eQuator.co.id – Pontianak-RK. Sempat ditunda karena ketidakhadiran terdakwa Rahmad S pekan lalu, sidang dugaan penggunaan danem/ijazah palsu dalam proses pencalegan Pemilu Legislatif (Pileg) 2014 kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Pontianak, Selasa (22/8).
Sidang yang dipimpin hakim ketua R. Rudi Kindarto, SH dengan agenda pemeriksaan saksi, Kepala Sub Rayon Dinas Pendidikan Jember, Maryanto. “Dalam persidangan tersebut, saksi ditanya seputar apa yang dia ketahui,” kata Junaidi, penasihat hukum Rahmad S, kemarin.
Menurut Junaidi, saksi Maryanto tidak mengetahui perihal danem tersebut. Kapasitas saksi hanya sebagai Kepala Sub Rayon yang saat itu posisinya hanya melegalisir. “Jadi secara kompetensi terkait perkaranya tidak begitu urut. Itu versi saya ya, karena dia (Maryanto, red) posisinya hanya melegalisir,” ujar Junaidi usai sidang.
Junaidi mempertanyakan, seharusnya saksi pada saat melegalisir harus mengecek kebenaran ijazah/danem terlebih dahulu. Ketika sudah dilegalisir, berarti sudah sah secara hukum. Dia mencontohkan, saat melegalisir ijazah tentu membawa ijazah asli. Tentunya sudah pasti diperiksa pada saat proses legalisir. Ketika sudah selesai dilegalisir, secara otomatis bahwa ijazah itu benar karena sudah dilakukan crosscheck. “Berarti klien saya benar, karena sudah dilegalisir dan disahkan oleh yang bersangkutan (Maryanto, red),” tegasnya.
Junaidi berharap semua saksi yang sudah di-BAP diharapkan dihadirkan dalam persidangan. Sebagaimana disampaikan oleh jaksa sebelumnya, ada sekitar 12 atau 14 saksi yang di-BAP penyidik. “Saya berharap untuk hadir sehingga bisa memberikan keterangannya,” harap Junaidi.
Dia menuding, kasus yang menimpa kliennya tersebut, berdasarkan analisisnya, murni ranah politik yang dicoba digiring ke ranah hukum. “Sebelumnya sudah ke PTUN dan putusan PTUN sudah memenangkan klien saya dan sudah sah. Namun saya tidak tahu juga mengapa sampai ke ranah pidana. Artinya menurut saya ini ranah politik yang digiring ke ranah hukum,” tegasnya.
Dakwaan terhadap Rahmad S adalah pemalsuan danem. Padahal dalam proses verifikasi ketika mencalonkan diri sebagai anggota DPRD Kubu Raya, tentu sudah melalui tahapan termasuk crosscheck. Proses itu sudah dilaksanakan sesuai prosedur KPU.
“Kalau ini dipermasalahkan, berarti itu dulu sudah terjegal. Apalagi klien saya sudah dinyatakan menjadi anggota dewan dan sudah sah sehingga dilantik,” ucapnya.
Apakah nantinya akan menghadirkan komisioner KPU sebagai saksi?
Junaidi mengaku akan melihat kondisi di persidangan. Dia mengatakan, jaksa sepertinya akan menghadirkan KPU. “Kita tidak tahu karena ini ranahnya dari kejaksaan. Kita lihat saja, tapi dari informasi yang kami dapatkan, bahwa mereka (jaksa) akan menyampaikan sekitar 12 atau 14 saksi. Kita tidak tahu, tapi kemarin agenda KPU-nya ada, kita lihat nanti lah, itu ranahnya jaksa. Mau lebih jelas bisa konfirmasi ke jaksa,” ujar Junaidi.
Status Tahanan Rumah
Terkait ketidakhadiran kliennya pada sidang pekan lalu, Junaidi mengaku karena miss komunikasi dari kliennya. Saat sidang, kata Junaidi, terjadi miss komunikasi sebagaimana disampaikan ketua majelis hakim. Miss komunikasi tersebut perihal pencarian alat bukti.
“Jadi memang pada waktu itu terjadi miss komunikasi. Klien saya kurang menanggapi sehingga sidang kemarin tidak bisa ikut. Karena sidang beberapa kali tunda mungkin terjadi miss komunikasi. Kan terjadi miss komunikasi, itu saja,” tegas Junaidi.
