eQuator – Setiap penerimaan Pegawai Negeri Sipil (PNS), peminatnya selalu membludak. Bahkan ketika lowongan jadi PNS tidak dibuka secara resmi pun, peminatnya tak kurang. Itu sebabnya, kesempatan dalam kesempitn dimanfaatkan para penipu untuk meraih untung.
Ocsya Ade CP dan Achmad Mundzirin, Kota Pontianak
Seorang wanita, HZ alias He, 41 tahun, dikabarkan telah meraup duit ratusan juta rupiah dari sejumlah orang hanya dengan janji manis. Yakni, bisa merekrut PNS di instansi vertikal Bea dan Cukai (BC). Bahkan, oknum Pegawai Tata Usaha (TU) salah satu SMK di Ngabang, Kabupaten Landak, itu mengaku bisa menempatkan PNS di wilayah kerja BC sesuai keinginan pembayar.
He kini sudah dicokok Polda Kalbar pekan lalu. Wakil Direktur Direktorat Reskrimum, AKBP Supriyadi, membenarkan hal itu. “Sedang dilakukan pemeriksaan, kasus ini juga akan dilakukan gelar perkara,” ujarnya, Selasa (17/11).
Warga Patok 3, Rasau Jaya I, Kabupaten Kubu Raya, Supriati kini menjadi saksi mutiara dalam kasus ini. Wanita berumur 48 tahun itu merupakan korban pertama He.
Awal perkenalan Supri, karib Supriati disapa, dan He pada awal 2015. Kala itu, He datang ke rumahnya bersama dua orang, Nandy dan seorang lagi belum diketahui identitasnya. Nandy disebut He sebagai petugas BC Pusat.
Mulanya, kedatangan He dan kawan-kawan itu hanya ingin mengajak Supri berbisnis besi bekas dalam partai besar, jual beli puluhan mobil, dan karpet permadani yang katanya dilelang BC pusat. Semua tanpa surat.
Modusnya aneh. Supri diajak untuk memalsukan tanda tangan dan harus pandai berbohong jika ia ikut ajakan bisnis yang mencatut nama instansi BC itu.
“Kata dia, kalau pakai tanda tangan asli, nanti disidik Polisi. Saya ndak maulah,” cerita Supri kepada Rakyat Kalbar di kediamannya.
Sebenarnya, Supri sudah punya firasat He hendak menipunya. “Tapi, terus dia bilang gini ‘Bodoh benar Mbak Supri ini, ini orang Bea Cukai loh yang kasi’ murah-murah, semua gampang diatur’,” lanjutnya.
Meski telah menolak, komunikasi terus terjalin di antara mereka. Selang sebulan, He kembali menghubungi Supri untuk lain hal. Ia menawarkan anak Supri untuk menjadi PNS di BC dengan membayar Rp50 juta.
“Kebetulan anak saya baru tamat SMA. Karena saya tidak ada uang segitu, saya tidak mau tapi dia terus merayu, akhirnya saya setor ke dia Rp5 juta,” tutur Supri.
He, yang juga sempat mengaku kerja di Dinas Pariwisata Sanggau dan memiliki banyak tambang emas, kemudian meminta Supri mencari orang lain yang punya cita-cita serupa. Yakni, ingin anaknya jadi PNS di BC.
Supri yang tak tahu tengah ditipu pun tergiur. Sampai akhirnya enam orang bawaan Supri juga mau mengeluarkan uang banyak untuk memuluskan anak mereka jadi pegawai tanggungan pemerintah.
“Saya carikan orang yang mau. Pertama dapat Bu Mul, orang Rasau juga. Meski awalnya Bu Mul ragu, namun akhirnya mau,” bebernya.
Ia melanjutkan, He memasang tarif berbeda untuk penempatan pegawai sesuai keinginan korban. “Karena Bu Mul mau anaknya ditugaskan di Pontianak, dia (He, red) meletakkan harga hingga Rp80 juta, bayar separoh dulu. Dibayarlah sama Bu Mul,” tukas Supri.
