Dalam pemeriksaan tahap pertama selama tiga hari (17, 18, 19 Oktober 2016) di Kejaksaan Tinggi Jatim, saya ditanya lebih dari 100 pertanyaan.
Soal melepas aset perusda PT PWU Jatim tanpa persetujuan DPRD. Penjelasan saya: Sebenarnya saya sudah berkirim surat ke DPRD Jatim (tahun 2002, 14 tahun yang lalu) untuk minta penegasan apakah PT PWU harus tunduk pada perda atau pada UU Perseroan Terbatas (PT). Kalau tunduk pada perda, PT PWU memang harus minta izin DPRD. Kalau tunduk pada UU PT, maka izinnya dari rapat umum pemegang saham (RUPS) PT PWU.
Penegasan itu saya minta karena RUPS sebenarnya sudah menyetujui pelepasan sebagian aset perusahaan sebagai upaya radikal dalam memajukan perusahaan. Tapi, masih ada saja suara-suara yang tetap mewajibkan PT PWU untuk mendapat persetujuan DPRD. Saya tidak percaya suara-suara itu sekadar sebagai sinyal untuk mau ’’nego’’ dengan DPRD. Saya tunggu saja jawaban dari DPRD Jatim. Saya juga tidak melakukan lobi-lobi sedikit pun.
Akhirnya, sekian bulan kemudian, keluarlah surat jawaban dari pimpinan DPRD Jatim. Jawaban tersebut dikirim ke gubernur Jatim karena tidak semestinya DPRD berkirim surat ke PT PWU. Gubernurlah yang lantas meneruskan surat pimpinan DPRD tersebut. Isinya: menegaskan bahwa PT PWU tunduk pada UU PT. Gubernur juga menegaskan, dengan demikian keputusan RUPS yang menyetujui pelepasan aset bisa dilaksanakan. Tidak ditanyakan mengapa aset-aset tersebut harus dilepas.
Aset Dahlan – 2
Mengapa sebagian aset PT PWU harus dilepas? Itu bermula di tahun 1999. Suasana perekonomian dan politik nasional saat itu masih dalam suasana krisis moneter 1998. Pemda Jatim ingin menyehatkan perusahaan daerahnya yang setiap tahun ikut menggerogoti APBD. Pemda menunjuk konsultan dari Jakarta. Rekomendasi konsultan, antara lain, bentuk perusahaan daerah (PD) harus diubah menjadi PT. Agar prosedur pengambilan keputusan bisa lebih sederhana. Harus dicari juga pimpinan puncak yang mampu memimpin perusahaan dengan pikiran bisnis. Dan harus dilakukan restrukturisasi aset.
Gubernur lantas menyatukan perusahaan-perusahaan daerah Jatim menjadi satu perseroan terbatas: PT PWU Jatim. Gubernur lalu mencari sosok baru yang dianggap mampu dan punya latar belakang bisnis. Saya tidak tahu berapa orang yang diincar, tapi yang utama adalah saya. Boleh dikata, PT PWU adalah gabungan perusahaan-perusahaan sakit. Kondisinya umumnya sudah sangat uzur. Bidang bisnisnya tergolong sunset.
Perusahaan daerah Jatim memang sudah sangat renta. Peninggalan zaman Belanda. Ada pabrik karet, pabrik keramik, pabrik batu tahan api, pabrik genting, pabrik kain kasa, pabrik minuman, pabrik kulit, pabrik minyak kelapa, pabrik es, dan banyak lagi. Pabrik minumannya, misalnya, sehari hanya memproduksi beberapa botol sirup. Setiap tahun pemda harus menggerojokkan dana APBD untuk menutup kesulitan usaha. Bukan usaha yang menyetor dana ke APBD.
Akhirnya, saya penuhi permintaan gubernur tersebut. Jadilah saya Dirut PT PWU. Di samping tetap menjadi CEO Jawa Pos. Sebagai bos baru, saya harus melakukan turn around yang radikal. Saya tahu risikonya. Untuk jabatan itu, saya hanya mengajukan syarat: tidak mau digaji, tidak mau diberi fasilitas, dan tidak mau ada bantuan uang dari APBD. Untuk hidup saya, gaji dan fasilitas saya sudah cukup dari jabatan saya sebagai CEO Jawa Pos. Untuk modal membangkitkan perusahaan, biarlah direksi PWU yang mengupayakan dari potensi yang ada di perusahaan.
Saya mengikuti dan setuju saran konsultan. Yakni, harus melakukan restrukturisasi aset. Saya baca laporan yang sangat tebal dari konsultan itu. Saya lihat nama konsultannya: Cacuk Sudarijanto. Salah satu tokoh manajemen terkemuka Indonesia saat itu. Yang pernah menjadi CEO Telkom yang fenomenal, yang melakukan turn around PT Telkom dengan sukses.