Sementara diketahui terdakwa Rahmad S ditetapkan sebagai tahanan rumah dalam perkara yang menjeratnya. Terungkap dari keterangan saksi pada sidang pekan lalu, Rahmad S berada di Jawa Timur. Di sana dia diduga mengintervensi saksi yang akan dihadirkan dalam persidangan.
Tahanan rumah bisa keluar provinsi, ditanggapi Pengamat Hukum Kalbar Dr. Hermansyah. Menurut dia, tahanan rumah salah satu jenis tahanan yang diberlakukan di Indonensia. Begitu juga diberlakukan kepada terdakwa Rahmad S dalam kasus dugaan pemalsuan danem/ijazah.
“Secara teori dan ilmu hukum, seorang tahanan rumah dimungkinan saja untuk bepergian sepanjang ada izin yang diberikan,” katanya seraya menjelaskan berdasarkan jenisnya ada tahanan negara, tahan rumah dan tahanan kota.
“Tahan rumah itu memungkinkan untuk mendapatkan izin, misalnya menghadiri anaknya menikah. Sedangkan dia salah satu orangtua yang masih hidup dan dia sebagai walinya,” jelas guru besar hukum Untan tersebut.
Selain itu, terdapat hal-hal yang mendesak. Seperti sakit dan harus berobat. Tahanan tersebut dimungkinkan untuk diberi izin. “Tetapi kalau tahanan pergi ke luar kota dengan tujuan yang tidak jelas atau tujuan tidak sebagaimana mestinya, maka itu hal yang perlu dipertanyakan,” ungkap Hermansyah.
Alasan dia pergi itu apa?
“Hukum cukup manusiawi, hukum juga cukup mempertimbangkan aspek manusiawi. Lihat dulu kasusnya, alasan dia pergi itu apa, tapi kalau tidak ada alasan yang jelas, tidak masuk akal, itu yang nggak benar,” tegasnya.
Izin bepergian pada tahan rumah, tegas Hermansyah, tidak dilakukan secara sembarangan. Ketika tahanan rumah bepergian, maka akan dilakukan dengan pengawalan. Dengan kata lain, tanpa pengawalan maka tahanan rumah tersebut tidak bisa pergi sendiri. Dikarenakan akan beresiko melarikan diri. Kalau itu yang terjadi, maka pejabat berwenang yang mengizinkan juga bisa diminta pertanggungjawabannya.
“Selain itu, apabila tahanan rumah minta izin, maka harus ada jaminan orang atau apa yang menjamin dia tidak akan melarikan diri dalam bepergian,” jelasnya.
Kasus tahanan rumah yang pergi keluar daerah harus ditindak tegas, agar ada kejelasan hukumnya. Hermansyah menyarankan agar status tahanan yang bersangkutan ditindaklanjuti mengapa sampai pergi keluar daerah (luar provinsi, red) dan bagaimana penjagaannya, serta siapa yang menjaga dia pada waktu tersebut. Karena semuanya biasanya sudah disusun.
“Misalnya tingkat penyidikan tahanan rumah tersebut ditahan oleh jaksa, maka yang berwenang melakukan penahanan dari jaksa. Kemudian atas permintaan dari terdakwa atau yang bersangkutan atau permintaan kuasa hukumnya untuk melakukan perubahan penahanan berdasarkan pertimbangan yang layak, maka bisa jadi dilakukan perubahan penahanan,” ungkap Hermansyah mencontohkan.
Misalnya jaksa memberikan izin dari tahanan negara menjadi tahanan rumah, maka harus dimungkinkan dengan alasan-alasan yang masuk akal. Pada saat dia tahanan rumah maka secara teori yang melakukan pengawalan itu adalah kewajiban jaksa.
“Jadi kalau terdakwa minta izin keluar, maka yang melakukan pengawalan ditujukan kepada jaksa. Untuk masalah pengawalan kalau memang diizinkan, maka jaksa bisa melakukan pengawalan dan jaksa bisa juga berkoordinasi dengan aparat penegak hukum lainnya jika dimungkinkan. “Kalau tahanan rumah itu masih diproses di pengadilan, berarti itu masih kewenangan jaksa,” tutup Hermansyah.
Laporan: Maulidi, Riko Saputra
Editor: Hamka Saptono