eQuator.co.id – Pontianak-RK. Uji ketahanan paru-paru masyarakat Kalbar sudah jadi rutinitas setiap tahun. Tes menghirup asap hasil kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) ini sepertinya masih akan berlanjut, meski Presiden Joko Widodo sudah membuat sejumlah program.
Salah satu yang jadi prioritas presiden adalah merubah pola membuka lahan dengan tidak membakarnya seperti dituturkan Direktur Pengendalian Karhutla, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Rafles Panjaitan, di Polda Kalbar, kemarin. Terkait hal ini, tokoh muda dari Pinoh Utara, Kabupaten Melawi, Martinus Paton mengatakan, di tengah larangan tegas pemerintah untuk tidak membakar lahan, muncul kebingungan di masyarakat.
“Sampai sekarang menanam padi dengan cara berladang masih dilakukan oleh masyarakat, padi atau beras hanya bisa diproleh dengan cara berladang, kalau masyarakat dilarang bakar ladang lalu mau makan apa?” tanya Paton, Senin (31/7).
Mantan Kepala Desa Merah Arai ini mengatakan, pemerintah boleh saja melarang masyarakat bakar ladang atau berladang, tapi harus ada solusi bagi masyarakat. Melarang tanpa solusi sama saja membuat masyarakat kelaparan.
“Masyarakat disuruh bersawah, tapi lahan sawah tidak ada, bahkan program cetak sawah tidak masuk ke kampung. Jadi bagaimana masyarakat mau meninggalkan kebiasaan berladang?” tukasnya.
Kalau memang pemerintah melarang masyarakat berladang, kata dia, tolong kedepan program cetak sawah digalakkan. Bila perlu tiap desa dapat program cetak sawah sehingga tidak ada lagi masyarakat yang berladang secara liar.
“Selama solusi tidak ada, saya yakin sampai kapanpun masyarakat akan berladang (dengan membakar) tiap tahun,” tutur Paton.
Senada, Kepala Desa Sungai Raya, Ahen. Ia mengatakan, biasanya, setelah ditanami padi, ladang masyarakat ditanami karet.
“Jadi untuk saat ini sulit bagi masyarakat untuk meninggalkan kebiasaan berladang. Apalagi sawah di tempat kami tidak ada,” jelasnya.
Menurut dia, di desanya ada lahan payak atau lahan basah yang bisa dimanfaatkan untuk dijadikan lahan sawah, tapi lahan tersebut belum dikelola oleh masyarakat karena belum ada yang dicetak sebagai sawah. “Cetak sawah sudah sering diajukan, tapi sampai sekarang belum pernah masuk program tersebut,” beber Ahen.
Direktur Pengendalian Karhutla, Kementerian (LHK), Rafles Panjaitan menjelaskan, selain merubah pola pembukaan lahan masyarakat, penanggulangan Karhutla ada di dalam grand design pemerintah dan telah diterbitkan (lihat grafis arahan presiden). Ia mengklaim hal tersebut sudah dilakukan pemerintah pusat, daerah, TNI, Polri ,serta masyarakat yang mempunyai inisiatif.
Sehingga, dari dua tahun lalu hingga sekarang, terjadi penurunan yang sangat drastis (lihat grafis). Baik itu jumlah hotspot maupun luas kebakaran.
Kata Rafles, hal ini harus dipertahankan. Kelihatan bahwa pemerintah sudah berkerja, dan ia meminta dukungan dari semua elemen serta masyarakat.
Dalam penanggulangan Karhutla di Kalbar, Rafles menyatakan, Polda setempat sudah melakukan patroli terpadu beserta Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). “Seandainya penanggulangan tersebut dilakukan secara sinergis dan cepat, maka tidak akan terjadi kebakaran seperti di tahun lalu,” tuturnya, usai bertemu Kapolda Kalbar Irjen Erwin Triwanto dan Kepala BPBD Kalbar TTA Nyarong, di Mapolda Kalbar.