Komitmennya, dua hingga tiga bulan, SK PNS dikeluarkan oleh He. Yang menarik, setelah menerima separoh pembayaran itu, He mengajak Supri ke Jakarta. “Saya ditanggung dia semua. Sampai di Jakarta, saya dibawa ke Gedung BC di Ragunan, tapi saya hanya disuruh duduk di kantin,” paparnya.
Sampai di sini, Supri mengaku curiga. Namun ia masih mencoba untuk percaya. Sepulangnya dari Jakarta, Supri justru giat mencari orang-orang lagi yang punya tujuan serupa. Ingin anaknya bekerja di BC.
Didapatlah Basuki, Ipin, Siti, Mul, serta Firman. Supri enggan membeberkan identitas lengkap para korban. “Mereka sudah bayar semua. Ada yang Rp40 juta bahkan lebih. Saya hanya menemukan, selanjutnya mereka urus sendiri,” terangnya.
Supri mencontohkan Basuki. “Mereka ketemu langsung di Siantan untuk serahkan uang panjar ke He sebesar Rp30 juta, kemudian dilunaskan hari berikutnya,” jelas dia.
Bagi yang berminat tugas di Entikong, tarif yang diletakkan He sebesar Rp60 juta. Untuk di Pontianak, sebesar Rp95 juta. Dengan komitmen sama, SK keluar 3 bulan. Pembayaran dengan cara transfer dan tunai dengan kuitansi dagang bermaterai.
“Pak Firman kena Rp95 juta dan baru bayar separoh. Kemudian Basuki, tadinya diminta hanya Rp60 juta. Namun, karena ada SK yang akan keluar, sedangkan pemiliknya lumpuh, SK itu mau digantikan menjadi nama anak Basuki tapi harus tambah Rp20 juta. Basuki pun mau bayar total Rp80 juta, begitu juga Ipin,” papar Supri.
Ia menambahkan, sebenarnya sempat terkejut karena beberapa hari usai terima uang dari Basuki dan Ipin, He langsung beli mobil baru Avanza hitam B 1839 EFL seharga Rp118 juta.
Bulan berganti bulan, namun pemanggilan calon PNS dan penerbitan SK tak ada kabar. Para korban mulai cemas. Hingga akhirnya korban Mul mencari keberadaan He hingga ke Kabupaten Landak.
Di depan anggota kepolisian Kota Ngabang, He menyepakati akan mengembalikan uang Mul. Belakangan, usut punya usut, uang itu merupakan uang setoran dari korban lainnya, Firman.
Agaknya, He lihai memainkan administrasi. Dalam KTP-nya, He beralamat di Siantan, Pontianak, dan berstatus belum kawin dengan pekerjaan ibu rumah tangga. Padahal, dia seorang staf TU di SMK Ngabang dan bersuami lebih dari satu.
Korban-korban lainnya kontan mencari He setelah mendengar kabar dari Mul. Tapi, He sulit ditemui meski telpon selulernya aktif.
Ketika dihubungi, He hanya bisa berjanji dan justru balik marah jika dihubungi para korban. Sampai akhirnya, He dilaporkan ke Polda Kalbar. Dia pun dipancing dengan uang agar datang ke Pontianak dan diamankan polisi.
Kata korban Firman, He meminta Rp95 juta kepadanya. Sudah disetorkan Rp47,5 juta sebanyak dua tahap. “Katanya dua bulan setelah setor, SK keluar. Saya nanya tapi jawabannya tak jelas, malah dia nantang saya untuk lapor polisi, maka saya laporkan saja,” kata Firman, di Polda Kalbar.
Warga Singkawang itu ingin memasukkan anak keduanya yang berdomisili di Nipah Kuning, Pontianak Barat. Catatan Supri, kerugian para korban yang diajaknya mencapai Rp300 juta lebih. Termasuk seorang korban yang masih keluarga anggota kepolisian.
Supri berharap, Polda Kalbar memprioritaskan perkara sesuai laporan polisi, bukan melihat siapa Si Korban. Ia mengaku sempat diintervensi sejumlah pihak untuk mencabut laporan. Bahkan, diancam akan dipenjarakan oleh beberapa pihak.
“Bisa saja, asal semua kerugian diganti,” tegasnya.*