eQuator.co.id – Jakarta-RK. Majelis Ulama Indonesia (MUI) meluruskan tudingan bahwa fatwa haram penggunaan atribut nonmuslim bagi umat Islam memicu masalah di masyarakat. Khususnya menjadi pemicu aksi sweeping oleh sejumlah organisasi massa (ormas). MUI justru berharap fatwa ini jadi rujukan pembuatan produk hukum atau peraturan positif.
Ketua Umum MUI Ma’ruf Amin mengatakan perlu segera menanggapi pandangan publik terhadap fatwa itu yang sudah tidak proporsional. ’’Fatwa ini untuk umat Islam. Fatwa ini tidak berpotensi menimbulkan polemik dan tidak perlu dikoreksi,’’ katanya di kantor MUI, Jakarta Pusat, kemarin (20/12).
Ma’ruf menjelaskan potensi polemik justru muncul dari orang atau pihak yang memaksakan umat muslim untuk mengenakan atribut Kristen atau agama selain Islam lainnya. Misalnya pemilik hotel, restoran, mal, dan sejenisnya. Menurut kiai asal Tangerang itu, selama umat agama lain atau pemberi kerja bisa menjaga toleransi, fatwa MUI itu tidak akan menimbulkan masalah.
’’Yang tidak bisa menjaga kebhinekaan itu MUI atau pihak yang memaksakan umat Islam mengenakan atribut nonmuslim?’’ tandasnya.
Meskipun begitu, Ma’ruf sama sekali tidak mentoleransi adanya aksi sweeping atau main hakim sendiri. Dia mengatakan penertiban tetap harus dilakukan oleh aparat penegak hukum.
Ma’ruf menjelaskan MUI pusat, provinsi, kabupaten, dan kota akan membuka posko pengaduan terkait fatwa itu. Umat Islam yang merasa dipaksa menggunakan atribut nonmuslim, berhak melapor ke MUI. Kemudian MUI akan meneruskan laporan itu ke pihak terkait. Seperti ke dinas ketenagakerjaan dan yang lainnya.
Ulama berusia 73 tahun itu menjelaskan selama ini pengaduan ke MUI terkait pemaksaan menggunakan atribut sangat banyak. Selama itu pula MUI hanya mengeluarkan himbauan-himbauan. Namun akhir tahun ini MUI mengeluarkan fatwa.
’’MUI tidak ingin dikatakan hanya summum bukmun umyun (tuli, bisu, buta, red),’’ tandasnya.
MUI berharap fatwa haram mengenakan atribut nonmuslim itu bisa dijadikan landasan atau rujukan hukum atau peraturan positif. Menurut dia sudah tidak terhitung fatwa MUI yang akhirnya menjadi landasan hukum formal.
Contohnya adalah fatwa keuangan syari’ah menjadi acuan perbankan syariah. Kemudian juga fatwa soal imunisasi, vaksin meningitis haji, bahkan praktek menggandakan uang ala Dimas Kanjeng. Kemudian aparat penegak hukum menindak Gafatar dan aliran-aliran menyimpang lain juga berlandaskan fatwa MUI.
’’Fatwa MUI itu memang bukan hukum positif. Tetapi bukan berarti tidak dijalankan,’’ pungkasnya.
Sementara itu, Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian menegaskan bahwa pihaknya melarang keras ormas apapun untuk melakukan sweeping terhadap pihak lain atas dasar fatwa MUI Nomor 56 Tahun 2016 tersebut. Dia mengingatkan bahwa ormas bukanlah aparat penegak hukum yang dapat melakukan pembubaran paksa atau penyitaan.
“Kepada rekan-rekan ormas Islam, saya ingatkan rekan-rekan bukan penegak hukum. Penegak hukum di Indonesia sudah jelas. ada Polri, PPNS, Satpol PP untuk Perda, dan unsur lain seperti Kejaksaan dan KPK, itu sudah jelas,” kata Tito usai mengikuti rapat koordinasi di Kemenkopolhukam, Jakarta Pusat, kemarin.
