
eQuator – Wilayah perbatasan antarnegara, menjadi garda terdepan bagi Malaysia dan dapur untuk Indonesia. Parahnya lagi, warga Indonesia tidak mengenal rupiah, hanya tahu Ringgit Malaysia.
Dilihat dari pertumbuhan ekonomi maupun infrastruktur, antara Kalbar—Indonesia dengan Sarawak—Malaysia, ibarat langit dan bumi. aktivitas perekonomian serta infrastruktur, pemerintah Indonesia tak bakalan mampu menyaingi Malaysia.
Salah satu daerah perbatasan yang jauh tertinggal adalah Desa Sungai Tembawang. Desa ini terdiri 10 dusun. Mirisnya, dua dusun desa tersebut sama sekali tidak merasakan sentuhan pembangunan. Bahkan masyarakatnya lebih merasa menjadi bagian dari Malaysia. Bahkan transaksi jual-belinya pun menggunakan uang Ringgit Malaysia.
“Jadi perputaran uang untuk kebutuhan ekonomi mereka, menggunakan uang ringgit,” ungkap Gak Muliadi, Kepala Desa Sungai Tembawang, Kecamatan Entikong—Sanggau, Rabu (2/11).
Dua dusun yang dimaksud Gak Muliadi, Dusun Gun Jemak dan Gun Tembawang. Wilayahnya berbatasan langsung dengan wilayah Malaysia. “Kalau mau ke Kota Entikong sangat jauh, warga tidak mampu. Ongkos transportasinya sangat mahal,” ucap Gak Muliadi.
Pada musim kemarau, jarak tempuh yang harus dilalui warga Dusun Gun Jemak dan Gun Tembawang menuju Entikong, memakan waktu sekitar delapan jam. Apabila musim penghujan atau banjir, ditempuh lima hingga enam jam melalui jalur air.
“Hanya jalur air yang bisa digunakan warga dua dusun tersebut,” kata Kades yang baru menjabat dua tahun ini.
Sementara, apabila menuju wilayah Malaysia hanya satu jam jalan kaki secara santai. “Kalau warga Dusun Gun Jemak dan Gun Tembawang palingan cukup 15 menit ke Malaysia, karena sudah terbiasa jalan cepat,” katanya.
Biaya yang harus dikeluarkan warga dusun menuju kota kecamatan Entikong, bias merogoh Rp2 juta lebih. Itulah yang menyebabkan warga enggan kemana-mana, memutuskan bertransaksi jual-beli menggunakan Ringgit Malaysia.
“Sebenarnya di dua dusun tersebut bukan tidak mengenal rupiah, namun putaran uang di situ hari-harinya pakai Ringgit,” ucap Gak Muliadi.
Warga Dusun Gun Jemak dan Gun Tembawang rata-rata petani. Mereka menjual hasil panennya ke Malaysia. Karena kawasannya dekat, infrastrukturnya memadai. Kemudian terpenting bagi warga, mereka sudah terbiasa bertransaksi menggunakan Ringgit Malaysia. “Kalau dijual ke Etikong, habis untuk biaya transportasi dan uangnya juga tak bisa digunakan untuk bertransaksi, karena bukan Ringgit Malaysia,” jelas Gak Muliadi.
Di dua dusun tersebut, transaksi rupiah tergantung pemilik warung. Ada yang menerima dan ada pula yang enggan. “Sebagian besar tidak mau menerima rupiah. Rata-rata pakai Ringgit semua,” jelasnya.
Dikatakan Gak Muliadi, infrsastur jalan sampai saat ini belum ada sama sekali masih di Dusun Gun Jemak dan Gun Tembawang. Mereka menggunakan jalan tikus untuk berjalan kaki. Warga dua dusun itu, mengunjungi Kecamatan Etikong dapat dihitung jari. “Rata-rata mereka ke Malaysia,” ujarnya.
Kalau pendidikan di dua dusun itu, sampai saat ini belum ada anak-anak warga sekolah ke Malaysia. Namun yang bekerja di Malaysia banyak. Rata rata tamatan SD dan SMP. “Untuk fasilitas pendidikan ada SD dan SMP, itupun satu sekolah saja. SMP nya ada dipusat desa, jarak tempuh 10 jam,” katanya.
Dusun Gun Tembawang dihuni 37 Kepala Keluarga (KK). Sedangkan Gun Jemak 67 KK. Catatan kependudukan di dua dusun tersebut, hanya separuhnya yang memiliki identitas KTP atau KK. “Separuhnya lagi, bingung mengurus KTP dan KK, memakan biaya Rp2 juta lebih untuk menuju Kecamatan Entikong,” papar Gak Muliadi.
Sampai sekarang masih 60 persen warga yang memiliki identitas. Kades Sungai Tembawang ini berharap pemerintah jemput bola. Selain infrastrukturnya tidak ada, fasilitas lain seperti Puskesmas dan bidan juga tidak tersedia.
“Kalau ada yang sakit parah, ibaratnya tinggal memanjatkan doa saja, karena Puskesmas tidak ada, apalagi dokter,” tegas Gak Muliadi.
Laporan: Isfiansyah
Editor: Hamka Saptono