eQuator.co.id – Pontianak-RK. Kepala Pusat Data dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho penuhi panggilan sidang hukum adat Dayak di Kota Pontianak. Sidang hukum adat dilakukan di Betang Jalan Sutoyo, Kecamatan Pontianak Selatan, Selasa (4/9) sekitar pukul 11.00 WIB.
Sidang hukum adat ini digelar sebagai tindak lanjut tuntutan dari berbagai organisasi dan elemen masyarakat Dayak Kalbar. Menyusul tudingan Sutopo yang menyebutkan tradisi gawai serentak menambah jumlah hotspot di Kalbar, Jumat (24/8). Pernyataan Sutopo dinilai menyakiti perasaan masyarakat adat Dayak. Tidak sekedar minta maaf, Sutopo mesti menjalani sidang hukum adat.
Saat hadir, Sutopo terlihat melemparkan senyum kepada orang-orang yang hadir. Sebelum duduk bersama pada tempat pelaksanaan yakni lantai atas Betang, Sutopo menyempatkan diri bertemu dengan para tokoh-tokoh adat Dayak di Sekretariat DAD Kalbar. Lantaran sidang hukum adat juga turut dihadiri Sekretaris Majelis Adat Dayak Nasional (MADN) Yakobus Kumis, Ketua DAD Jakius Sinyor, Ketua Sekberkesda Joseph Odilo Oendoen, Ketua DAD Kabupaten/Kota se Kalbar, para temenggung serta organisasi kepemudaan Dayak se Kalbar.
Sutopo membacakan permintaan maafnya secara langsung di depan massa yang hadir. Atas nama pribadi dan instansi, dirinya mengatakan tidak ada maksud sama sekali mengeluarkan pernyataan yang menyinggung masyarakat Dayak.
“Tidak ada maksud lain selain hanya memberitakan upaya kebakaran hutan dan lahan di Kalbar. Adanya penulisan tradisi gawai serentak, pada dasarnya mengacu pada laporan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan berita lainnya,” terangnya.
Ia juga mengaku adanya keterbatasan pengetahuan tentang kearifan lokal masyarakat Dayak. Sehingga menyebabkan kesalahan dan kekhilafan dirinya dalam membuat press release.
“Yang kemudian saya sebarkan ke media,” ujarnya.
Untuk itu, ia mencabut pernyataan tersebut. Sekaligus menyampaikan permintaan maaf secara terbuka kepada masyarakat Dayak.
“Tradisi gawai serentak dalam tatanan masyarakat Dayak merupakan pesta ritual sesudah panen, sehingga tidak ada kaitannya dengan membuka lahan dan sistem bakar yang mengakibatkan kebakaran hutan dan lahan selama periode Agustus 2018,” paparnya.
Sutopo yang hari itu masih dalam keadaan sakit, juga mengatakan telah menyampaikan klarifikasi permohonan maaf yang sudah diterbitkan media lokal maupun nasional. Namun demikian, menyadari kesalahannya, ia memohon maaf kepada masyarakat Dayak di seluruh Indonesia dan menghadiri pengadilan adat Dayak.
“Saya hadir di sini mengikuti, mentaati, dan menghormati pengadilan adat Dayak. Masyarakat Dayak sangat masih murni, tidak pernah menyakiti orang lain, dan masyarakat Dayak dikenal sebagai masyarakat yang ramah, demokratis, dan menghargai perdamaian,” pungkas Sutopo.
Masyarakat Dayak kemudian memberikan maaf kepada Sutopo. Yakobus Kumis memasangkan peci adat Dayak kepada Sutopo.
Ketua DAD Kalbar, Jakius Sinyor memberikan apresiasi terhadap Kepala Pusat Data dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tersebut. Lantaran telah penuhi panggilan sidang hukum adat sebelum tujuh hari dari pelaksanaan tututan.
“Terima kasih atas jiwa besar beliau Pak Sutopo Purwo Nugroho atas kehadirannya. Datang yang dalam kondisi kesehatan yang sedang terganggu, namun bisa hadir. Ini kita apresiasi,” ungkapnya.
Jakius menuturkan, bahwa Sutopo tidak segaja mengatakan itu. Dia juga yakin Sutopo hanya menyampaikan. “Apa yang disampaikan jajarannya, datanya bukan beliau sendiri. Jadi bukan kesegajaan,” ucapnya.
Sebagai manusia, Jakius memahami bahwa tidak akan pernah lepas dari kekhilafan. Namun dengan berjiwa besar tadi sudah meminta maaf dan pihaknya menerimanya.
“Jadi kami harapkan dikemudian hari tidak ada lagi permasalahan-permasalahan, karena kami sudah menerima permohonan maafnya,” paparnya.
Jakius mengaku bahwa terkait somasi yang sudah dilayangkan, Sutopo hanya tinggal menyewa pengacara dan menjawab pernyataan. “Pak presiden sudah bilang ke beliau, siapkan saja pengacara, jawab pertanyaanya, kalu sudah betul jawaban itu tidak ada persoalan lagi. Karena itu ranahnya bapak presiden,” jelasnya.
Setelah ini, Jakius berharap tidak ada lagi dendam dan perasaan benci. “Jangan diperpanjang lagi,” ajaknya.
