria yang akrab disapa JK itu di kantor Wapres kemarin (26/2).
Terkait dengan ada kelompok masyarakat yang berkeberatan atau tidak setuju, JK menanggapi dengan enteng. Bagi dia Indonesia itu adalah negara demokratis. Meskipun begitu bagi kelompok masyarakat yang mempersoalkannya, tidak boleh menghalangi para penghayat untuk mengubah kolom agama menjadi penghayat di KTP mereka.
Menurut JK, para penghayat kepercayaan itu juga orang Indonesia. Sehingga tetap mendapatkan hak-hak sipil seperti warga negara Indonesia lainnya. Apalagi ketentuan keterangan kepercayaan di kolom KTP sudah menjadi putusan dari Mahkamah Konstitusi.
Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin menuturkan keputusan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) itu adalah upaya untuk menjalankan putusan MK. ’’Bahwa data kependudukan itu mencantumkan agama dan kepercayaan setiap warga negara,’’ jelasnya.
Lukman mengatakan keputusan Kemendagri terkait keterangan kolom kepercayaan bagi para penghayat patut disyukuri. Sebab Indonesia adalah negara yang sangat religius. Dimana setiap warga negaranya menganut agama dan menjalankan agamanya masing-masing. Termasuk juga para penghayat menjalankan ajaran kepercayaannya yang mereka yakini.
Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri Zudan Arif Fakrullah mengatakan, secara teknis penyematan kolom kepercayaan memang sudah bsia dilakukan. Penyematan kolom bagi E-KTP penganut kepercayaan itu sudah berlaku secara nasional. Menurut dia, masyarakat yang memiliki kepercayaan di luar enam agama yang diakui pemerintah juga sudah bisa melakukan updating data.
Zudan menjelaskan, KTP penganut kepercayaan sudah diputuskan memiliki format yang sedikit berbeda. Di nama kolom agama diubah menjadi kolom kepercayaan. Sementara keterangannya disamakan menjadi ’Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa’. “Kalau organisasinya ada parmalim, sunda wiwitan itu nama organisasinya, bukan itu yang ditulis,” ujarnya saat ditemui di Istana Kepresidenan, Jakarta, kemarin (26/2).
Terkait prosesnya di lapangan, Zudan menuturkan, berdasarkan pantauannya, tidak ada persoalan dalam mengimplementasikan perubahan tersebut. “Kami sudah lama sosialisasinya. Jadi sudah lama, masyarakat terus memperbaiki identitasnya,” imbuhnya.
Dia menambahkan, saat ini, ada 138 ribu penganut kepercayaan yang terdaftar di database Dukcapil dalam Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK). Namun Zudan belum mengetahui, sudah berapa orang yang memproses perubahan data. “Nggak hafal saya” tuturnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) DKI Dhany Sukma menuturkan, pemuatan kolom keyakinan di ibu kota sejatinya bukan hal baru. ‘’Itu sudah otomatis sejak adanya pemutakhiran KK terbaru. Sistemnya baru berjalan sejak akhir tahun lalu yang menggunakan versi baru yang dimutakhirkan,’’ ujarnya kepada Jawa Pos, kemarin (26/2).
Dhany menjelaskan, Dukcapil DKI terus melakukan pemutakhiran Kartu Keluarga (KK) menggunakan model terbaru yakni berbasis Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) versi 7. Pada KK model terbaru ada lebih banyak kolom dibandingkan dengan versi lama.
Kolom-kolom tersebut di antaranya memuat informasi mengenai Nomor Akta Pernikahan, golongan darah, agama atau kepercayaan, hingga nomor paspor bagi yang memiliki. Ada 16 kolom yang memuat berbagai informasi pribadi sebagai data kependudukan yang lebih lengkap dan akurat.
Menurutnya, warga yang ingin memasukkan keyakinan pada KTPnya hanya perlu melakukan pemutakhiran KK. ‘’KK-nya diperbarui, dimutakhirkan. Di situ kan ada KK yang kolom kepercayaan. Ketika itu sudah diinput dalam pemutakhiran KK maka secara otomatis secara sistem juga berubah elemen yang ada di KTP-el,’’ jelasnya.
Bagi penghayat yang ingin mencantumkan keyakinannya di identitasnya, harus ada salah satu persyaratan yang dipenuhi. Prasyarat itu berupa surat keterangan yang diberikan oleh organisasi kepercayaan yang dianutnya.
Di Jakarta, Dhany menyebut belum banyak warga ibu kota yang melakukan pemutakhiran sembari mencantumkan keyakinannya. Meski tak memberi jumlah pasti, namun Dhany menyebut bahwa pemutakhiran yang dilakukan warga biasanya hanya bersifat insidentil semata. ‘’Biasanya itu ketika perubahan akibat peristiwa penting misalnya status nikah, kawin, itu biasanya sekaligus ada perubahan. Tapi masih kecil jumlahnya di DKI,’’ katanya.
Di saat hampir bersamaan, muncul polemik KTP yang dimiliki WNA asal Tiongkok. Polemik muncul karena waktunya berdekatan dnegan puncak pemilu 2019. Ada tudingan bahwa para WNA yang memiliki E-KTP bisa masuk dalam Daftar Temilih Tetap (DPT) Pemilu 2019.
