Sharing Economy

Oleh: Joko Intarto*

eQuator.co.id – Artikel zakat fitri yang saya tulis pekan lalu mendapat tanggapan luas. Semua setuju. Semua sepakat dengan gagasan membeli beras petani dalam negeri untuk menunaikan zakat fitri.

Pernahkah kita membayangkan, bagaimana besarnya dampak ekonomi zakat fitri yang ditunaikan dalam bentuk bahan makanan pokok? Katakanlah berwujud beras.

Untuk memenuhi kebutuhan zakat fitri 200 juta umat Islam, petani harus menyediakan beras sebanyak 500.000 ton. Beras sebanyak itu bisa dihasilkan dari 100 ribu hektar sawah.

Kalau setiap petani memiliki 2 hektar, zakat fitri menggerakkan ekonomi 50 ribu kepala keluarga petani. Andaikata setiap 2 hektar sawah dikerjakan 5 orang, zakat fitri memberi pekerjaan kepada 250 ribu orang buruh tani.

Bila semua orang yang terlibat dalam penyediaan beras memiliki 5 orang tanggungan keluarga, zakat fitri menghidupi 1,5 juta orang. Luar biasa. Itu baru jumlah penyedianya. Belum jumlah penerimanya.

Menurut data, jumlah penduduk miskin sekitar 30 juta orang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 5 juta diantaranya diperkirakan berstatus sangat-sangat miskin. Mereka tidak mungkin lagi ditingkatkan taraf ekonominya. Mereka adalah orang-orang yang sudah lanjut usia, tidak memiliki anak atau saudara, dan hidup sebatang kara.

Bila dikumpulkan, zakat fitri dari 200 juta kaum muslimin Indonesia akan menghasilkan beras sebanyak 500.000 ton. Kalau beras itu disalurkan kepada 30 juta penduduk miskin, setiap orang akan memperoleh 16,6 Kilogram.

Begitulah mata rantai ekonomi. Dari zakat fitri, yang hanya setahun sekali, begitu banyak yang kebagian rezeki. Tapi manfaat besar itu tidak akan dirasakan para petani di dalam negeri, kalau zakat fitri menggunakan beras impor dari luar negeri.

Petani domestik hanya bisa gigit jari. Sementara petani asing yang ‘ketawa-ketiwi’.

Tanpa disadari, zakat fitri ternyata telah menciptakan mekanisme ekonomi yang unik. Kewajiban berzakat fitri dengan bahan makanan pokok –bukan uang– menghasilkan multiple effect yang besar sekali. Zakat fitri telah menciptakan mekanisme dalam sharing economy.

Pertanyaan selanjutnya, apakah menunaikan zakat fitri harus dengan beras? Apa tidak bisa dengan uang yang lebih praktis? Atau pakai e-money. Tanpa uang fisik. Bisa ditransfer pakai aplikasi m-banking atau e-bangking. Terutama bagi yang tinggal di kota dan di mancanegara?

Dari berbagai referensi, mayoritas ulama berpendapat zakat fitri tidak ditunaikan dengan uang. Solusinya: amil zakat yang menerima zakat fitri dalam bentuk uang agar mengonversi uang tersebut menjadi beras atau bahan makanan pokok lainnya sebelum diserahkan kepada mustahik.

Dengan solusi itu, semua orang memiliki kemudahan dalam berzakat fitri. Silakan tunaikan zakat fitri melalui lembaga amil zakat yang Anda sukai melalui ATM, m-banking, e-banking, aplikasi market place, dan online shop.

Insya Allah, amil yang Anda percayai akan membagikan zakat fitri Anda dalam bentuk beras atau makan pokok lainnya. Tentu saja dari hasil panen petani dalam negeri. Apalagi, semua lembaga amil zakat saat ini telah memiliki program pemberdayaan petani melalui desa-desa binaan.

Lazismu, lembaga zakat di bawah organisasi Muhammadiyah, misalnya, menargetkan punya desa binaan di setiap provinsi dan kabupaten. Selain menghasilkan produk pertanian, program pemberdayaan juga menghasilkan produk peternakan seperti telur, ikan dan daging.

Demikian pula lembaga amil zakat di bawah organisasi Nahdlatul Ulama, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Persatuan Islam, dan Hidayatullah.

Selamat menunaikan ibadah shaum Ramadan. Selamat menunaikan zakat fitri yang membahagiakan mustahik. Dan memberdayakan petani di negeri sendiri. (jto)

 

*admin www.disway.id,

Wakil Sekretaris BP Lazismu PP Muhammadiyah