Tak Pernah Marah, Malah Dimarahi Sopir

Mengenang Mendiang Buchary A. Rachman

SANGAT DEKAT. Dari kiri ke kanan Darwin (penjaga rumah dinas), Fahmi Abubakar (driver), Uray Dni Andriadi (driver), Edi Mulyadi (penjaga rumah dinas) dan Abussamah (ajudan) memiliki banyak kenangan bersama mendiang Buchary A. Rachman. IMAN SANTOSA

eQuator.co.id – Selalu ada sisi menarik yang bisa diceritakan dari sosok dr. H. Buchary A. Rahman, SpKK. Mantan Walikota Pontianak dua periode (1999-2009) yang wafat 25 Desember 2016 lalu masih dikenang banyak orang.

Iman Santosa, Pontianak

Buchary A. Rahman tidak hanya dikenal sebagai dokter spesialis kulit di Kota Pontianak dan Kalbar pada umumnya. Ketika menjabat Walikota Pontianak, dia sangat dekat dengan bawahannya, mulai dari kalangan pejabat hingga ajudan dan sopirnya.

“Beliaulah yang menjadi saksi pernikahan saya,” ujar Abussamah yang dulunya menjadi ajudan Buchary saat menjabat Walikota Pontianak.

Sebagai seorang Pamong Praja di lingkungan Pemkot Pontianak, tentu menjadi suatu kebanggaan bagi Abussamah, ketika pernikahannya dihadiri oleh orang nomor satu di Kota Pontianak.

Kehadiran Buchary saat akad nikah tidak disangka olehnya. Apalagi ketika Abussamah mengabarkan perihal akad nikahnya, Buchary tidak pernah memberi jawaban pasti akan kehadirannya. Bahkan Abussamah sempat kecewa, karena harapannya agar Buchary hadir saat akad nikah, tampaknya tidak bakal menjadi kenyataan.

Pagi hari akad nikah akan dimulai, Abussamah dibuat kalang kabut. Sopir Buchary meneleponnya. Melaporkan bahwa walikota sudah siap meluncur menuju lokasi akad nikah. Padahal dia yang mengira Buchary tidak akan datang, sudah menyiapkan orang lain untuk menjadi saksi pernikahan.

“Soalnya bapak cuma jawab ‘hmmm…’ saja waktu saya lapor soal akad nikah itu. Saya pikir beliau tidak bakalan datang,” kisahnya.

Sifat Buchary yang tidak pernah marah, mungkin sulit ditemukan pada walikota lainnya. Tidak ada bawahannya yang pernah merasakan dimarahi Buchary. Walaupun mereka melakukan kesalahan.

Abussamah mengaku pernah melakukan kesalahan yang cukup fatal. Walikota Pontianak itu dijadwalkan menjadi keynote speaker seminar kesehatan di Pontianak Convention Center (PCC). Sepatutnya seorang ajudan harus mendampingi walikota kemanapun ia pergi. Tapi hari itu, Abussamah datang terlambat. Ia baru tiba di PCC pukul 10.30, padahal Buchary telah hadir di lokasi sejak pukul 09.00. Yang paling fatal, naskah yang akan dibaca Buchary di acara tersebut dia bawa pulang pada malam sebelumnya.

“Itu, walau saya tau bapak tak pernah marah, tapi saya takut benar, kita sudah jelas salah,” ujar Abussamah.

Dia mendekati Buchary dari belakang untuk memohon maaf atas keterlambatannya. “Sambil menoleh sedikit ke saya, dengan kacamatanya yang turun, khas beliau kan, alisnya naik sebelah, bapak cuma bilang ‘mabok kau ni’,” ujarnya.

Soal Buchary yang irit bicara dibenarkan Sumali Eko Prayitno yang juga pernah menjadi ajudannya. ‘Hmmm…’ adalah jawaban yang paling sering keluar dari bibir atasannya itu. Tidak jarang ini membuat para bawahannya bingung.

“Kalau ditanya mau pergi kemana, tapi jawabannya ‘hmmm…’ kita kan bingung, tapi bapak ya begitu,” ujar Eko.

