Harian DI’s Way edisi pertama terbit. Tanggal 4 Juli kemarin. Telat. Dari jadwal. Lebih cepat. Dari skenario terburuk.
Soal telatnya itu penjelasannya bisa panjang. Intinya: persiapan yang kurang matang. Di bagian apanya?
Di semua bagian.
Kenapa tidak dimatangkan dulu?
Itulah juga pertanyaan kami semua.
Jawabnya ternyata penuh canda: Kalau tunggu matang bisa jadi baru setahun lagi terbit. Keburu Covid-19-nya lewat. Bukankah terbitnya Harian DI’s Way untuk menandai bencana terbesar abad ini: Covid-19?
Apa hubungannya dengan Covid-19?
Tidak ada. Tapi alasan itu harus dicari –kalau perlu dicari-cari.
Yang penting Harian DI’s Way jadi terbit kemarin –tepat di hari kemerdekaan Amerika Serikat. Semoga Donald Trump puas.
Apa hubungannya dengan Trump?
Juga tidak ada.
Ini jawaban yang lebih serius:
Pilihan jenis kertas yang dipakai Harian DI’s Way. Kertas seperti ini – -cobalah raba sekali lagi– memang tidak umum: licin dan lembut.
Bagi yang di luar Surabaya – -yang tidak bisa menyentuh fisik Harian DI’s Way — rabalah pantat bayi. Seperti itulah sensasinya.
Secara teknis kertas seperti itu banyak mengandung kesulitan. Belum ada harian di Indonesia yang berani menggunakan jenis kertas ini. Misalnya ketika halaman depan Harian DI’s Way dibuat seperti itu. Blok warna hitamnya itu pekat dan dominan. Ternyata itu sangat menyulitkan untuk jenis kertas istimewa ini. Terlalu banyak tinta di halaman itu. Akibatnya sering lengket di peralatan mesin cetak.
Apalagi memang baru sekali ini mesin cetak yang sebenarnya modern itu mendapat ”jenis makanan” Eropa seperti ini. Masih belum terbiasa. Sedikit mules-mules.
Tapi kami tidak menyerah: Akan terus menggunakan kertas yang tidak lazim ini – -untuk harian. Agar sesuai dengan kredo ‘ini bukan koran’. Bukan hanya itu. Juga ada alasan jangka panjangnya.
Kami yakin dalam satu-dua minggu percetakan sudah akan bisa mengatasinya. Ini memang seperti perawan. Harus dibiasakan dulu.
Penyebab lainnya: Semua penata halaman memang pemula. Anak-anak sangat muda. Belum pernah ada yang bekerja di koran. Bahkan tidak ada yang pernah berlangganan koran.
Tapi itu bukan alasan. Mereka bisa belajar dengan cepat. Tidak lama lagi mereka bisa mengatasi ‘semua masalah baru’. Mereka pembelajar yang cepat.
Demikian juga wartawan-wartawan kami. Serba baru. Hanya pengendali di redaksi yang sudah sangat berpengalaman di media cetak. Lihatlah daftar nama mereka di halaman 9 itu.
Hemmm…
Telat tapi terbit. Terbit tapi telat. Untung kami ini Harian DI’s Way. Bukan, misalnya, hehe, Harian pagi DI’s Way…
Kami memang harus tetap bisa bercanda. Di tengah stres tertinggi sekali pun. Pun di tengah malam menjelang pagi seperti ini.
Bahkan sambil duduk di tumpukan kertas sekali pun, saya bisa menulis artikel ini. Sambil menunggu Harian DI’s Way dicetak. Azan subuh pun terdengar. Masih lama lagi cetakan ini selesai.
Saya sudah mengira akan ada kejadian seperti ini. Pun kalau persiapannya lebih matang. Karena itu saya membawa obat ke percetakan. Yang harus di minum jam 4 pagi. Tapi saya tidak bisa membawa sarapan. Pukul 4.30 saya minta isteri mengirimkan madu, telur rebus, dan jus jambu biji.
Saya pun menuju mobil yang parkir di pinggir jalan – -di luar percetakan. Saya sempatkan sarapan empat menu itu di dalam mobil. Itulah menu rutin sarapan saya selama Covid-19: madu, telur rebus dua biji, jus jambu biji, dan pisang. Setiap hari.
Usai sarapan kembali melihat orang bekerja. Yang juga sepanjang malam qiyamul-lail.
“Besok tidak boleh telat lagi,” itulah tekad semua orang di redaksi. Juga di penata halaman.
Mereka yakin separo ‘kesalahan-kesalahan-pertama’ tidak akan terjadi lagi. Berarti, kata saya, masih ada separo ‘kesalahan-kesalahan pertama ditambah sisa-sisa kesalahan kedua’.
Bagaimana dengan penampilan fisiknya?
Rasanya ‘banyak kesalahan pertama ada di situ’. Saya akan menjiplak moto restoran Padang: Kalau Anda puas beritahulah teman-teman, kalau Anda tidak puas beritahu lah kami – -maksudnya jangan bully kami secara bisik-bisik maupun secara medsos.
Kalau pun itu terjadi juga apa boleh buat.
Bagaimana saya sendiri? Puas?
Saya belum bisa mengemukakan pendapat. Saat menulis ini setidaknya saya puas: Masih bisa tidak tidur sepanjang siang dan malam – -seperti di hari-hari saya antara usia 30 sampai 45 tahun.
”Sudah lebih 20 tahun saya tidak sepanjang malam di percetakan,” kata saya dalam hati. Saya kembali mencium bau tinta, tumpukan-tumpukan kertas, plate, dan warung pinggir jalan di kompleks industri.
Selebihnya hanya pasrah dan lebih banyak tawakal. (Dahlan Iskan)