eQuator.co.id – Pontianak-RK. Pemerintah Kota Pontianak mencatat tak kurang 1.495 restoran, warung makan, kios mitiau, bubur ikan, caikwee, kweecap hingga warung masakan Padang di Ibukota Kalbar yang heterogen ini, tidak dilindungi sertifikasi halal. Padahal, mayoritas populasi 500 ribu penduduknya adalah muslim.
“Ada 1500 restoran, tapi yang punya sertifikat halal baru lima. Berdasarkan Undang-Undang yang mengeluarkan sertifikasi itu adalah LPPOM MUI,” ungkap Wali Kota Pontianak, Sutarmidji, Kamis (18/8).
Bang Midji, begitu Wali Kota ini biasa disapa, mengungkapkan fakta itu dalam pertemuan dengan Novianti, Publik Relation Food Muslim Indonesia (FMI), yang digelar Pemkot Pontianak di ruang rapat lantai tiga Kantor Wali Kota. Pertemuan itu sekaligus mengungkap temuan FMI atas pelanggaran aturan perundangan perihal sertifikasi halal.
Bang Midji meyakini kalau ribuan pelaku usaha makanan baik industri kecil, rumah, restoran, hingga warung makan, tidak memiliki sertifikasi halal. “Bukannya tidak mau mengurus sertifikasi dari LPPOM MUI. Tapi prosesnya tidak praktis dan lama, juga mahal biayanya,” ujarnya.
Namun, ia bersyukur, dalam pemeo atau anekdot “halal-haram hantam”, masih ada lembaga yang peduli menggeluti makanan yang sah masuk mulut hingga perut kaum muslim-muslimah. Walaupun LPPOM MUI tak gampang dijangkau.
“Tapi jangan salah, ada Food Muslim Indonesia di sini yang selalu memberikan pendampingan kepada pelaku usaha. Sehingga ada jaminan mereka melakukan perbaikan perbaikan dalam proses maupun bahan. Sehingga, bahan dan zat yang haram bagi umat Islam tidak terkandung dalam panganan yang mereka jual,” papar pria kelahiran Pontianak, 29 November 1962, itu.
Diakuinya, sulit dan lamanya proses sertifikasi halal mendorong Pemerintah Kota Pontianak menawarkan solusi jangka pendek yaitu memberikan dan meneliti bahan-bahan yang digunakan. “Kita uji di lab, kemudian kita beri keterangan bahwa bahan yang digunakan tidak mengandung zat yang haram. Kalaupun dari segi proses tidak bisa memberikan satu kesimpulan halal atau haram, tetapi kita jaga bahan makanannya. Nah, ini yang jadi solusi jangka pendek,” terang dia.
Sebenarnya, masih dikatakan Bang Midji, masalahnya tidak rumit-rumit amat untuk menetapkan halal-haram produk makanan di Kota Pontianak. “Kalaupun Balai POM sulit turut serta untuk uji lab ini, kita akan siapkan laboratoriumnya. Selama ini sudah kita lakukan dan beberapa masalah kita selesaikan,” tambah alumnus SMA Santo Paulus tahun 1981 ini. Langkah itu sekaligus melakukan pembinaan secara periodik kepada pelaku usaha untuk tidak menggunakan bahan yang haram.
REGULASI EKONOMI
Tak ingin menguap bak asap, dari hasil pertemuan tersebut, mesti ada jalan keluar praktis untuk menangani kepentingan antara pelaku usaha dan konsumen. Senike untuk mendapatkan sertifikasi halal prosesnya lama dan biayanya mahal, diperlukan subsidi.
“Itukan urusan BPOM dan MUI. Harusnya, menurut saya nih ya, pemerintah saja yang membuat subsidi. Misalnya, satu tahun MUI targetkan sertifikat halal 10 ribu seluruh Indonesia. Misalkan biayanya Rp1 juta. Siapkan saja anggarannya, apa susah. Ini kan bagian dari regulasi ekonomi supaya ada kepastian dalam berusaha,” jelas Bang Midji.
Adalah seorang dosen di Universitas Tanjungpura yang ikut dalam pertemuan diskusi ini bikin pengakuan. Ia mengaku tidak mau makan daging ayam yang dipotong di pasar, lantaran ragu cara pemotongannya. Apakah sesuai syariat Islam alias maen gerek jak.
“Saya tidak makan ayam yang dipotong di pasar karena ada keraguan bahkan kekhawatiran bagaimana cara memotongnya,” ujar Sang Dosen.
Menjawab kekhawatiran itu, Kepala Dinas Perternakan Kota Pontianak, Hidayati, menyatakan sudah bekerja sama dengan LPPOM MUI sejak lama. Juga, pihaknya juga memiliki prosedur sendiri.
“Selama ini kita memang selalu dan selalu membangkitkan sikap kritis masyarakat. Mengingat kebanyakan kita di Kota ini adalah muslim. Bahkan kita terus lakukan razia,” jelasnya.
Hewan konsumsi di Kota Pontianak disediakan tempat pemotongan hewan (RPH) sapi yang bersetifikat halal. Hanya saja, pemotongan ayam hanya dilakukan di spot-spot atau kios ayam di pasar. Kebetulan tengah direhab.
“Kalau sapi sudah label halal. Kalau ayam belum dapat kita memastikan. Karena untuk pemotongan ayam itu harus dipantau perekornya dan itu setiap hari. Sedangkan tenaga kita sendiri terbatas untuk pengawasan. Kita juga belum memiliki rumah potong unggas yang besar,” papar Hidayati.
Namun begitu, dinasnya memantau dan membina secara bertahap. “Kita sudah cek. Boleh dibilang sembilan puluh persen tenaga pemotong ayam itu adalah muslim. Kalau untuk persyaratan higenisnya, memang dalam tahap pembinaan,” pungkasnya.
Sementara itu, Kabid Pemeriksaan dan Penyidikan Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), Yanuarti mengatakan, mengantisipasi makanan yang tidak halal terpulang kepada masyarakat konsumen untuk berani menanyakan kepada pelaku usaha yang menyajikan makanan halal bersertifikat.
Dia mencontohkan, ketika konsumen masuk ke rumah makan melihat tulisan HALAL, jangan langsung percaya begitu saja. Sebab, yang berani menuliskan halal berarti sudah memiliki sertifikasi dari LPPOM MUI. Dan itu wajib dipajang di tempat usahanya.
“Kalau tidak ada, tanyakan saja. Karena jika tidak ada berarti belum sertifikasi,” sarannya.
Laporan:Achmad Mundzirin
Editor: Mohamad iQbaL