Sikap Buchary yang low profil dan selembe bukanlah sesuatu yang dibuat-buat. Ia seringkali tidak terlalu peduli dengan tetek-bengek protokoler. Bahkan pernah saat mendapat kabar terjadi kebakaran, Buchary bukan hanya langsung datang ke lokasi, tapi juga ikut memadamkan api.

“Kadang misalnya sama wartawan, karena kita tahu jadwal bapak itu padat, kadang kita nggak kasi wartawan buat wawancara karena mesti ngejar acara selanjutnya, tapi ya itu, malah bapak sendiri yang ngasi kesempatan,” cerita Eko.

Begitu pun di ruang kerjanya di Kantor Walikota Pontianak. Buchary menemui siapa saja. Mulai dari urusan pemerintahan dengan sesama birokrat hingga masyarakat umum.

“Bahkan pernah ada preman datang ke kantor minta bantu biaya melahirkan, sebagai ajudan ya kita nggak kasih, tapi bapak tetap temui, sambil ngomong ‘kau yang buat aku yang bayarkan,’ tapi tetap beliau bantu,” kisah Eko menirukan kata-kata Buchary.

Lain di kantor, lain pula di rumahnya. Darwin dan Edi Mulyadi, dua penjaga rumah dinas walikota saat Buchary menjabat sering kali dibuat kelabakan.

“Bapak tak mau dikawal. Biasa turun ke masjid malam atau subuh jalan kaki sendiri,” ujar Darwin.

Seringkali ia mendapati Buchary pulang ke rumah dinas dari masjid dengan telanjang kaki. “Entah berapa pasang sandal hilang. Maklum kan sandal mahal. Kita sudah ingatkan, ya beliau malah bilang biarlah jadi amal,” kisah Darwin.

Edi juga menyebut Buchary tipe orang yang santai. Ia ringan tangan mengerjakan pekerjaan bawahannya. “Kalau pagar lama dibuka, dia turun sendiri membukanya,” ujar Edi.

Bahkan Buchary pernah menggantikan Edi menjaga pos di rumah dinas. Kejadian ketika Pemilu. “Bapak menyuruh saya pergi ke TPS, ‘biar aku yang jage sini,’ kata bapak,” kisah Edi. Jadilah Buchary sendiri yang menjaga pos di rumah dinasnya kala itu. Tidak hanya menjaga pos, Buchary pun juga tidak ragu menyetir mobil sendirian. “Kalau lambat sedikit, mereka (sopir) yang nyusul bapak,” ungkapnya.

Mungkin tidak ada yang lebih tahu kemana seorang dr. Buchary A. Rahman pergi ketika ia menjabat sebagai walikota, kecuali Uray Deni Andiriadi dan Fahmi Abubakar. Keduanya adalah dua driver yang mengantar kemana Buchary pergi. Keduanya bertugas 24 jam, bergantian dengan sistem shift.

Deni kini bertugas di Dinas Pekerjaan Umum Kota Pontianak. Sementara Fahmi berdinas di Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Keduanya punya kesamaan ketika menjadi sopir Buchary, rajin membalap.

“Kalau sopir Pak Buchary itu, Fast & Furious kalah,” ungkap Deni sembari tertawa.

Kebiasaan ini tak lain, karena memang kesibukan Buchary yang memang sangat padat. Tidak jarang ketika Buchary berdinas keluar daerah, mereka harus kejar-kejaran dengan jadwal keberangkatan pesawat.

“Kadang kita baru berangkat 15 menit sebelum pesawat take off,” ungkap Deni. Buchary sendiri tidak pernah mempersoalkan soal kebiasaan sopir-sopirnya berkendara dengan kecepatan tinggi itu. “Paling bapak langsung pasang sabuk pengaman,” kisah Deni.

Deni yang sehari-hari mengikuti kemana Buchary pergi ini, tahu benar bagaimana padatnya jadwal sang walikota ketika masih menjabat. Tidak jarang acara di suatu tempat belum selesai, petugas protokoler di tempat selanjutnya yang akan dihadiri Buchary sudah menelepon.

