So Sweet Keke dan Nico

Oleh: AZRUL ANANDA

eQuator.co.id – Saya tidak pernah menyangka Keke Rosberg seorang ayah yang luar biasa. Itu terlihat pada satu momen monumental. Ketika anaknya, Nico Rosberg, jadi juara dunia Formula 1 2016.

Keke Rosberg dan Nico Rosberg. Ayah dan anak juara dunia Formula 1. Keke –nama aslinya Keijo Erik Rosberg– meraih gelar balap paling bergengsi itu pada 1982, sedangkan Nico merebutnya Minggu lalu (27/11) di Abu Dhabi.

Ini merupakan pasangan ayah-anak kedua yang menjadi juara dunia. Setelah Graham Hill dan Damon Hill.

Persamaannya, ada selisih 34 tahun antara gelar Graham dan Keke dengan Damon dan Nico. Bedanya, Graham Hill sudah lama meninggal ketika Damon menjadi world champion pada 1996.

Keke, yang kini berusia 67 tahun, bercanda ketika disinggung soal itu. Dia bilang, Graham memang tidak bisa menyaksikan Damon menjadi juara. Tapi, dia sendiri juga mungkin tidak bisa menunggu lebih lama lagi…

Wkwkwkwk???

Terus terang, walau merupakan penggemar berat F1 dan salah satu jurnalis Indonesia dengan akses paling besar ke ajang tersebut, saya tidak pernah menjadi penggemar berat Nico Rosberg.

Pada 2006, saya beruntung karena pernah menjadi saksi debut pertama pembalap berambut pirang itu. Waktu itu meliput Grand Prix Bahrain bersama Dewo Pratomo dan Raka Denny.

Waktu itu Rosberg naik Williams-Cosworth, kombinasi sasis dan mesin yang sama dengan yang mengantarkan ayahnya jadi champion pada 1982. Hanya, Williams pada 2006 sedang berada dalam masa sulit. Jadi, harapan terbaik Nico Rosberg kala itu adalah papan tengah.

Hanya, pertanda istimewa sudah muncul di Bahrain itu. Rosberg finis ketujuh di lomba perdananya, meraih poin di lomba pertamanya. Saking istimewanya, saya menulis khusus soal Rosberg setelah lomba tersebut.

Tapi tetap saja, waktu itu saya tidak ”tersentuh” untuk menjadi penggemar Rosberg. Saya sangat respect dan berharap dia sukses, tapi bukan pembalap yang saya ikuti secara mendetail perkembangannya.

Keramahan dan ketenangan Rosberg selama berada di F1 juga membuat saya tidak pernah tidak menyukainya. Tapi, sekali lagi, saya bukan penggemar dia.

Saya kira kita semua sama dalam menyikapi para bintang olahraga. Kira-kira ada empat tingkat kesukaan itu.

Level A: Yang kita suka sepenuh hati. Level B: Yang bagi kita biasa-biasa saja, tapi respect. Level C: Yang bagi kita benar-benar biasa saja. Level D: Yang kita benci sepenuh hati sampai rela berantem di medsos (karena kalau berantem beneran mungkin ya tidak berani). Sikap saya terhadap Rosberg ya di level B itu lah.

Awal tahun 2016, saya sempat menonton lomba pembuka di Australia. Rosberg menang dengan meyakinkan. Dalam analisis lomba, saya menulis bahwa itu pertanda Rosberg bakal menjadi juara dunia. Bukan karena sok pintar atau karena dapat ”ilham” spesial. Melainkan karena statistik memang menunjukkan bahwa kans pemenang lomba perdana untuk jadi champion lebih besar.

Lomba demi lomba dia menangi. Namun, momentum lantas berubah, giliran rekan setimnya –yang memang dianggap lebih berbakat– yang menang terus.

Memasuki lomba penutup di Abu Dhabi, posisi Rosberg agak terancam. Dia harus finis minimal di urutan ketiga untuk menjadi juara dunia. Lewis Hamilton, rekannya, wajib menang.

Wow, sepuluh putaran terakhir lomba benar-benar mendebarkan. Hamilton tampil agak ”nakal”, sengaja melamban supaya Rosberg di belakangnya ikut tertahan. Harapan Hamilton, Rosberg bakal disalip dua pembalap lain yang juga menempel di belakang.

