Tax Amnesty Diberlakukan Juli Hingga Desember 2016.

Hanya Berlaku Satu Kali, Manfaatkan Peluang Ini

Ketua Badan Otonom BPP HIPMI Tax Center, Ajib Hamdani menyampaikan materi diskusi bertajuk "Pajak dan Penyelesaian Masalah Pajak" di aula lantai III Graha Pena Rakyat Kalbar, Jumat (3/6) kemarin. Diskusi ini dihadiri oleh kalangan pengusaha yang tergabung di BPD HIPMI Kalbar. Fikri Akbar/RK.

eQuator.co.id – Pontianak-RK. Ketua Badan Otonom BPP HIPMI Tax Center, Ajib Hamdani menyampaikan, bahwa kebijakan pengampunan pajak atau tax amnesty rencananya akan diberlakukan mulai Juli mendatang. Kebijakan ini hanya berlaku satu kali saja.

“Dari pembahasan yang dilakukan di DPR RI, tax amnesty hanya dimungkinkan berlaku sekali saja. Tidak ada tax amnesty jilid II. Indonesia pernah melakukan tax amnesty, pertama kali tahun 1984,” kata Ajib dalam diskusi bertajuk “Pajak dan Penyelesaian Masalah Pajak” di aula lantai III Graha Pena Rakyat Kalbar, Jumat (3/6).

Tak hanya itu, pemberlakuan tax amnesty sendiri memiliki jangka waktu yang relatif pendek. Yakni hanya berlaku selama enam bulan, mulai dari Juli sampai Desember 2016.”Ini merupakan opportunity (kesempatan), jangan nanti masanya sudah lewat kita baru ‘ngeh’ (sadar). Kita dari BPP akan maraton, Kalbar merupakan provinsi yang kedua yang menggelar diskusi ini. Nanti setelah ini kemungkinan Jabar, Sumsel, Kaltim dan lain-lain,” jelasnya.

Agar peluang singkat dan sangat jarang ini dapat benar-benar dimaksimalkan, BPP HIPMI Tax Center meminta kepada seluruh DPD HIPMI untuk mensosialisasikan kepada seluruh anggotanya. “BPP Akan mengkomando 34 DPD, melalui BPP HIPMI Tax Amnesty. Kalau ada anggota HIPMI yang tidak memanfaatkan tax amnesty karena tidak tahu, maka itu bukan kesalahan BPP,” ujarnya.

Namun demikian Ajib memaklumi jika banyak pengusaha di Indonesia kurang aware atau mau menanggapi serius tentang Undang-Undang Tax Amnesty. Karena memang selama ini, informasi yang diperoleh, terutama dari media massa, tidak pernah membahas secara utuh tentang tax amnesty. Media lebih banyak membahas soal dana “pulang kampung” dari luar negeri atau soal hubungan tax dengan Panama Paper, ketimbang kepentingan pengusaha dalam negeri.

“Wajar sebagian kita kurang mau tau, karena informasai yang kita dapatkan tidak lengkap. Padahal banyak aspek-aspek pajak yang bisa mendapatkan amnesty, termasuk pidana pajak. Itu pun ketika pidana pajak sudah masuk penyidikan dan sudah dinyatakan lengkap oleh kejaksaan. Kalau belum dinyatakan lengkap, belum, artinya masih bisa diampunkan,” ungkapnya.

Lebih jauh Ajib mengatakan tax amnesty merupakan jembatan strategis, untuk penyelesaian masalah pajak di masa lalu. Dia setuju, jika sudah saatnya negara ini berpikir kedepan untuk jangka panjang yang lebih baik. “Kita lihat data, selama enam tahun terakhir target pajak kita tidak pernah tercapai. Pemerintah pun sepertinya sadar jika target pajak sebesar Rp1,3 triliun tahun ini pun tidak akan tercapai,” pungkasnya.

Kendati disampaikannya pengampunan pajak dimungkinkan tidak dilakukan 100 persen, dalam artian pemilik pajak tetap harus mengeluarkan biaya mengurus tax amnesty, namun hal ini tetap menjadi peluang yang sayang untuk dilewatkan.

“Berbicara amnesty jangan bicara keadilan, bicara (bagaimana dengan) yang patuh, yang sudah terlanjur, dan lainnya, lah namanya amnesty kok, mana ada yang adil,” ucapnya.

Secara garis besar, dia menyatakan terjadinya masalah penumpukan beban pajak yang akhirnya tidak terbayarkan, tidak semata-mata hanya kesalahan dari wajib pajak. Namun juga dari petugas pemungut pajak. “Masalah karena wajib pajak tidak tahu posisinya di mana. Banyak wajip pajak tidak paham aturan, tapi dianggap mengerti oleh petugas pajak. Persoalan biasanya baru diketahui pada saat dilakukan pemeriksaan,” demikian Ajib.

Laporan: Fikri Akbar

Editor: Arman Hairiadi