“Jadi pernah saya harus mengantar bapak dari satu tempat ke tempat lain cuma dalam waktu dua menit,” ungkapnya.

Tidak seperti pejabat lain yang royal. Buchary bukan tipe pejabat yang mudah membagi-bagikan uang kepada anak buahnya tanpa alasan yang jelas. Namun ia menilai Buchary sosok yang sangat profesional memisahkan antara urusan perkerjaan dan urusan pribadi. “Kalau kita menemani bapak praktik atau untuk urusan pribadi, kami pasti di kasih (uang),” ujarnya.

Lain Deni, lain pula Fahmi. Ia adalah saksi bagaimana Buchary sering keluar malam. “Bapak itu mencontoh Umar bin Khatab, beliau sering keliling Kota Pontianak melihat khidupan rakyatnya di malam hari,” ujar Fahmi.

Sifat irit bicara dan jawaban ‘hmmm…’ sorang Buchary akrab dijumpai Fahmi. Kadang jika begitu Fahmi akan berkendara berkeliling kota tanpa tujuan yang jelas.

Suatu waktu Buchary pernah mengajak Fahmi berkeliling kota di malam hari. Padahal saat itu situasi Pontianak sedang siaga. Menjelang Pemilu dan terjadi kerawanan keamanan karena isu politik yang tengah memanas.

“Begitu bapak masuk mobil, saya tanya kemana Pak? Dijawabnya cuma ‘hmmm…’ maka jalanlah saya keliling tanpa tujuan,” kisah Fahmi.

Tiba di Jalan Achmad Yani, Fahmi meminta izin kepada Buchary untuk mengisi bahan bakar mobil di SPBU. Selepas mengisi bahan bakar, mobil kembali melaju di Jalan Achmad Yani. Namun tak berapa lama menjauh dari SPBU, entah kenapa Ponsel di sakunya tak berhenti berbunyi.

“Saya pikir orang rumah atau kawan yang menelepon, tidak saya angkat. Saya pikir tidak mengerti kali mereka ini, kalau saya lagi kerja,” ujar Fahmi.

Sampai disekitar Jalan KH Wahid Hasyim sudah dekat masjid Al-Falah , Fahmi coba kembali menanyakan tujuan yang hendak mereka tuju kepada Buchary. Tapi Buchary tidak menjawab.

Sudah jadi kode etik bagi Fahmi, bahwa kaca spion tengahnya tidak boleh mengarah langsung kepada sang walikota yang duduk di belakangnya. Terlebih Buchary saat di mobil sering duduk bersandar ke pintu mobil. Karenanya ia tidak bisa melihat langsung keberadaan Buchary. Ketika dia menoleh, betapa kagetnya Buchary tidak ada di kursi belakang.

“Itu saya panik, kaget ini bapak kemana hilangnya, barulah buka telepon ternyata orang pos (jaga rumah dinas) yang dari tadi menelepon, bilang ditunggu bapak di SPBU,” ujar Fahmi. Jadilah Fahmi memutar mobil kembali ke SPBU dengan kecepatan penuh. “Perasaan saya sudah nggak jelas, antara khawatir, takut, pasrah juga,” kisahnya sembari tertawa.

Saat kembali ke SPBU ia mendapati Buchary sedang berdiri santai sembari memainkan Ponsel di depan ATM. Tapi bukannya Buchary yang marah, justru Fahmi yang lantas mengomeli Buchary.

“Bapak itu walikota, kalau turun tolonglah kasih tahu. Kalau terjadi apa-apa dengan bapak, saya yang tanggungjawab,” ujar Fahmi menirukan omelannya kepada Buchary.

Kejadian tersebut bukannya membuat Buchary menjadi tidak suka dengannya, justru malah mendekatkan mereka. “Selepas itu kalau keliling malam nemanin bapak, saya sering diajak makan sama beliau,” ungkap Fahmi yang merasa sangat kehilangan Buchary. (*)