Sanak keluarga jauh dan dekat, hingga tetangga menunggu dengan rindu berlipat-lipat. Setelah satu bulan lebih jamaah haji berpisah, menunaikan perjalanan suci ke Baitullah.
LALU MOHAMMAD ZAENUDIN, Mataram
eQuator.co.id – H ABDUL Manan tersenyum lebar saat melihat beberapa orang datang menjemputnya di Asrama Haji NTB. Tangannya merekah, lalu menangkap tubuh-tubuh penuh rindu itu. Matanya berkaca-kaca. Menahan linangan air mata dan rasa haru bergemuruh di dalam dada.
Begitu juga sanak saudara yang menjemput tak kalah haru. Tangan mereka dengan kokoh mendekap tubuh Manan yang baru saja pulang menunaikan perjalanan suci ke Baitullah. “Alhamdulillah,” ujar Amaq Odat, ipar Manan penuh syukur.
Kaki-kaki mereka lantas bergegas keluar dari kawasan asrama haji. Lalu menuju mobil yang telah disiapkan untuk membawa pulang Manan ke kampung halaman, di Karang Genteng. Kurang dari 15 menit, mobil itu berhenti dan sampai di sebuah gang dengan hiasan janur yang indah. Tampak sebuah spanduk selamat datang dengan foto Manan.
Sebelum kaki Manan menyentuh tanah, sebuah karpet dibentangkan hingga pinggir jalan. Gelaran karpet terus memanjang hingga ke bawah kaki Manan. “Ini tradisi penyambutan di daerah kita,” kata Amaq Odat sembari mengulum senyum.
Tak cukup karpet mengantarkan langkah kaki Manan hingga ke pekarangan rumah, kain putih pun ikut dibentangkan. Di kanan-kiri sanak famili dan tetangga menunggu dengan rindu membara. Rindu itu baru bisa diredam saat Manan memberikan pelukan hangatnya.
Entah berapa puluh orang yang sudah dipeluk Manan dengan erat. Tapi ia tetap bersemangat untuk menutaskan pelukannya pada semua tamu yang datang. Pelupuk matanya sendiri sudah sembab. “Semoga kami bisa beruntung dapat panggilan ke Tanah Suci,” harap Amaq Odet.
Iringan salawat pada Nabi Muhammad SAW pun mengiringi langkah Manan. Tapi bukan ke bilik rumah. Melainkan menuju sebuah pondokan bambu yang sudah dihias sedemikan rupa di pekarangan rumah.
Nah, di sini uniknya. Manan akan melewati hari-harinya selama empat puluh hari ke depan di pondokan itu. “Tradisinya memang 40 hari. Tapi ada pula yang hanya 10 hari,” tuturnya.
Selama itu, Manan tidak boleh masuk ke dalam rumah. Ia harus duduk, tidur, makan, dan minum di pondokan yang menyerupai panggung itu. Termasuk menerima tamu-tamunya yang ingin silaturahmi dan mencari keberkahan dari perjalanan suci jamaah haji.
Manan hanya boleh masuk untuk keperluan mengganti baju dan ke kamar kecil. Setelah itu ia harus kembali ke luar dan menempati pondoknya di pekarangan rumah. “Kita ingin mengambil berkah Tanah Suci,” katanya.
Perjalanan suci Manan diyakini menyimpan energi kebaikan dari situs-situs religius yang dikunjungi. Mulai dari kakbah, makam para nabi dan lain-lain. Energi itu terus menyertainya hingga ia pulang ke kampung halamannya. Energi kebaikan inilah yang dirindukan bisa kecipratan juga ke para tamu yang datang untuk silaturahmi.
“Kepulangannya masih diikuti malaikat selama 40 hari,” terangnya.
Karena itu tidak sedikit juga orang-orang yang datang silaturahmi, meminta didoakan oleh orang-orang yang baru pulang dari Tanah Suci. Dengan harapan para malaikat yang menyertainya ikut mengamini. Sehingga berkesempatan memenuhi panggilan ke Baitullah.
Sebenarnya pondokan tidak harus berbentuk balai bambu. Bisa dalam bentuk berugaq (bale-bale, Red), dipan, teras, atau berbagai bentuk bangunan lain. Asalkan letaknya berada di luar rumah. Pondokan kerap dihiasi dengan janur dan keras minyak warna merah dan putih. Tidak begitu jelas kenapa harus kertas minyak warna itu. “Ya kita warisi tradisi ini dari dulu,” terangnya.
Selain itu ada berbagai macam hiasan bunga yang melengkapinya. Lalu pada pondokannya dilengkapi juga dengan bantal dan seperangkat alat salat. Termasuk sorban yang ia beli dan bawa dari Arab Saudi. “Air gelas dan lain makanan ringan lainnya sudah disiapkan di sana,” terangnya.
Sementara itu Manan sendiri mengaku bahagia dengan penyambutan keluarganya. Apalagi dengan tradisi yang turun temurun selama ini telah dijaga dengan baik oleh masyarakat di sana.
Ia pun bersyukur bisa berbagi keberkahan dan dengan senang hati mendoakan siapa saja yang meminta padanya. “Semoga kita semua diberi kesempatan untuk memenuhi panggilan Allah,” kata Manan.
Air zam-zam yang ia bawa dari Tanah Suci pun sebisa mungkin dibagikan merata pada keluarga dan tetangganya. Ia yakin air yang mengalir dari bekas hentakan Nabi Ismail itu memiliki keberkahan. (*/Lombok Pos)