eQuator.co.id – Bogor-RK. Mungkin ini efek Republik Rakyat Tiongkok mulai kepenuhan. Penduduk di sana mulai eksodus, termasuk ke Indonesia.
Menyusul Kendawangan, Ketapang, pernah kedapatan “pendatang haram” asal Tiongkok yang bekerja sebagai tenaga kasar di sektor perkebunan, Bogor pun kini menjadi “surga” bagi imigran gelap asal negeri tirai bambu tersebut beberapa tahun terakhir.
Teranyar, Kantor Imigrasi Bogor menangkap empat WNA di kawasan timur Bumi Tegar Beriman. Di sana, mereka bukan berprofesi sebagai ahli di pabrik atau industri. Para imigran itu bekerja sebagai buruh tani.
Selasa (8/11), sekitar pukul 10.00 WIB pagi, tim buru imigran gelap bergerak menuju Kampung Gunung Leutik, Desa Sukadamai, Kecamatan Sukamakmur. Dipimpin langsung oleh Kepala Seksi Pengawasan Keimigrasian, Kantor Imigrasi Bogor, Arief A. Satoto, tim menindaklanjuti laporan warga soal keberadaan empat WNA Tiongkok, di pedalaman Kabupaten Bogor itu. Disinyalir, para WNA tersebut tidak mengantongi surat-surat resmi.
“Kita mendalami laporan warga yang curiga kepada para WNA, saat melintasi perkebunan,” kata Arief, kepada Radar Bogor yang turut dalam penggerebekan.
Setelah menempuh perjalanan selama dua jam, perburuan sempat terhenti, tak jauh dari Kantor Kecamatan Sukamakmur. Dari titik itu, tim disarankan berganti kendaraan roda dua untuk melalui jalur setapak yang becek dan berliku. Medan yang dilalui pun harus melalui sejumlah bukit. Hingga sekitar pukul 12.40, barulah tim mencapai titik tujuan.
Setiba di lokasi, tim terlebih dahulu memantau kondisi di perkebunan cabai seluas puluhan hektar di atas perbukitan Sukamakmur itu. Benar saja, dari kejauhan, tampak beberapa wajah khas Asia, yang sangat mencolok dan terlihat berbeda di tengah kerumunan petani lokal. Tanpa basa-basi, tim langsung menghampiri dan memeriksa beberapa orang tersebut.
“Iya benar itu (WNA),” ucap Arief kepada para anggotanya.
Dari pemeriksaan sementara, keempat WNA itu di antaranya Yu Wai Man/YWM (37), Xue Qingjiang/XQ (51), Gu Zhaojun/GZ (52), dan Gao Huaqiang/GH (53). Mereka tinggal di sebuah rumah yang berada di tengah lahan perkebunan. Saat dipergoki petugas, keempatnya tengah mengawasi petani lokal yang sedang bekerja.
Selama sekitar dua jam, tim memeriksa dan menggeledah kediaman para imigran. Dari penggeledahan, tim menyita delapan unit handphone, alat pertanian, radio komunikasi, dua buku tabungan berisi Rp20 juta dan Rp15 juta.
Wartawan kemudian berusaha bertanya kepada para imigran menggunakan bahasa Inggris. Namun, salah satu imigran menjawab dengan terbata-bata, “I don’t speak English,”. Ketiga imigran lainnya turut merespon dengan gelengan kepala.
Beberapa saat terdiam, salah satu imigran kembali buka suara, namun dengan bahasa Mandarin. Sembari mengucap kalimat secara cepat, dia menunjuk sosok imigran yang paling muda, YWM. Ternyata, YWM lah tuan rumah bagi para imigran itu.
Di saat pewarta mencoba menggali informasi, seorang warga sekitar, Usman (40), berbisik pelan. Menurut dia, YWM telah dikenal baik oleh warga, dan akrab disapa Koh Aming. YWM sudah mengarap lahan di atas perbukitan Sukamakmur sejak Ramadan lalu, atau Mei 2016.