Ia menyebut, dalam penanggulangan bencana asap di Kalbar, pantauan dilakukan secara terpadu dari darat. Untuk menempuh daerah yang sulit dijangkau, sejumlah helikopter telah disiapkan.
“Di sini sudah ada empat helikopter dari BNPB, satu dari kepolisian, satu dari kehutanan, jadi ada enam helikopter di Kalbar,” ungkap Rafles.
Yang lebih penting, dalam pertemuan disepakati bahwa Kalbar memerlukan sumur bor. Untuk mendapatkannya, Rafles berjanji mendorong pembuatan sumur bor melalui Badan Restorasi Gambut (BRG).
Nantinya, sumur tersebut ditempatkan di daerah rawan seperti di Kabupaten Kubu Raya, Sintang, dan Ketapang. Pembangunan Sumur diprioritaskan di 174 desa.
“Di Provinsi Kalbar akan dibangun pada tahun 2017 ini, karena BRG masih membangun di daerah Kalteng, Palembang, Kalsel, dan Jambi,” bebernya.
Terkait solusi pemerintah untuk masyarakat Kalbar yang berladang dengan cara membakar, Rafles menyebut hal tersebut, dari dulu, menjadi pembahasan pemerintah pusat. Aturannya tertuang di Undang-Undang nomor 32.
Menurut dia, walaupun regulasi memperbolehkan, tidak semua orang boleh membuka ladang dengan cara membakar. “Pemerintah yang mengaturnya, kalau dia mau membakar harus izin, di gambut tidak boleh karena berbahaya,” tegas Rafles.
Solusi untuk masyarakat sedang dicarikan. Sebab, Undang-Undang merupakan produk DPR. Tetapi penegakan hukum sudah jelas. Seperti di Jambi, ada peraturan daerah (Perda) dan peraturan gubenur (Pergub) yang mengatur soal pembukaan lahan. Siapa yang membakar lahan dikenai sanksi pidana.
“Di Kalbar saya rasa belum ada, itu domain (pemerintah) daerah karena mengetahui situasi daerahnya. Tapi, jika melanggar undang-undang, maka harus dilakukan penegakan hukum,” pungkasnya.
Sementara itu, Kapolda Kalbar Irjen Pol Erwin Triwanto mengatakan, pertemuan dengan Rafles untuk menyamakan persepsi. Tidak hanya memfokuskan patroli udara saja, patroli darat pun diperlukan.
Sedangkan untuk masyarakat yang membakar lahan dengan sengaja, ia menegaskan, jika memiliki bukti, maka akan ditindak sesuai hukum. Dan hal itu sudah berjalan sebelum ia menjabat sebagai Kapolda.
“Pada tahun kemarin sudah jelas, ada beberapa yang kita ajukan ke pengadilan baik itu korporasi maupun perorangan, penegakan hukum harus kita kedepankan,” tandas Erwin.
Hal ini diamini Kapolsek Nanga Pinoh, Melawi, AKP Yoyo Kuswoyo. Kata dia, larangan membakar lahan apalagi hutan, termasuk untuk membuka ladang, sudah disosialisasikan sejak beberapa tahun lalu hingga sekarang. Bahkan, ditegaskannya, dengan penerapan hukum positif bagi pihak yang melanggarnya.
“Dalam undang-undang lingkungan hidup juga sudah diatur larangan membakar untuk membuka lahan. Baik untuk pertanian atau perkebunan. Karena dampak yang ditimbulkan sangat besar, seperti bencana asap yang kerap terjadi setiap tahunnya,” tegas dia.
Ia menerangkan, pihaknya sudah berkali-kali melakukan sosialisasi terkait larangan membakar lahan tersebut. Di tahun ini, pihak kepolisian juga melibatkan dinas pertanian dalam menyampaikan sosialisasi.