Sementara itu, Yakobus Kumis menuturkan, sebagai manusia yang hidup dikandung adat, mati dikandung tanah. Artinya sejak lahir sampai mati, masyarakat penuh dengan upacara adat.
“Nah, hari ini salah satu upacara adat kita yakni bagaimana kita menyelesaikan persoalan secara damai melalui kearifan lokal yaitu melalui sanksi hukum adat,” katanya.
Sanksi hukum adat yang dikenakan tadi kata dia dalam masyarakat adat dinamai capa molot. “Capa molot menurut adat Dayak Kanayant ini adalah sebuah sanksi diberikan kepada seseorang yang mungkin dia salah bahasa atau salah kata yang dapat menyinggung perasaan orang lain,” terangnya.
Hukum adat Dayak Kanayant dipilih karena kelengkapan temenggungan dan sanksi adatnya sudah jelas diatur. “Pertama karena komunitas adat Dayak Kanayant di Kota Pontianak ini tumenggungnya lengkap. Kemudian hukum adat Dayak Kanayant ini sebuah hukum adat yang sudah dibukukan rapi, jadi sudah ada aturannya, tidak ada menyimpang, panduannya jelas, sumber-sumbernya jelas dan itu hasil musyawarah adat,” papar Yakobus.
Dirinya menegaskan dengan selesainya digelar ritual hukum adat, maka tidak ada tuntutan lagi di kemudian hari. “Adat itu mendamaikan, jadi tidak ada lagi tuntutan tuntutan dikemudian hari. Namanya hukum adat, kita sudah berdamai dengan orang yang berbuat salah, sudah maaf maafan tidak ada lagi tuntut menuntut kepada pak Sutopo,” ujarnya.
Dirinya menuturkan, yang memberikan sanksi kepada Sutopo tumenggung yang ada di kota Pontianak. Sedangkan pihaknya hanya memfasilitasi.
“Kita yang mengkomunikasikan, kita yang mengatur kegiatan-kegiatannya dari MADN dan DAD. Tapi pelaksana pengadilan adat itu adalah tumenggung bukan di lembaga lain,” tambahnya.
Yakobus sangat mengapresiasi jiwa kesatria sutopo yang bersedia mempertanggungjawabkan kesalahannya. Karena bukan nilai hukumnya yang ditonjolkan.
“Tetapi mau dinyatakan di sini bahwa bapak Sutopo ini sangat menghargai kearifan lokal. Nah kita juga menyambut baik beliau ini luar biasa, belum tujuh hari, kalau menurut masyarakat adat Dayak itu maksimal tujuh hari, tapi beliau baru empat hari sudah hadir di sini untuk melakukan permohonan maaf,” katanya.
Kejadian ini dapat menjadi pembelajaran buat Sutopo dan masyarakat Dayak. Bahwa masyarakat selama ini telah melakukan kegiatan yang sudah turun temurun. Ratusan tahun berladang bergilir atau berpindah, namun tidak semena-mena seperti orang yang tidak mengerti kearifan lokal.
Misalnya dalam mencari lahan, tidak merusak lingkungan dan kehidupan. Sebelum beladang, berdoa dulu minta petunjuk boleh atau tidak di situ.
“Kalau boleh baru mereka menebas, setelah itu baru mereka membakar,” jelasnya.
Ketika membakar lahan, masyarakat Dayak selalu berhati-hati. Karena ketika api menjangkit ke ladang orang lain mereka akan diberikan sanksi adat. “Mereka harus mengganti kebun orang batang per batang apabila dia tidak benar-benar menjaga lahannya,” jelasnya.
Oleh karena itu, dalam pembakaran lahan, masyarakat Dayak tidak sembarangan. Lahan terlebih dahulu disekat sekitar dua meter sampai ke kulit tanah dan tidak ada lagi rerumputan. Kemudian lahan di sekelilingnya dibuat kolam-kolam kecil untuk menampung air. Ketika mau membakar harus melaporkan dulu kepada kepala desa.
“Setelah itu dibincangkan siapa yang berbatasan dengan ladangnya kiri kanan, depan belakang, bahkan satu kampung diumumkan, semua masyarakat bergotong royong melakukan penjagaan api,” ceritanya.
Selain itu dalam pembakaran juga melihat arah angin dengan memperhatikan kearifan lokal. Karena masyarakat adat Dayak sangat mencintai alam.
“Kalau hutan terbakar maka dia membunuh dirinya,” sebutnya.
Terjadinya kabut asap, kata Yakobus, bersumber dari lahan gambut. Lantaran kedalaman lahan gambut bisa mencapai belasan meter. Sehingga tidak mampu dipadamkan jika sudah terbakar.
Masyarakat adat Dayak hanya berladang di tanah mineral. Untuk itu dia mengajak kepada pemerintah daerah untuk menjaga areal gambut jangan sampai terbakar, karena itulah sumber kabut asap.
“Bagi kita yang sudah mengerti ini, tolong tidak mengeluarkan pernyataan yang menyudutkan masyarakat yang melakukan ladang bergilir,” seru Yakobus.
Laporan: Andi Ridwansyah
Editor: Arman Hairiadi