-ads-
Home Headline TFC Rawat 10 Balita Gizi Buruk

TFC Rawat 10 Balita Gizi Buruk

80 Persen karena Pola Makan dan Ekonomi

DIPANGKU Seorang ibu sedang memangku anaknya yang menderita gizi buruk di salah satu ruangan TFC di Puskesmas Saigon, Senin (25/3). Maulidi Murni/Rakyat Kalbar

eQuator.co.id – PONTIANAK-RK. Hingga Maret 2019 sudah 10 balita dirawat inap di Pusat Pemulihan Gizi Buruk (Therapy Feeding Center/TFC). Namun, 5 balita diantaranya sudah pulang ke rumah masing-masing.
TFC berlokasi di Puskesmas Saigon, Jalan Tanjung Raya 2, Kecamatan Pontianak Timur. Sebelumnya, tahun 2018 ada 30 anak dirawat di TFC. Semuanya merupakan warga Kota Pontianak.

dr mardiah yang merupakan dokter umum di TFC menyebutkan, dari 10 balita yang positif gizi buruk, 5 diantaranya memang sudah pulang ke rumah masing-masing.
Kendati demikian, ia menegaskan, hal ini bukan merupakan wabah, karena rata-rata balita tersebut harus discreening melalui posyandu. Namun, dia menyayangkan masih ada warga yang tidak pernah mengakses ke posyandu. Sehingga, begitu kader posyandu datang ke rumah, baru ketahuan ada balita yang masuk dalam garis merah, lalu akhirnya dirujuk ke TFC. “Ketika kesini, dipastikan lagi apakah garis merah tersebut memang gizi buruk atau gizi kurang,” jelasnya, Senin (25/3).
Dari penuturannya, anak yang gizi kurang sebelum menjadi gizi buruk akan ditangani terlebih dahulu. Tujuannya, agar anak-anak tersebut tidak menjadi gizi buruk. Jadi dirawat jalan, selanjutnya dipantau. Jika ini cepat ditangani, maka tidak akan menjadi gizi buruk. “Kalau gizi buruk itu, yang sudah diukur berdasarkan berat badan dan tinggi badan, baru bisa dinyatakan gizi buruk. Tinggi badan dan berat badan menjadi ukuran ideal kesehatan seorang anak. Angka deviasinya minus tiga, kalau dibawah, dia gizi kurang, kalau angka itu, dia gizi buruk,” lanjutnya.
Menurutnya, penyebab gizi buruk bisa terjadi karena pola makan, pola asuh dan ekonomi, serta penyakit penyerta. “Hampir 80 persen karena pola makan dan ekonomi,” ujarnya.
Untuk diketahui, TFC merupakan tempat khusus perawatan anak yang menderita gizi buruk. Pelayanan di TFC juga gratis, tanpa dipungut biaya apapun. Dengan tenaga medisnya terdiri dokter spesialis anak, dokter umum, perawat, petugas gizi dan laboratorium. “Ditempat ini anak-anak diberikan pola gizi makanan yang diatur, tidak ada pemberian infus. Kita murni hanya fokus pada pemberian pola makan,” jelasnya.
Dia menjelaskan, pada awal anak datang, langkah pertama yang dilakukan adalah pemberian makan pada tahap stabilisasi, yaitu pemberian F75 selama 3 jam. Setelah keadaannya membaik, maka dinaikkan lagi dengan memberikan formula F100. Untuk responya, setiap hari akan dilihat kenaikan berat badan. Selain itu, juga dilihat apakah ada infeksi lainnya. “Biasanya anak gizi buruk ada infeksi lain yang menyertai,” ungkap Mardiah.
Penanganannya melalui terapi makanan dan juga berkoordinasi dengan dokter spesialis anak yang ditugaskan di puskesmas. Tindaklanjutnya setelah dari TFC akan dilakukan pemantauan oleh petugas gizi dari puskesmas masing-masing, supaya tidak menjadi gizi buruk.
Salah satu orangtua yang anaknya menderita gizi buruk adalah Wasliah. Anak keduanya yang berumur tujuh bulan sudah 21 hari dirawat di TFC. Sebab, berat badannya tidak naik-naik. Walau ketika lahiran cukup bulan dengan berat 3,2 kilogram. “Timbangan terakhir 5,1 kg setelah dirawat menjadi 5,3 kg,” sebut dia.
Ia menceritakan, awal mula anaknya menginap di TFC, karena beberapa waktu lalu hendak memberikan imunisasi, tapi tidak bisa, karena beratnya rendah atau tidak sesuai. Diagnosa dokter kata dia, anaknya menderita gizi buruk. “Jadi disuruh menginap disini, untuk memperbaiki gizinya,” ujarnya.
Dia mengungkapkan, anaknya sering mencret-mencret lalu muntah. Akhirnya, berat badan anaknya sempat menurun. Di TFC, balita yang berumur tujuh bulan itu, kata Wasliah, diberikan menu makanan empat bintang yang terdiri dari tempe, tahu, daging, kadang juga ayam. Wasliah menyebutkan, target dari dokter jika sudah mencapai 5,7 kilogram, maka anaknya diperbolehkan pulang.