“Dia bisa (bahasa) Indonesia,” bisik Usman.
Dari keterangan Usman pula, YWM diketahui membeli lahan seluas 20 hektar di perbukitan itu. Lahan tersebut ditanami cabai dengan mempekerjakan imigran asal Tiongkok dan warga lokal sebagai buruh tani.
“Tapi baru empat hektar yang jadi, sisanya baru direncanakan,” tuturnya.
Wartawan kemudian kembali mencoba mengajak YWM berbicara. Kali ini menggunakan bahasa Indonesia.
“Iya, saya bisa bahasa Indonesia. Memang kenapa?,” ucapnya, dan tak mau lagi berbicara.
Setelah pemeriksaan dirasa cukup, tim kemudian membawa keempat imigran itu ke Kantor Imigrasi Bogor. Kasi Wasdakim Imigrasi Bogor, Arief A. Satoto menjelaskan, dari empat WNA, hanya dua orang yang memiliki paspor dengan visa bebas fasilitas di 169 negara. Dua lainnya tidak ditemukan dokumen apapun.
“Mereka memperkerjaan 38 warga lokal sebagai petani. 30 lelaki dan 8 orang perempuan. Tahu sendiri lokasinya di sana tidak ada sinyal, sangat terpencil,” jelasnya.
TERAMCAM PENJARA
Kepastian hukum bagi empat petani asal Tiongkok, kini tinggal menghitung hari. Jika keempatnya tidak bisa menunjukkan surat-surat resmi dan izin tinggal di Indonesia, kemungkinan mereka terancam dipenjara.
Para WN Tiongkok itu diduga telah melanggar Undang-Undang Nomor 6 tahun 2011 Tentang Keimigrasian dengan ancaman lima tahun penjara. Kepala Pengawasan dan Penindakan Kantor Imigrasi Klas II Bogor, Arief H. Santoso, mengatakan bahwa dari hasil pemeriksaan, awalnya mereka berjumlah lima orang.
“Dari pengakuan dua saksi yang mengetahui rutinitas WNA selama di Kampung Gunung Leutik, Sukadamai, tadinya ada lima orang. Salah satunya sudah pulang sejak beberapa bulan lalu,” ujar Arief kepada Radar Bogor, Kamis (10/11).
Saat ini, pemeriksaan saksi-saksi masih terus dilakukan. Rencananya, Senin (14/11), Kepala Desa Sukadamai, Jaon Latifah, beserta suaminya Maman Suherman selaku LPM Desa, ikut diperiksa. Sambil menunggu dua di antara WNA tersebut yang berjanji akan menunjukkan identitas.
“Daripada kita menunggu, lebih baik kita periksa saksi dulu,” ungkapnya.
Sejauh ini, kata dia, selain ancaman hukuman lima tahun penjara, keempatnya juga terancam dideportasi. Dari pemeriksaan sementara, pihaknya berkesimpulan bahwa para WNA itu datang menggunakan perantara warga Tiongkok yang sudah tinggal lebih dulu di Indonesia.
“Jadi, Yu Wai Man atau Aling atau Aming adalah mandornya. Dia juga mengerti soal pertanian sekaligus yang mengajarkan bercocok tani kepada warga,” jelas Arief.
Selain Yu Wai, ada Gao Huaqiang yang bekerja sebagai pegawas. Sementara Xue Qingjiang berperan untuk mengatur penjualan takaran dan pupuk penanaman. Dalam menggarap lahan ini, mereka juga mendatangkan ahli teknik pertanian, yakni Gu Zhaojun, untuk menggarap lahan di daerah yang notabene sarat akan pakar pertanian ini.
“Zhao teknik pertanian yang memasang pasokan air dan lainnya,” terang Arief.
Terpisah, Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor mengaku kecolongan dengan adanya lahan pertanian di Desa Sukadamai, Kecamatan Sukamakmur, yang digarap petani Tiongkok.
“Ini pertama kalinya terjadi di Kabupaten Bogor. Dan ini menjadi pembelajaran bagi kami,” ujar Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor, Nurianty.
