Tidak Ada Tit for Tat di Lira

Oleh: Dahlan Iskan

Donald Trump

eQuator.co.id – Saya was-was. Seminggu ke depan ini. Penuh tanda tanya: apakah Turki kuat. Atau kian terpuruk.

Mata uang Turki, Lira, tiba-tiba anjlok 18 persen. Akhir pekan lalu. Dalam sehari. Total turun 40 persen. Selama tahun ini saja.

Presiden Amerika Serikat Donald Trump langsung posting di twitter: Turki di ambang krisis ekonomi. Trump memang lagi menghukum Turki. Sekarang ini. Dan akan menghukum Iran lagi. Dua bulan lagi. Dan terus menghukum Tiongkok. Sampai kapan pun.

Trump menuduh: Erdogan sengaja memenjarakan seorang pastor. Dari Amerika. Namanya: Andrew Brunson. Erdogan menjawab: pastor tersebut terlibat mata-mata. Terkait dengan kudeta yang gagal itu. Bulan Mei 2016 lalu.

Trump minta pastor itu dibebaskan. Tidak salah, katanya.

Erdogan menolak. Langsung saja Trump menaikkan tarif impor baja dari Turki. Juga alumunium.

Padahal baja Turki sudah dikenakan bea masuk 25 persen. Sebagai hukuman juga. Karena Turki menjalin kontrak dagang dengan Iran.

Turki menerima hukuman ganda: tarif 50 persen. Itu langsung berpengaruh pada mata uang Lira.

Recep Tayyib Erdogan, Presiden Turki, masih bertahan. Tetap tidak mau membebaskan pastor Andrew.

“Kita masih punya pendukung agung. Tuhan,” katanya.

Erdogan juga terus mengampanyekan ini: pondasi ekonomi Turki kokoh. Jatuhnya lira hanya sesaat saja.

Saya akan terus mengamati perkembangan Turki ini. Setiap waktu. Sampai kondisinya menjadi stabil.

Turki bukanlah Tiongkok. Turki tidak bisa main tit for tat dengan Amerika. Beda dengan Tiongkok. Setiap tindakan Trump ke Tiongkok bisa dibalas. Setimpal. Mata dengan mata. Tangan dengan tangan. Selalu tit for tat.

Tapi Erdogan memang sangat keras. Pada para pelaku kudeta dan penyokongnya. Ia telah mencurigai Barat berada di balik kudeta itu.

Turki sebenarnya sahabat Barat. Sejak lama. Turki satu-satunya negara Islam anggota NATO. Sepakbolanya pun ikut kompetisi Eropa.

Sebagian kecil wilayah Turki memang masuk benua Eropa. Yakni yang sebelah barat selat Bosphorus. Misalnya kota Istambul.

Sebagian besar lagi masuk benua Asia. Tapi Turki lebih mengidentikkan dirinya sebagai Eropa. Bukan Asia.

Hanya saja Eropa menerima Turki masih setengah hati. Belum boleh menggunakan mata uang Euro. Belum boleh masuk masyarakat ekonomi Eropa.

Puluhan tahun Turki memperjuangkan itu. Tetap saja gagal. Alasan resminya: demokrasi di Turki belum demokrasi yang utuh. Juga: indikator-indikator  ekonominya masih terlalu jauh dari negara Eropa lainnya.

Turki telah menjadi kebanggaan masyarakat Islam dunia. Kalau sampai runtuh hilanglah kiblat ekonomi itu.

Turki tidak sendirian. Mata uang Tiongkok juga merosot. Sejak perang dagang dengan Trump. Tapi tidak drastis. Hanya 8 persen. Itu pun disengaja. Justru sebagai salah satu alat perang dagang.

Sabtu kemarin, genap tiga tahun Tiongkok membebaskan nilai tukar yuan. Sejak itu yuan malah menguat. Saking kuatnya teman-teman saya di Tiongkok mengeluh. Yuan terlalu kuat.

Maka kesempatan perang ini digunakan untuk sedikit melemahkan yuan. Lira tidak sekuat itu.

Perang ini ternyata kian luas. Turki kini jadi sorotan dunia: ditunggu jurus-jurusnya. (dis)