Atas hal itu, dia meminta agar anggotanya jangan pernah ragu untuk menindak ormas yang terbukti melakukan main hakin sendiri dengan kedok sosialisasi fatwa MUI. “Sekali lagi kepada seluruh jajaran Polri saya minta jangan ragu. Kalau ada yang lakukan sweeping dengan aksi anarkistis, tangkap! Jelas itu. Yang akan berkumpul untuk alasan sosialisasi, bubarkan!” tegasnya.
Dia juga menjelaskan bahwa fatwa MUI bukan bagian dari hukum positif yang dapat mengikat seluruh warga negara Indonesia. Terkait hal itu, Tito juga menyatakan bahwa dirinya telah memberikan teguran keras kepada Kapolres Bekasi Kota dan Kapolres Kulonprogo karena membuat Surat Edaran (SE) yang mengacu kepada fatwa MUI terkait pengharaman pemakaian atribut nonmuslim bagi muslim. Menurutnya, SE tersebut sangat berlebihan.
“Fatwa MUI bukan hukum positif karena bukan otoritas negara. Hukum positif itu Undang-Undang, Perpres, Perkap, Permen. Jadi fatwa itu sifatnya hanya koordinasi saja,” kata dia.
Tito mengatakan bahwa fatwa yang dikeluarkan oleh MUI beberapa di antaranya dapat menimbulkan dampak yang luas di tengah masyarakat. Salah satunya yakni fatwa tentang pelarangan penggunaan atribut nonmuslim bagi muslim. Dampaknya dapat berupa keresahan di kalangan masyarakat.
Karena itu, Tito berharap agar lembaga yang dipimpin oleh Ma’ruf Amin tersebut melakukan koordinasi dengan Kepolisian sebelum mengeluarkan fatwa yang berpotensi menimbulkan keresahan di masyarakat. “Jangan dikeluarkan dulu baru dikoordinasikan kepada kami. Seolah-olah kami yang minta. Tolong komunikasikan dulu. Contohnya fatwa soal atribut Natal. Atribut itu apa saja? Tidak jelas. Nanti akan ada yang bertindak sendiri tanpa kejelasan juga,” tandasnya.
Polisi dengan empat bintang di pundaknya tersebut menyatakan, Polri siap membantu MUI untuk mensosialisasikan fatwa yang dikeluarkan tanpa perlu ada aksi sweeping atau pemaksaan dari pihak lain. “Kami akan lihat, kalau itu fatwanya positif akan kami bantu mensosialisasikan. Misal mengumpulkan para pemilik mal agar jangan memaksa karyawannya menggunakan atribut yang sensitif keagamaan dengan ancaman. Ada pasal sendiri untuk itu Pasal 335 ayat 2 KUHP. Barangsiapa menyuruh dengan ancaman kekerasan dapat dikenakan pidana,” imbuh Tito.
Pernyataan Kapolri tersebut diamini Menko Polhukam Jenderal TNI (Pur) Wiranto. Dia berharap agar MUI mau melibatkan lebih banyak persepsi dalam proses penggodokan fatwanya. Selama ini, Wiranto menilai bahwa fatwa-fatwa dari MUI hanya bersumber dari satu persepsi.
“Sehingga fatwa itu tidak meresahkan masyarakat yang pada saat ini sedang kita bangun toleransi antar-umat beragama, antar-suku, dan antar-ras,” kata Wiranto.
Dia juga menghimbau agar masyarakat ikut menjaga ketertiban dan keamanan menjelang Natal dan Tahun Baru. Termasuk pada saat menjelang arus mudik liburan nanti.
“Saya sudah meminta laporan dari pihak Polri, yang merancang suatu Operasi Lilin yang cukup komprehensif dan dapat kita percaya untuk mengamankan segala aktivitas dalam perayaan Natal dan Tahun Baru,” tambahnya.
