Tanah Kelahiran Ibarat Penjara Raksasa

HMI Kalbar: Harapkan Indonesia Ikut Berupaya Hentikan Diskriminasi terhadap Muslim Uighur

KORBAN KERUSUHAN URUMQI. Kamilane Abudushalamu difoto pada 18 Mei 2019, ketika berjalan di pesisir laut Mediterranean di Istanbul, Turki. Dake Kang-Associated Press

eQuator.co.id – Pontianak-Rk. Kerusuhan di Urumqi, Xinjiang, Tiongkok, pada 5 Juli 2009 menyisakan kepahitan berkepanjangan. Pemerintah berupaya keras membaurkan penduduk Uighur dengan menghapuskan budaya dan nilai-nilai agama mereka. Pun hingga detik ini.

Meski peristiwa itu sudah satu dekade berlalu, tetapi ketenangan belum juga kembali ke Xinjiang. Suku Han maupun Uighur masih curiga satu sama lain.

Pemerintah berpihak pada warga Han. Sedangkan, penduduk Uighur semakin direpresi. Tiongkok bersikap keras. Mengontrol agama dan etnis minoritas di wilayah tersebut.

Konflik itu menjadi titik balik yang kian menguatkan perpecahan di Xinjiang. Penduduk Han menghindari wilayah Uighur. Pun demikian sebaliknya.

Operasi keamanan ditingkatkan berkali-kali lipat, yang memicu situasi saat ini. Jika dulu di Xinjiang ada ratusan masjid berdiri, kini yang ada adalah ratusan kamp reedukasi.

Kebebasan beragama sepertinya sudah tidak lagi terasa di sana. Semua serba dibatasi. Kondisi itu, memicu keprihatinan sejumlah aktivis.

Ketua Badan Koordinasi (Badko) Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Kalbar, Fiqri Haqil Nur, menilai konflik etnis Uighur di Cina menjadikan umat muslim dunia resah. Pasalnya, pelecehan agama di sana terus terjadi.

“Secara demografi, mayoritas etnik Uighur memang menempati wilayah Turkistan Timur, atau yang kemudian Cina menyebutnya dengan Xinjiang,” tutur Fiqri.

Mengutip dari berbagai referensi, ia melanjutkan, permasalahan di Xinjiang cukup kompleks. Pemicu konfliknya sangat banyak. Namun, utamanya adalah perbedaan budaya yang mencolok.

“Konflik ini sudah berlangsung lama, ini sebenarnya adalah perang ideologi Cina terhadap etnis Uighur,” jelasnya.

Sambung Fiqri, “Cina melakukan gerakan, membuat konflik kecil, mengkambinghitamkan etnis Uighur, agar di mata dunia etnis Uighur terlihat seperti etnis yang brutal”.

Dengan skenario itu, menurut ia, Cina berharap mendapat dukungan dunia. Supaya bisa melakukan penghapusan etnis Uighur.

“Ini persoalan politik international,” terangnya.

Sejarah membuktikan, Fiqri mengungkapkan, Turkistan Timur telah menjadi perebutan. Bahkan semenjak dinasti Qing dan era republik.

Kemudian menjadi bagian dari rezim komunis Cina semenjak 1949. Padahal, kala itu, Turkistan Timur sudah pernah dideklarasikan setidaknya dua periode: 1933-1934 dan 1944-1949.

Bagi Fiqri, kondisi ini membuktikan bahwa Cina menjadi negara yang tidak toleran di dunia. Karena, banyak kebijakan negara dengan jumlah penduduk terbesar itu yang melarang simbol muslim beredar.

“Seperti berjenggot dan berpuasa, bahkan dalam kondisi tertentu ada kebijakan menutup sementara mesjid,” paparnya.

Indonesia sebagai negara yang toleran, ia mengharapkan, bisa ikut berupaya menghentikan diskriminasi yang dilakukan Cina terhadap etnis Uighur.

“Apalagi sekarang, ketika umat muslim Uighur sudah benar-benar tersudut,” pungkas Fiqri.

GENOSIDA POSTMODERN

Kamilane Abudushalamu masih ingat insiden satu dekade lalu. Dia dan ayahnya bersembunyi di lantai 10 sebuah gedung perkantoran di Urumqi, Xinjiang, Tiongkok, ketika terjadi kerusuhan.