Terpisah, Kepala Dinas Kesehatan Kota Pontianak, Sidig Handanu menjelaskan, anak gizi buruk yang dilaporkan dari puskesmas atau masyarakat, maka akan dilayani di Pusat Layanan Pemulihan Gizi Buruk yang berada di Puskesmas Saigon. “Di pusat pelayanan tersebut kita ada kerjasama dengan dokter spesialis anak, untuk mengetahui apakah ada masalah dengan penyakit penyerta atau tidak,” sebut dia.
Menurutnya jika ada masalah dengan penyakit penyerta dan harus dirawat, maka akan dirawat di rumah sakit. Jika penyakitnya sudah teratasi, maka akan dikembalikan ke Pusat Layanan Gizi Buruk atau rawat jalan dengan diberikan makanan tambahan dan didampingi tenaga kesehatan.
Sidig Handanu mengatakan, pelayanan kesehatan gizi buruk yang utama adalah kemauan untuk dirawat dan didampingi oleh keluarga. Ia memastikan pelayanannya juga gratis. “Kemudian yang harus dicatat bahwa sebagian besar dari kasus gizi buruk adalah penyakit penyerta, jadi tidak murni karena kekurangan makanan, biasanya adalah tuberculosis. Bahkan ada HIV AIDS, penyakit kongenital jantung bawaan dan masih banyak lainnya,” paparnya.
Kemungkinan gizi buruk dipengaruhi beberapa aspek. Dia mengatakan, penyakit yang mendasari adalah seperti tuberkulosis, jantung dan lainnya tidak diatasi, maka gizi buruknya juga tidak bisa diatasi. “Jadi penyakit penyertanya yang mendasari harus diselesaikan dulu,”
Ia melanjutkan, sebelum masuk kategori gizi buruk, maka terlebih dahulu masuk kepada gizi kurang, namun karena pola asuh dan keengganan untuk mengakses posyandu, maka tidak terdeteksi ketika jatuh kepada gizi kurang. “Imbauan kita kepada orangtua untuk membawa anaknya sampai usia 5 tahun, sebulan sekali ditimbang. Kemudian untuk  aparat yang ada di lapangan untuk melaporkan, jika ada anak-anak dengan indikasi kurus,” ujarnya.
Sidig Handanu menyebutkan, akibat gizi buruk dapat berdampak luas terhadap kecerdasan, apalagi gizi buruk muncul pada usia dibawah 2 tahun. Hal itu bisa menyebabkan stunting, perkembangan volume otak terganggu. “Gizi buruk juga bisa menyebabkan meninggal dunia, tapi sebagian yang meninggal karena penyakit penyertanya,” ujarnya.
Dari penuturannya, memandang gizi buruk haruslah cermat, karena gizi buruk sebenarnya merupakan efek samping dari penyakit yang mendasar. Akibat dari gizi buruk, yaitu jika tidak dilayani pasti akan berpengaruh pada aspek motorik, otot-otot akan menjadi lemah dan jika itu terjadi, sudah termasuk kategori lambat. “Penanganan gizi buruk standar selama tiga bulan, tapi biasanya masyarakat tidak mau menunggu selama tiga bulan. Sering juga kasus yang masuk kesana adalah pasien yang sudah pernah masuk,” pungkasnya.
Sementara itu, Wali Kota Pontianak, Edi Rusdi Kamtono mengaku di Kota Pontianak sebenarnya tidak ada gizi buruk, jika dilihat dari fasilitas dan sarana prasarana yang telah disiapkan. Edi menilai, kalau sampai terjadi gizi buruk berarti ada kekurangan pemahaman dari keluarga atau orangtua yang merawat anaknya. “Gizi buruk ini lebih cenderung terpapar kepada anak-anak. Mulai dari balita karena ketidakpahaman orangtua memberikan asupan makanan,” tutur Edi.
Edi melanjutkan, padahal orangtua tersebut mampu untuk memberikan makanan yang bergizi bagi anaknya. Edi meminta dengan banyaknya puskesmas dan posyandu yang ada, diharapankan masyarakat dapat datang untuk memeriksakan anaknya. Jika layanan tersebut kurang, Pemerintah Kota sudah memiliki cadangan pangan untuk memperbaiki gizi. “Semoga masyarakat Kota Pontianak paham dan sadar,” imbuhnya.
Posyandu biasanya dilakukan pada waktu tertentu. Dan menurut Edi, Posyandu sangat penting untuk mengecek pertumbuhan anak, dan membuktikan pertumbuhan anak sehat atau tidaknya. “Kalau gizi buruk berkaitan dengan pola makan, tinggal bagaimana orangtua dan lingkungan bisa peduli hal itu,” tutupnya.

 

-ads-

Laporan: Maulidi Murni

Editor: Yuni Kurniyanto

Exit mobile version