Mengejar ilmu sampai ke negeri China (Tiongkok) jadi moto hidupnya. Lantaran punya mimpi besar, sehingga semangat belajar kian kuat.
Suci Nurdini Setiowati, Bengkayang
eQuator.co.id – Dia adalah Nurislin. Pemudi berprestasi 24 tahun ini asal Kabupaten Bengkayang. Warga Gang Family 2 No. 152 Jalan Bangun Sari, Bengkayang ini sedang sibuk-sibuknya menyelesaikan studi di Tiongkok. Perempuan yang akrab disapa Angah ini hijrah ke negeri tirai bambu sejak 2013.
Sejak duduk di bangku SMA, Nurislin sudah berminat menguasai bahasa Mandarin. Namun ia mulai kursus bahasa Mandarin sejak tamat SMA. Waktu itu ia kursus selama setahun di Gedung Pancasila, Jalan Ngura Bengkayang.
Setahun berikutnya, ia hijrah ke Kota Pontianak. Guna memperdalam bahasa Mandarin. Dia belajar di Badan Koordinasi Pendidikan Bahasa Mandarin (Bakorpen) Kalbar di Kota Pontianak.
“Pas belajar di Pontianak dapat beasiswa ke Guangzhou dari pemerintah Tiongkok. Tapi kalau yang untuk biaya di sini atau uang jajan beasiswanya dari Bakorpen Jakarta,” ungkapnya via WeChat kepada Rakyat Kalbar, Kamis (6/8).
Empat tahun menempuh pendidikan di Jinan University Guangzhou, Angah pun lulus. Kendati sudah menyandang S-1, ia terus berupaya melanjutkan ke S-2. Sasarannya mendapatkan beasiswa S-2 di Shandong Normal University di provinsi Shandong. Untuk mendapatkan beasiswa itu dia harus memenuhi beberapa persyaratan.
“Yang utama harus lulus HKS4 (ujian level bahasa mandarin). Terus harus ada pengantar dari yayasan Mandarin, kayak Bakorpen Pontianak, Untan gitu,” tuturnya.
Saat ini Angah masih di semester 3 pendidikan S-2 dan tinggal di salah satu asrama di Shandong, China. Selama menempuh pendidikan di Tiongkok banyak suka dan dukanya. Mendapatkan banyak teman, namun jauh dari orangtua sudah pasti. Tapi yang lebih sulitnya adalah untuk menyelesaikan tugas dari dosennya.
“Susahnya kalau kelas gabung sama siswa China. Level Mandarinnya kan disamakan dengan Mandarin orang China asli, jadi kadang keteteran,” jelasnya.
Kesulitan lainnya ketika mencari makanan. Angah yang Muslim, harus mencari makanan halal. Di Tiongkok, makanan halal dan enak sulit dicari. Untuk mensiasatinya ia masak sendiri atau beli via online.
Tapi semua itu tidak memadamkan semangat Angah. Disana ia bahkan semakin tertantang untuk menunjukkan prestasinya. Dari mulai lomba tari, pidato semua dibabat habis oleh dirinya.
Ia bahkan sampai lupa kompetisi apa saja yang pernah ia menangkan.
“Soalnya terlalu banyak lomba yang diikutin. Contohnya juara 3 lomba baca puisi, juara favorit pidato, masuk semi final lomba ngajar Provinsi Shandong,” jelasnya.
Bermata sipit, gadis ini tidak sama sekali memiliki darah Chinese. Tapi dirinya tetap belajar bahasa Mandarin. Ia berharap semakin banyak orang yang ingin belajar bahasa asing, khususnya Mandarin. “Kami dari suku Melayu, tapi belajar Mandarin. Jadi jangan malu,” sebut Angah.
Inspirasi Angah menempuh pendidikan di China dari kakaknya bernama Reza. Sama seperti dirinya, kakaknya terlebih dahulu mendapatkan beasiswa kuliah di Tiongkok. Saat ini kakaknya sudah lulus dan mengajar di Bakoper Jakarta.
Angah yakin peluang beasiswa dan kesempatan kuliah di Tiongkok terbuka lebar. Asal ada niat dan usaha untuk belajar bahasa Mandarin.”Karena kedepannya semakin banyak investor Tiongkok datang ke Indonesia, dan peluang kerja terbuka lebar,” ucapnya.
Angah berciata-cita kembali ke tanah air ketika lulus pendidikan S-2. Ia ingin mengabdi serta membangun nusa dan bangsa Indonesia.
“Lulus nanti bakal ngajar di STB Pontianak. Ngabdi buat negara jadi dosen,” tuntas Angah. (*)
Editor: Arman Hairiadi