
eQuator – Kekuasaan. Khalayak lebih suka menyebutnya Kursi Empuk. Lantaran enak bisa perintah-perintah orang. Enak, karena kononnya berkuasa di Indonesia bisa kaya.
Tetapi, bisa juga disebut Kursi Panas, lantaran bokong bisa terbakar dan memadamkannya harus dengan air dari toilet Komisi Pemberantaan Korupsi (KPK).
Kekuasaan hampir sama dengan kesaktian–diceritakan dari mulut ke mulut– seperti hikayat Sangkuriang dan Gunung Tangkuban Perahu. Laiknya kesaktian, pemegang tampuk mesti berhati-hati. Salah-salah terpanggang mantra sendiri.
Tetapi kekuatan dari kekuasaan, tidak bisa hanya dipandang sebagai suatu bahaya, menggelapkan jiwa, atau mengancam keberadaan. Kekuasaan sebaiknya dipandang sebagai suatu yang ‘lengket’ pada figur.
Kekuasaan bukan pula suatu kehendak yang dipendam dalam jabatan. Dikhawatirkan, jika kehendak itu dipendam dalam jabatan, pemilik kekuasaan akan rela menjual jiwanya hanya untuk suatu hak memerintah orang.
Kaisar Taizong, Li Shiming (berkuasa 626 SM), pernah bertanya pada Perdana Menterinya, Wei Zheng; Bagaimanakah penguasa yang bijak dan bagaimanakah penguasa yang bodoh?.
Wei Zheng pun menjawab; Penguasa bijak adalah yang mendengar semua pendapat, penguasa bodoh adalah orang yang mendengar dari satu sudut pandang saja.
Keberanian Wei Zheng mengutarakan pendapat yang dianggap lancang itu, hampir membuat Sang Kaisar marah besar dan hendak membunuhnya seketika itu juga.
Beruntung ada Sang Permaisuri, Zhangzun, seorang yang berpandangan lurus dan bijak–agak berbeda dengan permaisuri-permaisuri pejabat kita sekarang, yang konon, punya rumah kedua di Mall.
Penjelasan Zhangzun yang ‘membela’ Perdana Menteri membuat Kaisar mengurungkan langkahnya untuk menghabisi bawahannya tersebut. Kaisar enggan mendengar bisikan sesat orang-orang yang mempunyai ‘kepentingan’.
Yah, sama dengan keadaan kita sekarang. Penguasa kita–dari tingkatan ‘pucuk tumpeng’ hingga dasarnya–diharapkan mampu seperti Kaisar Li Shiming; Selalu bertanya. Meski pertanyaannya itu sebenarnya bisa dijawab sendiri, dan tidak takut dibilang bodoh.
Sehingga, pada akhirnya Kaisar mampu menelurkan kebijakan yang sesuai dengan kehendak rakyatnya. Mampu menunaikan kekuasaan tanpa membakar bokong sendiri. Memang obat yang baik terasa pahit. Saran yang baik juga begitu adanya.
Sungguh terpuji bila pemegang tampuk dapat menerima, mencerna, dan memperbaiki kesalahannya, meski kritik sepedas satu ton cabai yang dibenamkan ke kerongkongannya. Adakah penguasa seperti itu saat ini?. (Muhammad Iqbal)