Siswa MTsN 1 Malang Bikin Alat Produksi Garam Antimusim

Galau Garam Impor, Kalahkan Pelajar SMA

BUAH KEISENGAN: Dari kiri, Athoillah Farhan Abshor, Zaki Zaidan Akbar, dan A. Vian Nizam Efendi menunjukkan piala serta medali di sekolahnya kemarin (21/11). Imam Nasrodi/Radar Malang

Umur mereka baru belasan tahun, tapi kepedulian terhadap nasib bangsanya begitu tinggi. Yakni, kepedulian terhadap impor garam. Kepedulian itu dipadupadankan dengan ilmu yang mereka miliki. Maka terciptalah alat produksi garam antimusim. Seperti apa alatnya?

IMAM NASRODIN, Malang

eQuator.co.id – Dari luar, ruang penelitian MTsN 1 Malang tampak hening kemarin siang (21/11). Hanya terdengar suara pria sedang menyampaikan materi. Ketika masuk di ruangan sekitar 8×7 meter, tampak beberapa siswa sedang ”bermain” dengan berbagai penelitiannya.

Ada yang tampak mengamati ”ramuan” penelitian tertentu, ada pula yang tampak mencatat sesuatu. Namun, ada tiga siswa yang tampak mengamati benda berbentuk seperti limas di atas kursi. Mereka adalah Zaki Zaidan Akbar, Athoillah Farhan Abshor, dan A. Vian Nizam Efendi, siswa MTsN 1 Malang yang meraih medali perak dalam ajang Madrasah Young Researcher Supercamp Nasional di Bengkulu pada 26–29 September 2018.

Mereka juga mewakili Kota Malang dalam ajang lomba inovasi teknologi tingkat Provinsi Jatim dan juara harapan II di bidang agrobisnis pada akhir Oktober lalu. Sedangkan alat yang mereka buat adalah CELTRO-G Accelerator Salt Processing Technology. Dengan alat ini, petani garam bisa memproduksi garam tanpa memikirkan risiko soal cuaca. ”Ini alat yang kami bikin untuk produksi garam antimusim,” kata ketua tim penelitian Zaki Zaidan Akbar kepada Jawa Pos Radar Malang kemarin.

Siswa kelahiran 18 April 2004 ini bercerita, ide tersebut muncul saat melihat fenomena klasik di Indonesia. Yaitu, kelangkaan garam di musim tertentu. Padahal, Indonesia terkenal dengan negara maritim alias lautannya menyediakan bahan baku garam yang melimpah.

Jadi, Indonesia harus impor garam dari luar negeri untuk memenuhi kebutuhan garam dalam negeri. ”Aneh saja, punya lautan luas kok impor garam. Akhirnya, muncul ide itu. Biar petani bisa memproduksi garam tanpa mengenal musim,” ucap alumnus MI Al Huda Malang ini.

 

Timnya melakukan riset sekitar dua tahun terakhir. Dalam perjalannnya, riset ini juga menemukan kendala. Bahkan, timnya mengalami kegagalan hingga tiga kali dalam membuat desain alat tersebut. ”Nggak apa-apa, gagal itu hal yang biasa dalam riset. Yang penting terus jaga ritme semangat,” terangnya.

Singkat cerita, timnya berhasil membuat alat produksi garam antimusim. Di mana dengan alat ini, petani bisa memanen garam hanya dalam waktu 7 hari untuk musim kemarau. Sedangkan untuk musim hujan, hanya membutuhkan waktu 7–14 hari. ”Kalau kemarau bisa dibantu dengan matahari, tapi kalau hujan murni sistem alat ini yang bekerja,” ucap siswa kelas IX ini.

Hanya, soal kecintaannya pada dunia penelitian karena iseng. Yaitu, hobi melakukan uji coba sesuatu di laboratorium. ”Awalnya iseng saja sama teman-teman,” imbuhnya.

Tak hanya itu, alat tersebut bisa diproduksi dengan kapasitas lebih besar lagi. Karena bisa menyesuaikan dengan modalnya. Untuk uji coba tersebut hanya menghabiskan biaya Rp 1 juta–Rp 2 juta. Sedangkan kapasitas produksinya, yakni setiap 1 liter bahan baku (air laut) bisa menghasilkan 40 gram garam.

Sedangkan untuk alat, bentuknya sangat kecil. Jadi, praktiknya air laut dimasukkan ke dalam alat itu. Lalu, diolah dengan formula tertentu. Dalam proses 7–14 hari, air tersebut sudah menjadi garam. ”Ini ukuran uji coba, kalau untuk perusahaan bisa diperbesar lagi,” ungkap anak ketiga dari empat bersaudara ini.

Selain itu, timnya juga tak menyangka jika bakal meraih medali perak di tingkat nasional dan juara harapan II di tingkat provinsi. Sebab, tim yang menjadi lawan lebih senior, yaitu tingkat SMA-SMK dan mahasiswa. Bahkan, juaranya di tingkat nasional tersebut dari tim MAN 2 Kudus.

Ke depan, timnya akan tetap menyempurnakan penelitian tersebut. Hal ini dilakukan sambil menunggu proses hak paten karya tersebut. ”Kami ingin terus mengembangkan riset ini sambil nunggu proses paten,” terangnya. (*/Radar Malang)