Masa pandemi ini membuat saya kangen pada satu kegiatan: Mengunjungi tempat keramaian lalu melihat bagaimana orang-orang berperilaku. Saya menyalahkan kesukaan ini pada dosen saya waktu kuliah dulu, yang meminta murid-muridnya melakukan hal seperti ini untuk tugas makalah.
Wajar. Jurusan marketing. Kelas Consumer Behavior.
Kalau mau dibahas detail agak njlimet. Saya juga sudah banyak lupa –dan melupakan– teori-teorinya. Yang saya ingat hanya asyiknya. Bagaimana orang akan punya perilaku khusus. Bisa sama, bisa beda-beda. Tapi semua ada pattern alias polanya.
Contoh saya ini, maaf, memang dari Amerika. Walau mungkin ada yang mirip juga di Indonesia atau secara global.
Salah satu contohnya, kami disuruh ke mal. Lalu mengamati perilaku orang di toko-toko lingerie alias pakaian dalam perempuan. Seperti Victoria’s Secret. Biasanya, yang perempuan selalu sibuk di dalam, sementara laki-laki yang menemani selalu sabar menunggu di luar.
Gara-gara kebiasaan, ke mana pun saya pergi, saya suka melihat habit dan gerak-gerik orang. Bisa mengira-ngira dia bakal ngapain dan sebagainya.
Ibu-ibu gaya tertentu akan cenderung suka memotong antrean. Bapak-bapak jenis tertentu selalu bingung cari tempat bersandar. Dan lain-lain. Tidak selalu tepat, tapi hampir selalu tepat.
Yang menurut saya menarik, ada hal-hal di mana orang punya kecenderungan sama. Bahwa mayoritas orang intinya akan berbuat sama. Hanya segelintir yang akan sulit diprediksi polanya. Kata Apple itu namanya Think Different. Walau ironisnya, karena begitu banyak orang sekarang pakai Apple, sehingga semua yang “Think Different” itu sebenarnya sudah jadi sama.
Nah, sekarang lompat ke obrolan politik (Duer!).
Tahun ini bakal ada banyak pemilihan yang seru. Dari skala paling diperhatikan dunia (presiden Amerika) sampai banyak kota di Indonesia.
Dalam hal menilai dan mengomentari, memang jauh lebih gampang melihat ke belakang. Dengan melihat ke belakang itu, kita bisa melihat pattern atau pola. Yang kemudian bisa terulang saat masyarakat harus memilih pemimpin selanjutnya.
Umumnya, semua belajar dari pengalaman sebelumnya. Kalau pernah merasakan tipe C yang dianggap kurang baik, maka akan mencari yang B atau A. Kalau pernah merasakan yang A dan itu baik, maka harus bisa memilih lagi yang juga A, atau kalau bisa A+.
Yang sulit adalah kalau kita tidak benar-benar tahu, selama lima atau sepuluh tahun ini kita sebenarnya mendapatkan yang mana. Kayaknya sih A, tapi kok masih ada C-nya. Bahkan D-nya. Tidak jarang dia itu sebenarnya D, tapi punya tim pencitraan kuat hingga terlihat seperti B atau A-.
Zaman sekarang, hampir tidak ada buku yang jelek sampulnya. Dan orang belum tentu mau membaca bagian dalamnya.
Itu yang sudah dirasakan. Mencari calon-calon pengganti memberi tantangan yang berbeda lagi. Apakah dia A juga atau A+? Atau jangan-jangan dia itu F. Apalagi ini belum tentu ada buktinya.
Saya baru merasakan beberapa pemilihan di Indonesia. Dan sebenarnya secara keseluruhan kita ini belum merasakan banyak pemilihan. Mengingat memilihnya tiap lima tahun sekali.
Walau pengalaman memilih masih hitungan jari, saya merasakan ada beberapa pattern di negara kita ini. Sekian tahun yang lalu, saya pernah mengungkapkan ini kepada seorang gubernur dan wakil gubernur yang sedang bersiap menghadapi pemilihan ulang.
Saya sampaikan, kalau situasi baik-baik saja, dalam artian tidak spektakuler tapi juga tidak buruk, orang akan cenderung “main aman.” Pilih yang sama saja, daripada aneh-aneh dapat yang tidak jelas.
Kalau situasi dianggap sangat baik, lebih gampang lagi. Tetap pilih yang sama saja kalau orang tersebut masih bisa maju lagi.
Kalau situasi dianggap buruk, maka masyarakat akan berani mengambil risiko. Kasarannya, lebih baik memilih kucing dalam karung daripada kucing yang sudah kelihatan buruknya.
Yang paling mengerikan, kalau situasinya tanggung. Bisa dibilang baik, bisa dibilang buruk. Kemudian terjadi polarisasi di masyarakat. Satu kubu sangat kuat bilang A, kubu lain sangat kuat bilang F. Tidak ada tengah-tengahnya. Tidak ada yang sekadar bilang “Oke-lah.”
