Soal Efek Rumah Kaca, Cornelis Tak Mau Didikte

SIMAK. Gubernur Cornelis menyimak presentasi narasumber bersama Adi Yani dari BLH Provinsi Kalbar, di Hotel Mercure Pontianak, Kamis (11/8). ISFIANSYAH

eQuator.co.id – Pontianak-RK. Gubernur Cornelis mendorong tercapainya kesepakatan pada pertemuan tahunan Governors Climate and Forest Task Force (GCF) di Jalisco, Meksiko, pada 29 Agustus-1 September mendatang. Dia tak mau didikte negara-negara maju.

Kata dia, target yang ingin dicapai dalam pertemuan antara para kepala Negara di muka bumi ini, terutama negara industri maju dengan negara berkembang yang punya hutan, adalah bisa bersama-sama menurunkan efek rumah kaca.

“Pada jaman Pemerintahan Joko Widodo menargetkan angka 29 persen, lebih tinggi dari Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono 26 persen. Untuk Kalbar sendiri sudah mulai dengan hutan desa,” ujar Cornelis, ketika menghadiri Konsultasi publik hasil perhitungan Forest Refrence Emission Level (FREL) Di Provinsi Kalimantan Barat, Kamis (11/8), di Hotel Mercure Pontianak.

Dijelaskannya, yang menjadi ancaman dunia adalah iklim tidak bisa diprediksi sehingga masyarakat dunia terutama Eropa ketakutan. Namun di tingkat kepala Negara belum menemukan kesepakatan terkait penurunan emisi gas rumah kaca.

“Kita disuruh teriak terus, ini ketidakadilan, tapi kalau mau hancur-hancuran ayoklah, mau 2-3 derajat panas bisa mati semua. Bagaimana cuaca panas di India, berapa yang mati? Bagaimana seandainya es mencair? Ada pulau yang tenggelam, ada Negara yang hilang. Mungkin Pontianak ini bisa hilang sampai Anjungan. Sekarang baru kita semua terkaget-kaget,“ tegas Cornelis, di hadapan hadirin dan beberapa delegasi Eropa.

Untuk itu, dirinya minta supaya harus ada kesepakatan bersama antara pemerintah dan lembaga terkait termasuk Non Governement Ogranization (NGO), Ormas, terkait angka dan visi sehingga ketika berbicara di dunia internasional bisa satu suara. “Harus sepakat dulu, jangan Belantara A, Walhi ngomong B, Pemerintah ngomong C, nanti ditertawakan Orang Barat. Orang Barat masih menganggap kita ini budak. Masih menganggap kita ini tidak setara dengan mereka, kita tunjukan kalau kita juga bisa. Makanya kita harus sepakat dulu,” pintanya.

Ketika bersama Presiden melakukan pertemuan di Kopenhagen Denmark, Cornelis menyatakan dia berani ‘memarahi’ Eropa. “Saya takuti mereka, tar nanti saya tebang semua hutan, tambang digali, kubikin senjata nuklir,” selorohnya.

Intinya, mantan Bupati Landak itu tidak mau ditekan negara-negara industri maju terkait penurunan emisi gas hanya karena di Eropa tidak ada hutan seperti di Indonesia lagi. Kata pria yang juga menjabat Kepala GCF itu, posisi bargaining Indonesia lebih kuat.

“Mereka katakan kita merusak hutan karena tanam sawit, sabar dulu saya bilang. Kalian yang merusak dunia karena kalian nanam kacang lahan terbuka begitu lama. Kalau Bapak lihat ke Swiss, mereka menanam kacang menanam bunga matahari, kan terbuka jadi hamparannya terbuka. Berapa sih nafas kacang itu dibandingkan dengan nafas sawit? Andaipun tinggi, kacang hanya bertahan beberapa bulan, setelah lima tahun sawit sudah tertutup,” ungkap Cornelis.

Dia juga memprotes kebijakan Negara pengimpor CPO yang mau menaikkan dua kali lipat pajak bea masuk minyak sawit mentah itu. Kemudian  mengatakan sawit itu makanan berbahaya mengandung pupuk dan zat kimia. “Padahal sudah masuk laboratorium semua, sudah diuji semua,” tekannya.

Sebelumnya, Gubernur dari enam provinsi yang menyumbang 58% luasan kawasan dan tutupan hutan di Indonesia telah melakukan pertemuan dengan perwakilan para lembaga donor internasional, kedutaan asing, dan sektor swasta. Hal itu dilakukan dalam upaya mencari kemitraan untuk mengimplementasikan berbagai aktivitas pengurangan deforestasi.

Aktivitas-aktivitas itu akan membantu enam provinsi tersebut dalam mencapai komitmen yang telah mereka buat pada Deklarasi Rio Branco yang ditandatangani saat pertemuan ke delapan satuan tugas gubernur untuk iklim dan hutan di Rio Branco, Acre, Brazil, pada tahun 2014 lalu. Enam provinsi di Indonesia yang menandatangani deklarasi tersebut adalah Aceh, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah. Kalimantan Timur, Papua Barat, dan Papua.

GCF sendiri adalah sebuah kolaborasi subnasional yang unik dari 29 negara bagian dan provinsi di dunia seperti Brasil, Indonesia, Meksiko, Nigeria, Peru, Spanyol, dan Amerika serikat. Kelompok ini berupaya memajukan program-program yuridiksi yang dirancang untuk mepromosikan pembangunan pendesaan rendah emisi dan pengurangan emisi dari deforestasi, degradasi hutan, dan penggunaan lahan (REDD+). Juga menghubungkan kegiatan-kegiatan tersebut dengan rezim kepatuhan gas rumah kaca yang tengah berkembang.

GCF berfokus pada semua aspek dari upaya pengurangan emisi dari deforestasi dan membentuk kerangka-kerangka berkelanjutan untuk pembangunan rendah emisi. Dalam deklarasi Rio Branco, enam provinsi di Indonesia menyepakati untuk melakukan pengurangan deforestasi sebesar 80% pada tahun 2020 mendatang. Dengan menggunakan rujukan deforestasi 2001-2009, pencapaian komitmen ini akan mengurangi laju dari rata-rata 323.749 hektar menjadi rata-rata 64.749 hektar per tahun pada 2020.

 

Laporan: Isfiansyah

Editor: Mohamad iQbaL