Telalu Berat Sendirian, Coba Tanya Dilan

Suasana tegang menyelimuti ruangan sepanjang pertemuan di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat petang (9/2). Kebetulan saya menjadi salah satu peserta pertemuan itu.

Meski sepanjang rapat banyak banyolan lucu-lucu, tak bisa ditutupi bahwa para peserta rapat sedang gusar.  Apalagi penyebabnya kalau bukan rencana pemotongan gaji aparatur sipil negara (ASN) sebesar 2,5 persen untuk pos zakat.

Mengapa gusar? Bukankah itu niat baik pemerintah untuk memberi fasilitas ASN muslim menunaikan kewajiban agamanya?

Soal kewajiban zakat dan pemberian fasilitas menunaikan zakat, para peserta pertemuan tidak ada yang mempermasalahkan. Bahkan, semua memberi apresiasi positif. Mendukung beleid pemerintah. Apalagi, sudah terang-benderang ketentuan zakat merupakan kewajiban setiap muslim yang memiliki kemampuan.

Yang menjadi pangkal kegusaran bukan pada zakatnya, melainkan ketidakjelasan pada dasar perhitungan nilai zakat, bagaimana mekanisme pemotongannya, siapa lembaga penerima zakatnya, siapa lembaga penyalur zakatnya, bagaimana mekanisme penyalurannya, seperti apa mekanisme pertanggungjawabannya dan siapa pengawasnya.

Apalagi, proses pembuatan rencana program pemotongan gaji ASN untuk zakat itu tidak melibatkan lembaga amil zakat berbasis organisasi masyarakat keagamaan. ‘’Ujug-ujug’’ sudah muncul draft-nya. Bikin terkaget-kaget.

Padahal, banyak ASN yang berstatus anggota dan pengurus ormas keagamaan. Mereka selama ini menunaikan zakat melalui lembaga zakat ormas masing-masing. Sementara tersiar kabar dana zakat akan dipungut Baznas, lembaga amil zakat plat merah yang belum lama berdiri.

Langkah tidak melibatkan lembaga zakat berbasis ormas itu menimbulkan kesan sedang terjadi ‘’rebutan muzakki’’. Persepsi itu dinilai merugikan niat baik pemerintah yang ingin memberi fasilitas ASN muslim menunaikan kewajiban agamanya.

Rencana pemberlakuan ketentuan potong gaji ASN untuk zakat yang dilakukan pada tahun politik itu juga kurang menguntungkan posisi pemerintah. Gosip distribusi dana untuk menutup kekurangan dana pembangunan infrastruktur dan tujuan politik praktis pun menjadi bola liar.

Padahal, zakat tak bisa digunakan sembarangan. Asnafnya yang berjumlah delapan itu bersifat paten. Tidak bisa diubah-ubah semaunya.

Sebagai bentuk respon, kumpulan lembaga zakat berbasis ormas keagamaan menyepakati berdirinya POROZ, perkumpulan organisasi pengelola zakat. POROZ menjadi wadah baru bagi lembaga amil zakat berbasis ormas keagamaan untuk memperjuangkan aspirasi yang tidak diakomodasi oleh Forum Zakat (FOZ) maupun Baznas.

Dalam pernyataan pertamanya, POROZ dengan tegas meminta pemerintah menghentikan polemik rencana pemotongan gaji ASN untuk zakat. Dengan berhentinya polemik, masyarakat akan berangsur tenang.

Bersamaan dengan itu, POROZ juga meminta pemerintah melakukan kajian yang komprehensif. Kajian itu melibatkan semua lembaga amil zakat berbasis ormas keagamaan dalam menyusun roadmap dan regulasi perzakatan nasional.

Ada enam lembaga zakat berbasis ormas keagamaan yang bergabung dalam POROZ. Lembaga zakat tersebut bernaung di dalam organisasi seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Hidayatullah, Wahdah Islamiyah, Dewan Dakwah, dan Persatuan Islam.

Sebagian diantaranya bahkan sudah mengelola dana zakat, infak, dan sedekah, sejak Indonesia belum merdeka. Hasil kelolaan itu telah menjelma menjadi ribuan amal sosial seperti pesantren, sekolah, masjid, mushola, klinik, rumah sakit, dan program pemberdayaan ekonomi kaum dhuafa di bidang pertanian, perikanan, dan peternakan.

Bila pemerintah ingin agar kesadaran zakat masyarakat muslim naik, POROZ menawarkan solusi menarik: terbitkan saja aturan yang menjadikan zakat sebagai pengurang pajak. Bukan aturan pemotongan gaji ANS untuk zakat.

Dengan jumlah penduduk muslim sekitar 200 juta jiwa, potensi nasional zakat, infak, dan sedekah, memang sangat besar. Tetapi untuk mengelolanya juga membutuhkan energi yang besar.

Terlalu berat kalau urusan zakat dikerjakan sendirian. Coba tanya Dilan.

*Admin www.disway.id, blogger