Mengenai hal itu, Zudan memastikan kepemilikan KTP bagi Warga Negara Asing (WNA) bukanlah hal yang baru. Praktik tersebut sudah ada sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. “Ini sesuai dengan UU Administrasi Kependudukan, sehingga tidak haram WNA punya KTP elektronik,” ujarnya.
Hanya saja, syarat penerbitan KTP bagi WNA jauh lebih banyak. Bagi WNI, mengurus E-KTP cukup dengan menyertakan Kartu Keluarga. Sementara, untuk mendapatkan KTP, WNA harus juga menunjukkan izin tinggal tetap yang diterbitkan pihak imigrasi. Selain itu, format KTP-nya juga berbeda. Di mana dalam blangko terdapat identitas asal negara. Kemudian, masa berlakunya tidak seumur hidup. “Kalau KTP WNA tergantung izin tinggal tetapnya. Kalau izin tinggal tiga tahun, KTP-elnya tiga tahun, kalau satu tahun ya satu tahun,” imbuhnya.
Lantas, apa benar terjadi perbedaan warna? Zudan membantahnya. Menurutnya, semua KTP yang ada diterbitkan jajaannya memiliki warna yang sama, yakni biru. Yang membedakan hanya syarat mendapatkannya dan juga masa berlakunya.
Pria asal Sleman itu juga menegaskan, KTP WNA tidak bisa digunakan untuk pemilu. Karena syarat memilih adalah WNI. Meski sekilas desainnya mirip, Zudan yakin tidak bisa membohongi petugas TPS mengingat sudah jelas tertera asal kewarganegaraannya.
“Sehingga kalau di bawa ke TPS, orang langsung tahu dibaca KTP-nya. Oh ini warga negara asing, harus keluar dari TPS,” tuturnya. Apalagi, petugas TPS memiliki kemampuan untuk mengecek dan membaca identitas.
KPU juga buru-buru mengklarifikasi tudingan tersebut. Saat dikonfirmasi kemarin, Komisioner KPU Viryan Azis memastikan temuan yang beredar di lini masa media sosial itu tidak benar. Dia menjelaskan, NIK di KTP WNA Tiongkok atas nama Guohui Chen itu memang terdaftar di DPT.
Namun, tidak ada nama Guohui Chen. NIK tersebut terdaftar ke dalam DPT dengan nama Bahar, warga Desa Sayang Kabupaten Cianjur. Statusnya WNI, dan orangnya berbeda dengan Guohui. Problemnya, NIK di E-KTP milik bahar sedikit berbeda dengan yang tercatat di DPT.
Bila di DPT tercatat angka 7, pada E-KTP fisik Bahar tertulis angka 2 pada urutan yang sama. KPU akan menelusuri perbedaan tersebut. ’’Poin pentingnya adalah bapak Chen dengan NIK ini tidak ada di DPT pemilu 2019,’’ terang Viryan di KPU kemarin.
Yang mungkin terjadi, KPU Kabupaten Cianjur keliru saat menginput data NIK Bahar ke dalam daftar pemilih. Sehingga, Bahar terdaftar menggunakan NIK milik Chen. Sementara NIK yang tercantum dalam E-KTP Bahar tidak terdaftar sebagai pemilih.
Jawa Pos mengecek ulang pernyataan tersebut melalui penelusuran DPT. Hasilnya, NIK di E-KTP Bahar memang tidak terdaftar dalam DPT. Sementara, Bahar tercatat di DPT menggunakan NIK milik Chen.
UU Nomor 7 Tahun 2019 Tentang Pemilu sudah jelas mengatur syarat untuk mempunyai hak pilih di Pemilu 2019. Syarat itu tercantum dalam pasal 198 ayat 1. Yakni, WNI yang pada hari pemungutan suara sudah genap berumur 17 tahun atau lebih, sudah menikah, atau pernah menikah. Juga yang tidak sedang dicabut hak politiknya oleh pengadilan.
Viryan mengatakan, pihaknya akan bersurat ke Kemendagri terkait WNA yang memiliki E-KTP. ’’Kami akan meminta data para WNA itu by name by address,’’ lanjut mantan Komisioner KPU Kalimantan Barat itu. Sehingga, KPUbisa langsung mengecek bila muncuil lagi isu semacam ini di ruang publik.
KPU juga sekaligus akan mengecek data tersebut satu persatu. Apakah ada di antara WNA yang punya E-KTP itu, yang lolos dan masuk ke dalam DPT. ’’Misalnya ada, ya kami coret,’’ tambahnya. Sebab, status WNA membuat dia tidak memenuhi syarat untuk menjadi pemilih di Pemilu 2019.
Di luar itu, pihaknya juga bekerja sama dengan Bareskrim Polri untuk mengecek kebenaran data WNA yang beredar itu. Bila memang terjadi pemalsuan data, maka sepenuhnya menjadi ranah Bareskrim untuk mengusutnya. KPU hanya sebatas memastikan ada tidaknya pemilih yang tidak memenuhi syarat yang lolos masuk ke dalam DPT. Dalam kasus Chen, Namanya tidak ada dalam DPT. (Jawa Pos/JPG)