eQuator.co.id – Empat hari kerja, tiga hari pesta. Jumat malam saya tiba di Cardiff, Wales. Sudah jam 23.30. Pinggir jalan di depan hotel penuh manusia. Anak muda.
Mereka antre memanjang. Mengular. Entah berapa ratus meter. Polisi banyak di jalan itu. Lalu-lintas ditutup —kecuali taksi.
“Ada apa ini? ” tanya saya pada polisi.
“Diskotek,” ujar polisi. Sambil menunjuk lampu-lampu redup di dekat pintu masuk.
Udara tengah malam ini dingin —bagi saya. Atau sejuk —untuk ukuran mereka. Terbukti dari pakaian mereka —yang hehe sembrono. Terutama yang wanita.
Bagi yang tidak tahu Cardiff —seperti saya— tidak menyangka kalau ada diskotek di situ. Bahkan berjajar tiga.
Tidak ada pemandangan hingar-bingar dari luar. Tidak terdengar dentum disko dari jalan raya. Tidak ada kerlip-kerlip lampu di luarnya.
Pesta itu di dalam. Dimulai jam 00.00. Antrenya sejak jam 23.30.
Saya pilih masuk hotel. Tidur. Hotel ini terlalu mahal untuk tidak ditiduri. Itu pun hanya malam ini. Besoknya sudah harus terusir. Belum tahu akan dapat hotel di mana. Semua hotel penuh. Pun sudah dengan harga empat kali lipatnya.
Rupanya lagi ada perhelatan besar di Cardiff. Itu di luar pengetahuan saya —jenis perhelatan apa itu.
“Speedway,” ujar petugas hotel.
Speedway? Terserahlah apa pun itu. Saya harus tidur.
Besok pagi saya bisa jalan kaki cari sarapan sambil cari tahu. Tapi pagi-pagi saya harus olahraga dulu di gym. Tidak ada senam DI’s Way di Cardiff.
Jam 8 saya baru bisa cari sarapan. Masih terlalu pagi untuk ukuran orang Cardiff.
Saya menyusuri trotoar. Kok sudah ramai. Banyak orang antre pula. Panjang.
Saya ikut antre. Entah untuk apa. Tapi wanita tua di sebelah saya baik hati. Justru dia yang lebih dulu bertanya.
“Anda tahu ini antre untuk apa?“
“Tidak tahu”.
“Saya sudah duga,” katanya pada suaminya. Umur mereka kira-kira hampir 70 tahun.
“Ini antre apa?” tanya saya.
“Beli buku. Untuk mendapat tanda tangan pembalapnya,” kata wanita itu.
“Hah? Pembalap? Balapan apa?”
“Speedway,” katanya.
Saya beruntung antre di dekat nenek ini. Dia bisa menjelaskan lengkap apa itu Speedway. Saya berterus terang padanya: tidak tahu apa-apa tentang apa itu tadi.
Oh… Kalau di Indonesia itu disebut drag race. Tidak sama tapi sejenis. Beberapa kali saya pernah melihatnya. Bahkan pernah diminta mengibarkan bendera start.
Hanya saja jenis motor Speedway ini tanpa rem. Giginya (gear) hanya satu. Motornya kelihatan kecil tapi cc-nya 500.
Mesin motornya didesain khusus. Bahan bakarnya methanol —untuk memperoleh spontanitas lebih tinggi dan kecepatan maksimal. Methanol itu harus murni —tidak boleh ada tambahan, additive, apa pun.
Kok nenek itu menguasai Speedway? “Saya sudah menyukainya sejak umur 9 tahun,” ujar si nenek.
Hah? Saya tidak tahu sama sekali apa itu Speedway —sampai umur saya mendekatinya.
“Suami saya ini juga tidak tahu Speedway. Ia hanya mengantar saya,” katanya. Sambil mengejek suaminya. Yang diejek memegang tangan istrinya lalu menggoyang-goyangkannya. Kami pun tertawa. Sambil beringsut maju.
“Nontonlah nanti sore. Jam 5. Tapi jam 3 sudah harus di stadion,” katanya. “Dekat kok. Lampu bangjo itu belok kiri sedikit,” tambahnya.
Setengah jam kemudian kami tiba di pintu masuk. Ternyata ini sebuah restoran. Kebetulan.
Nama restoran ini ‘Revolution’. Para pembalap Speedway sering ke sini. Lokasinya memang dekat stadion Speedway. Pun hanya di seberang Castle kuno yang indah.
Di bagian depan restoran ini dipajang dua sepeda motor. Itulah motor yang pernah dipakai pembalap Inggris Tai Woffinden. Si juara dunia —yang kini sudah digeser oleh anak muda Polandia, Rusia dan Denmark.
Tapi Tai masih tetap jadi kebanggaan orang Inggris. Hari itu Tai meluncurkan buku yang ia tulis. Mengenai dirinya dan Speedway. Judulnya: Raw Speed.
Inilah untuk pertama kalinya saya berfoto dengan motor Speedway. Juga dengan pembalapnya.
Keluar dari restoran itu Kota Cardiff sudah berubah! Jam 9 pagi suasana pusat kota sudah seperti karnaval.
Kian siang kian meriah. Apalagi setelah pukul 1 siang. Kota Cardiff sudah pesta. Jalan-jalan seperti mode show —tanpa tema.
Segala macam pakaian dipamerkan. Segala macam cara mengenakannya dipertontonkan. Segala macam kesembronoan tank top-nya ditonjolkan. Atau short pan-nya digeolkan.
Ada juga satu rombongan hitam-hitam. Berpakaian Pastor. Lengkap dengan topi Pastor di kepala dan salib di dada. Juga membawa dupa yang digoyang-goyang di depan tubuh mereka. Mereka meneriakkan —mungkin doa— pembalap idola mereka.
Pun bendera banyak negara berkibar —Inggris, Polandia, Rusia, Denmark dan banyak lagi. Mula-mula saya kaget. Kok banyak bendera Indonesia. Ups —sekali ini saja pakai ups di naskah ini —ternyata itu bendera Polandia: Putih Merah.
Sekarang ini juara dunianya memang Polandia: Bartosz Zmarzlik. Umur 32 tahun. Juara keduanya —hati-hati membaca nama ini— Emil Saifutdinova. Dari Rusia. Ia kelahiran Kota Salavat. Di Provinsi Bashkortostan, tidak jauh dari Kazakhstan.
Juara tiganya yang Denmark: Leon Madsen. Tiga-tiganya terjun ke Grand Prix putaran ke 9 tahun ini di Cardiff.
Sayang saya saya harus terusir dari hotel. Tidak dapat kamar pengganti —pun di hotel lain. Ada kamar lux di hotel lux —tapi tarifnya Rp 75 juta satu malam.
Saya pilih ke stasiun kereta api —satu jam sebelum Speedway dimulai. Saya mencoba menyingkir dulu satu malam ini ke kota terdekat: Swansea.
Pasti ada kamar kosong di Swansea sana. Dalam perjalanan satu jam ini pikiran saya di Speedway. Pada nenek yang gila Speedway tadi. Alangkah berjingkraknya dia. (DIS)