Saat mereka keluar gedung dan berlari menuju ke rumah, Abudushalamu yang kala itu masih berusia 9 tahun melihat kengerian yang tidak akan pernah dilupakan. Orang-orang tergeletak di jalan dalam kondisi berlumuran darah.

’’Saya pikir orang Han dan Uighur bisa damai,’’ ujar pria yang kini tinggal di Turki untuk bersekolah itu.

Meski sudah satu dekade berlalu, ketenangan belum kembali ke Xinjiang. Suku Han maupun Uighur masih curiga satu sama lain. Pemerintah tentu berpihak pada warga Han. Sebelum terjadi kerusuhan Urumqi, penduduk Uighur direpresi. Kini situasinya lebih buruk lagi.

’’Sejak insiden itu, Tiongkok bersikap keras dalam mengontrol agama dan etnis minoritas di wilayah tersebut,’’ ujar Direktur Amnesty International untuk wilayah Asia Tenggara dan Timur Nicolas Bequelin sebagaimana dikutip Associated Press.

Kerusuhan itu menjadi titik balik yang kian menguatkan perpecahan di Xinjiang. Penduduk Han menghindari wilayah Uighur. Pun demikian sebaliknya. Operasi keamanan ditingkatkan berkali-kali lipat yang memicu situasi saat ini.

Jika dulu di Xinjiang ada ratusan masjid berdiri, kini yang ada adalah ratusan kamp-kamp reedukasi. Ayah Abudushalamu menjadi penghuni salah satu kamp bersama sekitar 50 kerabatnya yang lain. Setelah mengantar Abudushalamu ke Turki, sang ayah memang kembali ke Tiongkok dan ditangkap.

’’Mereka tidak punya alasan menahan ayah saya,’’ ujar Abudushalamu. Sang ayah adalah seorang pebisnis dan menguasai sembilan bahasa. Dia sudah sangat terdidik. ’’Ini delusi,’’ tambahnya.

Asisten Sekretaris Pertahanan untuk Urusan Keamanan Asia dan Pasifik Randall Schriver mengungkapkan bahwa saat ini ada sekitar 3 juta penduduk Uighur yang ditahan di kamp. Jumlah tersebut setara dengan seperempat populasi warga Uighur. Puluhan, bahkan mungkin ratusan orang, meninggal karena disiksa si dalam kamp.

Hampir setiap hari mereka dipaksa makan babi, makanan haram dalam Islam. Tentu, kebebasan mereka untuk beribadah juga tiada. Banyak di antara mereka yang masih muda dan tidak masuk kamp dipaksa menikah antaretnis. Jabatan-jabatan penting di pemerintahan diberikan kepada etnis Han.

Penduduk diminta lapor jika melihat 75 tanda-tanda ekstremisme agama. Di antaranya, menumbuhkan jenggot di usia muda, mencoba berhenti minum alkohol, serta beribadah di tempat umum. Mereka yang mempunyai tanda-tanda itu bisa dihukum kerja paksa.

Presiden National Endowment for Democracy Carl Gershman menyebut apa yang dilakukan Tiongkok sama dengan genosida Nazi. Yang berbeda hanya caranya.

’’Genosida postmodern tetaplah genosida. Tujuannya sama,’’ jelasnya.

Bukan hanya para pemuda dan orang tua yang harus berada di kamp tersebut. Melainkan juga anak-anak.

Berdasar laporan terbaru yang dirilis BBC, kini pemerintah Tiongkok juga memisahkan anak-anak Uighur dari orang tuanya. Mereka dikabarkan dibawa ke sekolah asrama dan diminta mempelajari bahasa mandarin serta budaya orang Tiongkok.

Peneliti asal Jerman Dr Adrian Zenz mengungkapkan bahwa pemerintah Tiongkok membangun sekolah dan asrama besar-besaran. Di sanalah anak-anak itu dibawa. Hal itu diiyakan salah satu pejabat yang diwawancarai BBC.

’’Mereka ada di sekolah asrama. Kami menyediakan akomodasi, makanan, baju dan kami disuruh pejabat senior untuk menjaga mereka dengan baik,’’ ujar pejabat yang namanya tidak mau disebut itu.

Bagi penduduk Uighur, tanah kelahiran mereka kini ibarat penjara raksasa. Seluruh pergerakan mereka dibatasi.

 

Laporan: Abdul Halikurrahman, Jawa Pos/JPG

Editor: Mohamad iQbaL