Sementara itu, Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin memiliki pandangan sendiri terkait fatwa haram penggunaan atribut natal ini. Menurutnya, fatwa merupakan pendapat hukum yang dikeluarkan oleh ahli terhadap apa yang ditanyakan pihak yang meminta. Dengan begitu, fatwa hanya mengikat pada pihak yang meminta. Tidak bersifat universal. Sehingga, bagi mereka yang tidak meminta fatwa, tidak terikat pada fatwa tersebut.
”Berpulang pada umat islam, apakah mengikuti ikuti fatwa atau tidak. Fatwa kan bukan keputusan pengadilan. Ada baiknya ditanyakan pada yang lebih ahli,” ujarnya.
Disinggung soal sweeping yang dilakukan ormas tertentu terhadap penggunaan atribut natal, Lukman menuturkan, kegiatan ini harus dilihat dulu konteksnya. Tapi, bila menyangkut upaya pemaksaan yang dibarengi dengan ancaman atau kekerasan maka tidak dibenarkan. Dia menegaskan, yang boleh melakukan sweeping adalah aparat yang memiliki surat perintah.
”Kalau satu ormas diperbolehkan maka yang lain akan mengikuti. Kalau begitu yang ada adalah tindakan anarkis,” tegas politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu.
Hal senada disampaikan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti. ’’Sweeping itu kan perbuatan main hakim sendiri yang di dalam negara hukum tidak boleh dibiarkan terus terjadi,’’ terangnya kemarin. Muhammadiyah, tuturnya, memiliki cara yang berbeda dalam menyampaikan pendapat. Juga, mendukung setiap penegakan hukum yang dilakukan aparat.
Mengenai Fatwa MUI, menurut Mu’ti merupakan fatwa tersendiri yang tidak mengikat Muhammadiyah. ’’Tidak juga mengikat negara karena dia itu bukan lembaga negara,’’ lanjutnya. masyarakat tidak bisa menggunakan fatwa MUI sebagai alasan untuk bertindak main hakim sendiri.
Seharusnya, kehidupan keberagaman di Indonesia saat ini lebih dewasa. Maka, semua pihak harus menerima perbedaan dengan lapang dada tanpa memaksakan kehendak. Dia mengingatkan, fatwa bukan merupakan satu keputusan hukum yang mengikat negara dan seluruh umat Islam.
Muhammadiyah sendiri tidak mengeluarkan fatwa apapun berkaitan dengan atribut natal sebagaimana MUI. ’’Itu sudah sesuatu yang lama terjadi dan menjadi urusan yang (sifatnya) bagimu agamamu bagiku agamaku,’’ tambahnya. Bertoleransi tidak berarti mencampuradukkan ajaran agama. Melainkan, menghormati perbedaan keyakinan.
Ketegangan antara Polri dan MUI terkait fatwa haram bagi umat muslim yang mengenakan atribut Natal dipungkasi dengan kunjungan Ketua MUI Ma’ruf Amin ke rumah dinas Kapolri di kawasan Blok M tadi malam selepas Magrib. Mereka makan malam bersama dengan hidangan utama sate.
Setelah itu, keduanya memberikan keterangan pers terkait dampak fatwa MUI di kalangan masyarakat. Tito menegaskan, sosialisasi fatwa MUI semestinya dilakukan dengan cara preventif. Sosialisasi itu mestinya diinisiatori MUI cabang di setiap daerah. ”Lead-nya itu MUI cabang, dengan mengundang Polri dan TNI,” ungkapnya.
Ma’ruf Amin juga berharap pemerintah daerah bersama penegak hukum, terutama Polri bersama-sama dengan MUI cabang untuk mensosialisasikan fatwa tersebut. Dia menegaskan, penertiban hanya boleh dilakukan pihak pemerintah, bukan ormas seperti yang terjadi belakangan. ”MUI secara tegas tidak membenarkan adanya sweeping ormas,” jelasnya. (Jawa Pos/JPG)