“Mengapa kita gandeng dinas pertanian setiap sosialisasi bahaya Karhutla, karena setiap kali sosialisasi, kita akan dihadapkan dengan pertanyaan atau keluhan masyarakat, bagaimana mau bertani kalau tidak berladang dan dilarang membakar,” tuturnya.
Dinas pertanian, lanjut dia, sudah memiliki program cetak sawah yang akan dilaksanakan di sejumlah desa. Seperti sosialisasi di Semadin Lengkong dan Kebebu. Selain melarang membakar lahan, Yoyo mengklaim, pemerintah juga memiliki solusi dengan adanya program cetak sawah hingga pemberian bantuan ternak.
“Sinergi seperti ini sangat memudahkan aparat kepolisian dalam menyampaikan sosialisasi bahaya Karhutla ke masyarakat,” tegasnya.
Pernyataan Yoyo dibenarkan Plt. Kepala Dinas Pertanian dan Perikanan (Distankan) Melawi, Oslan Junaidi. Ia menyebut solusi mengurangi asap akibat aktivitas pembakaran lahan untuk berladang memang program cetak sawah.
“Kalau sawah kan hanya perlu dibersihkan dan dibajak. Tak perlu dibakar. Hasil panennya juga lebih baik dari berladang,” katanya.
Dinasnya tahun ini mendapat jatah 300 hektar lebih untuk cetak sawah. Dikatakannya, untuk daerah yang belum dapat jatah cetah sawah diharapkan bersabar. Menunggu giliran program cetak sawah tahun berikutnya.
“Cetak sawah ini salah satu program untuk mendukung pemerintah dalam penanganan Karhutla,” terang Oslan.
Khusus di Kecamatan Pinoh Utara, ia mengakui program cetak sawah masih minim. Alasannya banyak lahan yang berstatus dalam kawasan hutan atau masuk dalam izin kebun atau HGU perusahaan.
“Ini salah satu persoalan yang sedang kami hadapi dalam melaksanakan program cetak sawah di wilayah Kabupaten Melawi,” ungkapnya.
Sehari sebelumnya, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kalimantan Barat (Kalbar), TTA Nyarong menuturkan, status kabut asap akibat Karhutla di Kalbar masih siaga darurat. “Saat ini kita warna kuning, feasibility masih normal, karena rata-rata jarak panjang di supadio masih 5.000 (meter), jadi belum di bawah 1.000 meter,” ujarnya dihubungi Rakyat Kalbar, Minggu (30/7).
Oleh karena itu, anggaran dari APBD masih belum bisa digunakan. Pasalnya harus menunggu status tanggap darurat. “Ada Rp5 miliar yang diletakkan di Badan Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan Daerah,” ungkapnya.
Oleh karena itu BPBD mendorong dana masuk ke BNPB supaya bisa digunakan untuk siaga darurat. Baik untuk logistik ataupun mobilisasi helikopter. Jumlah dana itu tidak terhingga, karena merupakan cadangan negara.
“Jadi anggarannya tergantung dari mobilisasi sumber daya, kalau saya di BNPB, di luar heli kita ajukan Rp17 miliar tapi belum keluar. Yang sudah ada masing-masing dari dana belanja rutin, besarnya Rp5 miliar tapi bukan hanya untuk asap,” beber Nyarong.
Akibat curah hujan yang menurun, BPBD harus membuat status, dengan status tersebut kemudian dapat diajukan permohonan perlengkapan. “Datang lah 4 heli, satu jam terbang bisa memakan dana Rp25 hingga Rp45 juta. Artinya satu hari bisa menggunakan anggaran sebesar Rp 600 juta. Kalau kita hitung berapa? Dananya bukan di saya, saya hanya taken jadwal terbang dengan atas perintah komandan, dananya cair langsung di sana,” paparnya.
Laporan: Dedi Irawan, Maulidi Murni, Rizka Nanda
Editor: Mohamad iQbaL