Rosberg begitu tenang. Tidak panik. Tidak gegabah. Di garis finis, Hamilton menang, Rosberg kedua. Rosberg world champion.

Saat itu, saat mata agak mengantuk, saya langsung memiliki respect yang lebih tinggi kepada Nico Rosberg. Ini orang tidak aneh-aneh, tapi mampu menunjukkan ”dingin”-nya seorang champion.

Apa yang terjadi setelah itu justru membuat saya lebih menyukainya lagi. Bahkan jadi ikut menyukai ayahnya, Keke. Padahal, meski saya bukan lagi anak muda, zaman Keke itu zaman yang lebih baheula lagi.

Sebuah video yang diunggah Nico Rosberg via Twitter yang melumatkan hati saya. Dengan judul yang sangat simpel tapi dahsyat: Danke Mama und Papa.

Silakan cari, gampang kok. Panjangnya lima menit, tapi setiap detiknya menyentuh…

Di dalamnya, Nico Rosberg menunjukkan video saat dirinya masih kecil, belum sampai sepuluh tahun. Dia berlatih go-kart, dipandu dan dimekaniki sendiri oleh Keke. Bahkan, Keke mengisikan bahan bakar, mencatat waktu pakai stopwatch, mengelap go-kart supaya bersih, membantu memasang serta melepas helm, membantu mengusap wajah Nico setelah latihan, dan lain sebagainya.

Nico benar-benar terlihat imut. Keke benar-benar terlihat seperti seorang ayah. Pas banget dengan lagu Thinking Out Loud-nya Ed Sheeran… So sweet…

Saat lomba di Abu Dhabi itu, Keke Rosberg tidak menonton langsung di sirkuit. Dia berada di kawasan tersebut, tapi sejak awal pekan menjaga jarak dari sang anak.

Alasannya, dia tidak ingin mengganggu sang anak. Dia tidak ingin menarik perhatian dari sang anak. Sebab, dia sadar betul bahwa media akan terus memburu setiap gerakan, ekspresi, dan komentarnya. Dia memberi tahu Nico soal itu. Jadi, Nico tahu bahwa sang ayah ada tidak jauh, tapi tidak mau mengganggu di lintasan.

Keke menonton lomba mendebarkan itu di rumah seorang teman. Dia baru melaju ke sirkuit setelah lomba, menemui dan memeluk sang anak sekitar satu jam setelah finis.

Setelah itu, baru dia mau bicara kepada media. Dan semua baru sadar bahwa itu sebenarnya kali pertama dia banyak bicara di media sejak 2010!

Pada intinya, sejak anaknya mulai naik kelas di F1, dia mencoba menjauh. ”Sudah waktunya bagi saya untuk melangkah mundur,” ucapnya.

Keke mengaku, ke depan dirinya tidak akan mengubah sikap itu. Dia sebisanya akan mencoba untuk tidak mengganggu Nico Rosberg di sirkuit atau di mata publik.

”Saya sudah terbiasa dengan ini. Tugas saya adalah mendukungnya secara privat,” ungkapnya.

Bayangkan, seorang mantan juara dunia yang anaknya sekarang juga menjadi juara dunia memilih untuk menghindari sorotan! Salut kepada Keke Rosberg!

Jangankan pembalap kelas dunia, di kehidupan sehari-hari saja mungkin jarang ada ayah seperti itu. Sebagai salah satu di antara sekian banyak second generation, saya tahu betul ada banyak teman saya yang sampai sukses pun masih terus ”diganggu” orangtuanya…

Setelah membaca komentar itu, saya langsung mengecek koleksi miniatur F1 saya, yang jumlahnya ribuan. Memastikan bahwa saya sudah punya replika mobil Keke Rosberg…

Respect terhadap Nico Rosberg ternyata masih bisa bertambah sehari kemudian. Pagi setelah lomba, muncul gambar Nico Rosberg berjalan bergandengan dengan istri dan anaknya. Bunyi komentar Rosberg, ”Perlahan menyadari apa yang telah terjadi kemarin. Ternyata sekarang saya sudah berhasil meraih trofi ketiga…”

Gelar juara dunia itu adalah trofi ketiga setelah sang istri dan sang anak… So sweet… (*)