Aset Dahlan – 3
Mengapa konsultan merekomendasikan restrukturisasi aset? Dan mengapa saya pun berpendapat sama? Sebagai peninggalan Belanda, tidak semua aset PT PWU saat itu bermanfaat untuk perusahaan. Banyak yang justru menjadi beban. Maka, saya minta kepada staf PT PWU untuk mengelompokkan aset-aset tersebut. Mana yang produktif dan mana yang tidak produktif. Saya juga minta dikelompokkan berdasar statusnya: A. Aset yang tanahnya ada, yang surat-suratnya ada, yang dikuasai perusahaan; B. Aset yang tanahnya ada, surat-suratnya ada, tapi diduduki pihak lain; C. Aset yang tanahnya ada, surat-suratnya mati, tapi dikuasai perusahaan; D. Aset yang tanahnya ada, surat-suratnya mati, dan diduduki pihak lain; E. Aset yang tanahnya tidak ada dan suratnya pun tidak ada. Kelompok yang terakhir itu seperti guyon, tapi nyatanya ada.
Saya masih minta pengelompokan lain berdasar mana yang dulu dijaminkan kepada bank dan mana yang tidak. Ini karena pinjaman bank di masa lalu itu semua dalam kondisi macet. Aset-aset jaminan tersebut harus disita bank. PWU tidak mungkin melunasinya. Tidak punya uang. Tapi, saya tidak mau aset-aset yang strategis disita bank. Harus diselamatkan. Saya minta diadakan negosiasi dengan bank. Aset-aset strategis yang akan disita diganti dengan aset-aset lain. Baru kemudian disita. Bank setuju, asal segera ada penyelesaian. Dengan penyitaan itu, bank tertolong. Banknya Pemda Jatim juga. Penilaian dari Bank Indonesia juga membaik. PWU pun tidak lagi di-blacklist oleh bank. Tapi, aset strategisnya selamat dari penyitaan. Dari 30 aset yang dilepas, sebagian besar adalah yang karena disita bank tersebut.
Aset Dahlan – 4
Meskipun melepas aset, saya punya kebijakan untuk membeli aset. Uang hasil penjualan aset harus untuk membeli aset. Itulah yang berbeda dengan kebijakan jual aset di masa sebelum saya. Saya tidak tahu berapa persisnya aset yang sudah dilepas di masa lalu. Banyak sekali.
Banyak juga aset yang diimbrengkan jadi setoran modal untuk kerja sama dengan swasta. Yang seperti ini terbukti akhirnya aset itu ”tertelan” dalam kerja sama tersebut. Saya tidak mau seperti itu. Saya mau konsolidasi aset. Yakni melepas aset yang kurang produktif untuk dibelikan aset yang lebih punya masa depan.
Maka pelepasan aset di zaman saya adalah pelepasan aset dengan tujuan untuk memajukan perusahaan. Saya tidak mau melepaskan aset model imbreng. Manajemen perusahaan daerah pasti kalah dari partnernya. Karena itu, uang hasil penjualan aset tidak boleh masuk kas umum perusahaan. Harus masuk perusahaan untuk pos khusus.
Dari pengalaman yang saya dengar dari masa dulu, hasil penjualan aset yang uangnya masuk ke kas umum uangnya lama-lama akan habis. Terpakai untuk keperluan operasional perusahaan. Perusahaan itu, di saat-saat tertentu, pasti akan mengalami kesulitan cash flow. Kalau terlihat ada uang menganggur, pasti akan digunakan. Saya tidak mau seperti itu. Sesulit apa pun cash flow perusahaan, PT PWU tidak boleh menyentuh uang hasil penjualan aset tersebut.
Tidak terlihatnya ada uang masuk dari penjualan aset inilah yang bisa menimbulkan salah sangka. Bisa dikira uang penjualan aset tersebut untuk bancakan. Tapi, bagi orang yang jeli membaca neraca keuangan perusahaan, tidak perlu ada salah sangka. Terutama kalau membaca kolom ”kas dan setara kas” dalam neraca itu. Di ”kas dan setara kas” dalam neraca itulah, uang hasil penjualan aset tersebut ”disembunyikan”. Aman-sentosa. Dari situlah uang untuk membeli aset baru diambil.
Kini PWU punya aset tanah strategis di Surabaya seluas 16 ha, yang antara lain dibeli dari uang tersebut. Di samping itu, masih ada sisa dananya. Sebesar Rp 24 miliar. Aman. Direksi setelah saya pun tidak menggunakannya. Aman-sentosa.
Aset Dahlan – 5
Sosok direktur utama mungkin bisa menimbulkan kesan sangat berkuasa di perusahaan. Termasuk berkuasa memerintahkan keluarnya uang. Memang ada yang begitu. Tapi, ada juga Dirut yang kalah kuasa dengan pemilik perusahaan. Masih ada lagi jenis Dirut yang lain. Yakni, yang justru tidak mau melibatkan diri dalam proses di keuangan.
