eQuator – Meski sudah ada sejak pra kemerdekaan Indonesia, isu ‘Negara Islam’ (Daulah Islamiyah) melalui sistem khilafah, akhir-akhir ini nampaknya semakin menguat.
Bahkan pertengahan 2015 lalu, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) secara terbuka menggelar rapat akbar untuk mengampanyekan penegakkan syariah dan khilafah di Indonesia.
Sistem khilafah dalam konsep ‘Negara Islam’ dianggap sebagai jalan keluar satu-satunya bagi Indonesia untuk keluar dari krisis, ancaman neo liberalisme dan neo imperialisme. Meskipun masih bisa dipertanyakan apa motif sesungguhnya dari gerakan khilafah ini? Ada apa di balik keinginan memformalisasikan ajaran Islam itu?
Terus terang, saya sendiri belum menemukan tulisan yang lebih detail soal sistem khilafah. Sehingga banyak pertanyaan di benak saya. Diskusi dengan beberapa teman yang mendukung sistem ini pun tidak memuaskan saya.
Penjelasan mereka kebanyakan berkutat pada hal-hal normatif; Islam adalah ajaran sempurna, semuanya sudah diatur dalam Islam, setiap muslim wajib memperjuangkan khilafah, dan seterusnya.
Tetapi–sekali lagi–sama sekali tidak menyentuh penjelasan dari pertanyaan “Apa dan bagaiman itu khilafah?”. Pun demikian dengan tulisan-tulisan dari para ‘pendakwah’ khilafah.
Saya sendiri sedikit heran, mengapa ide yang digembar-gemborkan itu justeru sulit menemukan pembahasannya secara detail dan menyeluruh. Dalam buku ‘Islam Syariat’ tulisan Dr Haedar Nashir yang kini menjabat Ketua Umum PP Muhamadiyah, ada dibahas tentang sistem khilafah Islam, namun porsinya sedikit sekali.
Terlebih yang menjadi studi kasusnya adalah Hizbut Tahrir. Mungkin karena kelompok inilah yang getol mengampanyekan ide itu. Tetapi apakah konsep khilafah Hizbut Tahrir sama dengan kelompok lain yang juga mengusung khilafah, menjadi pertanyaan lagi.
Sistem khilafah menurut Hizbut Tahrir adalah sistem yang berbentuk kesatuan dan bukan berbentuk serikat. Adapun dasar-dasar atau prinsip-prinsip pemerintahan Islam yang berbentuk Khilafah Islamiyah itu menurut Hizbut Tahrir dibangun di atas empat pilar.
Pilar Pertama, Kedaulatan itu milik syara’, yaitu diatur oleh Allah Swt, dengan hukum-hukum perintah dan larangan-Nya, bukan milik umat. Kedua, Kekuasaan di tangan umat, yakni dengan tata cara yang ditentukan oleh syariat Islam, dalam bentuk memilih dan mengangkat khalifah dengan di-bai’at, yang menjalankan pemerintah mewakili umat.
Ketiga, Kewajiban mengangkat hanya satu khalifah bagi seluruh kaum muslim sebagai wakil umat dalam pemerintahan, dan Keempat, Khalifah berhak menetapkan hukum-hukum syara’ yang akan dilaksanakan dalam pemerintahan, serta berhak menentukan konsitusi dan perundang-undangan. (Dr Haedar Nashir: 409-410: 2013).
Meski telah memetakan dasar-dasarnya, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana teknisnya. Bagaimana menyatukan umat Islam seluruh dunia dalam satu ‘wadah’ politik. Bagaimana dengan sistem pengangkatan khalifahnya, melalui perwakilan, syura’, atau dipilih melalui pemilu umat Islam sedunia.
Kemudian, jika dikatakan khalifah berhak menetapkan hukum syara’ dan konstitusi, di mana peran yudikatif dan legislatif. Ataukah khalifah merangkap tiga fungsi sekaligus: eksekutif, legislatif dan yudikatif. Kalau demikian, bukannya malah terjebak pada sistem totaliter?.
Belum lagi perbedaan yang akan timbul dalam penetapan hukum syara’. Bukankah yang berhak menetapkan hukum syara’ adalah ulama, bukan umara’ (pemimpin)? Kita tahu, Alquran dan Hadits sangat terbuka, kemungkinan terjadi perbedaan penafsiran. Ini bisa kita lihat dari banyaknya tafsir Alquran maupun hadits dalam literatur-literatur keilmuan umat Islam.
Tidak cukup sampai di situ, khusus di Indonesia yang terdiri atas beragam suku dan agama ini, bagaimana hak-hak politik warga non muslim, yang juga punya hak yang sama atas negeri ini. Apakah hak politik mereka diakui, atau malah dikebiri. Kalaupun diakui, sejauh mana?.
Selain itu, saat ini kita juga belum melihat satupun negara di dunia ini yang menerapkannya. Di Timur Tengah sendiri justeru banyak negara yang beralih ke sistem demokrasi. Alih-alih berkutat pada bentuk (form), bukankah lebih baik mengacu pada nilai-nilai dasar agama.
Ajaran Islam bisa dibedakan antara nilai dasar dan kerangka operasionalnya. Nilai dasar adalah nilai-nilai yang mendasari kehidupan masyarakat, yang intinya adalah (menurut Dr. Muhammad Abu Zahrah yang diperkuat oleh ahil-ahli lain) keadilan, persamaan, dan demokrasi (syura). (Gusdur dalam Islam Nusatara: 2015).
Prinsip operasionalisasi nilai-nilai dasar ini sudah dirumuskan dalam kaidah fikih tasyaraful imam ‘ala ra’iyatihi manuthun bil mashlahah’ (Tindakan pemegang kekuasaan rakyat ditentukan oleh kemaslahatan dan kesejahteraan bagi rakyat).
Dengan bahasa sekarang, harus dijunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, keadilan sosial dan persamaan di muka undang-undang. Jadi, Islam mengakomodir kenyataan-kenyataan yang ada, sepanjang membantu atau mendukung kemaslahatan rakyat. Prinsip ini harus mewarnai segala wujud, baik bentuk kelembagaan maupun hukum. Wallahu a’lam bi shawab! (Kiram Akbar)