Sikap Ilmiah

Oleh: Joko Intarto

eQuator.co.id – Kayu bajakah mendadak popular. Melebihi dua siswa SMA asal Palangkara yang meneliti kayu itu sebagai obat kanker.

Dalam hitungan hari sejak dua remaja itu dinyatakan sebagai pemenang lomba di forum ilmiah tingkat dunia, bermunculan aneka iklan tentang kayu bajakah.

Ada yang menjual kayu apa adanya. Ada yang menjual dalam bentuk minuman dengan nama teh bajakah. Campuran air rebusan daun teh dengan air rebusan kayu bajakah.

Kreatif. Tapi mencemaskan. Tepatnya membahayakan.

Sebagai obat kanker, kayu bajakan berarti mengandung senyawa tertentu yang bisa dibilang ‘keras’ karena mampu membunuh sel kanker.

Tanpa pengetahuan farmakologi yang memadai, bagaimana memastikan takarannya sudah pas sebagai obat? Berapa dosis yang aman?

Coba baca artikel-artikel tentang khasiat tanaman obat tradisional di berbagai buku dan situs internet. Bisa dipastikan seluruhnya tidak berbasis riset ilmiah.

Cara membuat obatnya sangat sederhana. Misalnya: rebus tujuh lembar daun dengan dua gelas air hingga menjadi segelas. Minum air rebusan tiga gelas sehari.

Tidak ada dukungan data penelitian seperti apa saja kandungan senyawa yang ada pada daun itu? Apakah semua kandungan senyawanya bermanfaat? Mengapa harus tujuh lembar? Mengapa tidak tiga lembar saja? Bagaimana efek negatif terhadap penderita komplikasi?

Ingat obat yang diminum dengan dosis melebihi batas bisa menimbulkan efek samping yang berbahaya. Bahkan bisa merengut nyawa.

Apalagi kayu bajakah ternyata ada beberapa jenis. Masing-masing ada faedahnya sendiri. Bagaimana cara mengetahui teh bajakah itu diproduksi dari kayu bajakah yang tepat dan asli?

Itulah pentingnya riset ilmiah. Itulah gunanya standarisasi industri dalam produksi obat.

Indonesia memiliki kekayaan alam berupa flora yang berkhasiat sebagai bahan obat. Sayangnya Indonesia lemah di bidang riset ilmiah.

Lemahnya riset ilmiah bisa dilihat dari per bandingkan antara jumlah doktor dan guru besar dengan jumlah publikasi ilmiahnya. Menurut data resmi, ada 32 ribu doktor dan profesor di Indonesia saat ini. Tetapi jumlah jurnal yang terbit hanya 9 ribu setahun.

Berarti ada 23 ribu doktor dan profesor yang tidak menulis jurnal setiap tahunnya. Sungguh menyedihkan. Padahal doktor dan profesor itu punya kewajiban menerbitkan jurnal ilmiah.

Dari doktor dan profesor yang menulis jurnal, beberapa di antaranya ketahuan melakukan plagiasi. Akibatnya: mereka terkena sanksi. Gelarnya terancam.

Prestasi dua pelajar SMA Palangkaraya itu boleh jadi sebuah pesan bagi para doktor dan guru besar agar Istiqamah dengan sikap ilmiah. Mungkin tidak penting bagi yang berembel-embel honoris causa. (jto)

 

*Redaktur tamu Rakyat Kalbar