Dia pun menyayangkan sikap kepada kepala desa yang tidak melaporkan keberadan imigran di wilayahnya. Terkait bibit yang digunakan petani Tiongkok, menurut dia, itu merupakan bibit ilegal.
“Desa dan kecamatan harusnya segera melaporkan dengan keberadaan orang asing di tempat mereka,” tukasnya.
KANTONGI NPWP DAN SIM A
Penangkapan empat WNA itu terang saja membuka tabir serbuan imigran gelap asal Tiongkok ke Bogor. Tanpa mengantongi surat resmi, WNA tersebut bebas menyewa lahan dan bercocok tanam. Diketahui pula, salah satu imigran telah memiliki SIM A dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) Republik Indonesia.
Kepala Desa Sukadamai, Jaon Latipah, angkat bicara soal keberadaan empat imigran ilegal di wilayahnya. Menurut Joan, pemerintah desa mulai berkomunikasi dengan para imigran pada Juni 2016 silam. Orang yang membawa imigran masuk ke Sukadamai warga bernama Heri, dari kerabatnya yang bekerja sebagai PNS di Pemda Cianjur.
“Orang yang tahu persis ceritanya, suami saya, Pak Maman Suherman,” tutur Joan, seraya meminta Radar Bogor menghubungi sang suami untuk mendapat cerita lengkap.
Ditemui di tempat terpisah, Maman Suherman, yang juga LPM Desa Sukadamai, mengungkapkan awalnya para imigran itu mengaku berasal dari Korea. Mereka mengaku sedang mencari lahan untuk menanam cabai.
“Karena kebetulan saya dikuasakan untuk mengelola lahan garapan milik Aling, warga Jakarta, saya pun menyambutnya dengan baik. Apalagi dia (WNA) menjanjikan akan memberdayakan warga di sini untuk menjadi karyawan. Kalimat inilah membuat saya tambah senang,” ungkap Maman.
Dia juga menjelaskan, batas waktu penggarapan tanah berstatus Hak Guna Usaha (HGU) itu hanya selama dua tahun saja. Sedangkan luas tanah yang dibutuhkan adalah seluas 20 hektar.
“Menyewa lahan ini hanya pakai kuitansi antara saya dengan Heri. Kalau menurut Aming, dia sewaktu di Hongkong sudah berprofesi sebagai pengusaha cabai. Nah dia juga menanyakan, untuk pemasaran di Jakarta itu ada dimana. Aming juga mengatakan, bahwa dia berasal dari Hongkong hanya sudah lama tinggal di Jakarta dan rumahnya ada di Tangerang. Sewaktu mereka ke sini jumlahnya belum ada empat, hanya dua orang saja. Saya juga baru tahu kalau nama Aslinya Aming adalah Yu Wai Man,” jelasnya.
Selama di Sukadamai, para WNA itu tinggal di rumah gubuk di tengah perkebunan. Meski Aming mengaku dari Korea, tapi dia paham bahasa Indonesia. Di lahan pertanian itu, Aming bertugas mengurus pembukuan, sedangkan tiga WNA lain bekerja sebagai teknisi.
“Selama di sini mereka tidak pernah bermasalah. Justru ke empat imigran itu banyak membantu. Terbukti sebanyak 30 warga di sini pun menjadi karyawan tetap mereka. Warga dibayar Rp60 ribu per hari,” akunya.
Sekarang, menurut Maman, dengan tertangkapnya keempat WNA itu, warga banyak yang menganggur. Namun jika para imigran itu memang bersalah, warga pun mendukung proses hukum.
“Untuk harga sewa tanah, satu hektar Rp2,5 juta per tahun. Mereka juga memperbaiki jalan,” tukasnya.
Sementara itu, Kasi Pengawasan Keimigrasian pada Kantor Imigrasi Bogor, Arief A Satoto, mengatakan pihaknya masih terus memeriksa empat WNA Tiongkok tersebut. Mereka diduga melakukan penyalahgunaan visa. (Radar Bogor/JPG)