Saya tergolong Dirut yang terakhir itu. Tidak mau mengurus manajemen keuangan. Sudah sejak di Jawa Pos begitu. Begitu juga di PT PWU. Dan juga kemudian di PT PLN. Mengapa? Saya ini menyadari sesadar-sadarnya bahwa background saya adalah wartawan. Background sebelum itu adalah aktivis kampus. Saya tidak pernah mendalami masalah keuangan. Tidak ahli keuangan. Saya hanya sebatas mengerti keuangan. Karena itu, saya tidak pernah mau ikut menandatangani cheque, tidak pernah mau membubuhkan acc di proses pencairan uang, dan selalu minta bagian atau direktorat keuangan untuk mandiri dari intervensi, termasuk intervensi dari atasan.
Memang saya kadang membubuhkan disposisi di proses pengajuan dokumen permintaan uang. Tapi, itu sebatas disposisi agar diproses. Bukan disposisi agar dicairkan. Untuk pencairan dana (atau pengeluaran cek), harus ada satu proses berikutnya: verifikasi dokumen, kebenarannya, prioritas atau bukan, ada dana atau tidak, dan seterusnya. Semua proses ini ada di direktorat keuangan. Baru uang bisa keluar atau ditolak. Seandainya uang kemudian keluar, tugas bagian keuangan juga untuk menagih dokumen administrasi pertanggungjawabannya. Saya tidak pernah mau melibatkan diri di proses ini.
Dirut yang seperti itu kadang harus malu. Kadang diejek: Dirut apa itu kok tidak berkuasa. Tapi, saya memang memilih tidak terlihat berkuasa. Tidak apa-apa. Di PWU konsentrasi saya penuh untuk bidang yang paling sulit: bagaimana pabrik yang bobrok-bobrok itu bisa diperbaiki. Tidak mudah. Memerlukan ide, kiat, kerja keras, dan kontrol yang terus-menerus. Siang dan malam. Hampir setiap malam, setelah bekerja di Jawa Pos, saya keliling pabrik-pabrik milik PT PWU. Pabrik karet, pabrik kulit, pabrik genting, pabrik es, pabrik kain kasa, dan banyak lagi. Yang semuanya sulit: mesinnya kuno, tenaganya menua, fisik pabriknya reyot, dan produksinya tidak bisa bersaing.
Pabrik karet di Ngagel, misalnya, kumuhnya bukan main. Keuangannya begitu sulit. Karyawannya begitu banyak. Kualitas produksinya begitu menyedihkan. Tengah malam, jam 01.00, saya ke sana. Sedih sekali. Gelap. Saat tengah malam itulah saya menemukan ide: akan saya larang pabrik itu memproduksi apa pun kecuali satu jenis produk saja.
Banyaknya jenis produksi saat itu bikin ruwet saja. Produksi karet gelang, misalnya, terlalu njelimet dan uangnya kecil. Saya panggil manajemen. Tidak boleh lagi memproduksi macam-macam. Satu saja. Anda pilih sendiri. Biar fokus. Akhirnya mereka memilih hanya memproduksi karet untuk bumper sandaran kapal di pelabuhan. ”Bagus,” kata saya. Hentikan produksi yang berpuluh-puluh macam karet itu. Fokuslah di satu produk itu. Barangnya tidak rumit, besar-besar, harga per satuannya tinggi, pesaingnya sedikit.
Memang karyawan demo karena banyak yang menganggur. Tapi, itulah tonggak kebangkitan pabrik karet Ngagel. Tahun berikutnya saya izinkan menambah satu jenis produk lagi: lapisan karet untuk pipa tambang emas. Sekarang pabrik karet yang reyot tersebut ditinggalkan. Bangun pabrik karet baru yang modern. Bahkan menjadi satu-satunya pabrik steel conveyor belt di Indonesia. Bisa mengurangi ketergantungan pada impor.
Hal-hal seperti itulah yang harus lebih saya perhatikan. Untuk mencari uang. Bukan mengurus uang. Mengurus uang itu, untuk perusahaan sekelas PWU waktu itu, sangat gampang. Tidak perlu saya. Cari saja orang yang hati-hati, teliti, njelimet, cerewet, dan jujur. Di PWU saya merasa sudah punya orang yang seperti itu. Seperti halnya pabrik karet, pabrik kulit yang di A. Yani juga sulit. Berbau, kumuh, dan reyot. Saya putuskan untuk ditutup. Pindah ke Pasuruan. Jadi satu dengan pabrik kulit yang ada di sana. Yang kondisinya juga ampun-ampun.
Lokasi aset yang strategis bekas pabrik kulit tersebut lantas kami bangun gedung Jatim Expo yang gagah itu. Seandainya saya ikut mengurus keuangan, saya tidak akan mampu memikirkan semua itu. Saya memang biasa lebih menekuni bidang ”mencari uang” untuk kemajuan perusahaan daripada ”mengatur uang”-nya. (*)