Amerika, sekarang, sepertinya sedang seperti itu. Tidak ada yang tengah-tengah. Benar-benar suka Trump, atau benar-benar benci Trump. Dan dua kelompok besar ini benar-benar punya pendapat berseberangan. Kadang, dukungannya adalah dukungan “buta.” Tidak mempedulikan faktual di lapangan. Pokoknya Trump atau Pokoknya Jangan Trump.
Pemilihan presiden Amerika sudah akan berlangsung November ini. Berdasarkan kebanyakan survei, Joe Biden dari Partai Demokrat bakal menang. Ada yang bilang selisih angkanya dengan Trump (Partai Republik) sudah lebih dari 14 persen.
Ya, pada 2016 lalu, hampir semua menganggap Hillary Clinton bakal menang. Dan akhirnya Trump yang menang melalui electoral vote, walau Clinton sebenarnya menang popular vote.
Ini tidak akan terjadi pada Biden, kata pengamat-pengamat itu. Karena selisih keunggulan Clinton atas Trump dulu tidak sebesar selisih keunggulan Biden atas Trump saat ini.
Plus, situasi pandemi, ditambah keresahan sosial dan ekonomi, dianggap membuat orang gerah dengan Trump. Bisa dibilang, orang akan memilih kucing dalam karung daripada merasakan Trump lagi.
Trump, tentu saja, mati-matian berjuang untuk terpilih lagi. Dengan senjata utamanya, memperkuat basis fanatisnya. Yaitu yang kulit putih dan jalur-jalur gereja itu. Dia seolah tak peduli ini semakin memecah belah Amerika, yang penting menang dulu.
Hasil survei Siena College dan The New York Times, sikap “Pokoknya Trump” atau “Pokoknya Bukan Trump” itu benar-benar tercermin dari para calon pemilih.
Mereka yang menyukai Biden misalnya, mayoritas menyebut situasi ekonomi sedang tidak baik. Mayoritas juga menyebut Amerika gagal dalam menghadapi dan mengatasi situasi pandemi. Kalangan minoritas (non-kulit putih) kebanyakan ikut kubu ini.
Sementara mereka yang akan memilih Trump, benar-benar berbalik pendapat. Mereka menganggap situasi ekonomi baik-baik saja. Mereka menyebut pemerintah Amerika telah menghadapi dan mengatasi situasi pandemi dengan sangat baik. Mayoritas yang di kubu ini adalah kulit putih.
Saya yang pernah bertahun-tahun tinggal di sana sampai ikut merasa ngeri. Padahal saya tidak punya kepentingan apa-apa, dan saya tidak akan ikut memilih. Bagaimana sebuah demokrasi yang begitu lama dan matang masih bisa menghasilkan pilihan-pilihan yang berat, dengan sikap “pokoknya.”
Seperti apa Amerika kalau Trump nanti terpilih lagi? Ngeri memikirkan.
Seperti apa beratnya beban Biden apabila dia yang terpilih? Mengingat dia harus “menyatukan” lagi Amerika sambil memulihkan kondisi ekonomi dan pandemi ini. Tugas yang sangat berat.
Kalau Amerika saja seperti itu, lha kita di Indonesia setelah ini bagaimana? Pada 2024, kita mau tak mau harus memilih pemimpin baru. Masih empat tahun lagi, tapi juga bisa dibilang tinggal empat tahun lagi.
Pada penghujung 2020 ini, banyak daerah harus memilih juga. Ada yang mungkin sudah nyaman dengan petahana, ada yang tak sabar ganti pemimpin, ada yang juga harus memilih orang baru. Semua harus dipilih di tengah situasi pandemi, di saat kondisi ekonomi juga sedang kurang menyenangkan.
Tantangan kita sekarang: Bagaimana harus bisa melihat lebih dalam, lebih jauh. Orang yang kelihatan baik saja belum tentu cukup, karena belum tentu menghasilkan sesuatu yang baik. Mungkin harus lebih berani mengambil risiko. Kita harus benar-benar bisa membaca isi buku. Karena sampulnya sudah tidak ada yang jelek.
Impian saya: Pemimpin yang ketika terpilih nanti tidak banyak kelihatan di billboard, media, termasuk media sosial. Tidak banyak atraksi, apalagi sok aksi. Walau terkesan diam, wilayahnya jadi berkembang secara riil. Tidak ada jalan berlubang, tidak ada banjir, tidak ada drama, tidak ada yang aneh-aneh.
Maaf, saya ambil lagi contoh waktu tinggal kuliah di Sacramento. Hujan badai di musim dingin sudah biasa di sana. Berangkat kuliah, banyak pohon tumbang di pinggir jalan dan fasilitas umum rusak. Termasuk jalan rusak. Sore pulang kuliah, semua sudah bersih rapi seperti tidak pernah ada masalah.
Saya tidak pernah tahu siapa wali kota Sacramento waktu itu. Teman-teman saya warga lokal pun banyak yang tidak tahu siapa nama wali kotanya sendiri. Siapa pun orangnya, dia sepertinya benar-benar bekerja untuk warga. Seolah tidak butuh dipuji warganya, apalagi dipuja-puja. (azrul ananda)