eQuator.co.id – Uang benar-benar tidak punya nasionalisme. Ini terbukti dua hari lalu: Xiaomi batal go public di Shanghai.
Alasannya sopan: tidak batal, hanya ditunda. Alasan tambahannya: go public dulu di Hongkong, baru di Shanghai.
Xiaomi kini sudah menjadi perusahaan handphone terbesar keempat di dunia. Setelah iPhone, Huawei, dan Samsung. Atau terbesar ketiga di Tiongkok: setelah Huawei dan Oppo.
Nama besarnya telah lama ditunggu: kapan go public. Pasti akan heboh. Pasti akan jadi bintang di pasar modal.
Tapi Xiaomi jual mahal. Tidak kepaha…eh…kesusu. Atau modalnya memang kuat. Dia kuatkan dulu perusahaan.
Memang ada rencana go public. Tapi tunggu dulu. Sampai Xiaomi benar-benar seksi dulu. Seperti sekarang ini.
Begitu memutuskan go public, tidak tanggung-tanggung: ingin mendapatkan uang dari pasar modal sebesar Rp 140 triliun. Hanya pasar modal Hongkong, Tokyo, London, atau New York, yang mampu mewadahi angka itu.
Maka Xiaomi memutuskan masuk pasar modal Hongkong. Sebuah pasar modal yang paling liberal di dunia.
Keputusan Xiaomi itu menggelisahkan pemerintah Tiongkok: kok perusahaan teknologi Tiongkok pada go public di luar Tiongkok. Padahal Tiongkok lagi ingin berdiri paling depan. Di segala bidang. Terutama teknologi. Lebih khusus lagi di artificial intellegence.
Karena itu Maret lalu Tiongkok mengeluarkan jurus baru: China Depositary Receipt (CDR). Sebuah instrumen baru pasar modal. Yang di-copy dari America Depositary Reciept.
Tujuannya: agar perusahaan teknologi seperti Xiaomi mau go public di pasar modal Shanghai. Setidaknya untuk mencegah sebangsa Xiaomi lari ke luar negeri.
Depositary Reciept adalah sertifikat bank. Tapi banknya sudah harus go public di pasar modal utama dunia. Sertifikat itu bisa dibeli siapa saja. Sebagai alat untuk membeli saham perusahaan asing di negara lain. Yang mungkin negara itu melarang orang asing membeli sahamnya.
Maka bank itulah yang mewakili pembeli sertifikat. Termasuk mewakili hak suara. Dalam pemungutan suara di rapat umum pemegang saham perusahaan.
Xiaomi tertarik dengan instrumen baru itu. Sekaligus untuk menunjukkan nasionalisme Tiongkoknya.
Maka diputuskanlah: go public di dua pasar modal sekaligus. Dual listing. Di Hongkong dan Shanghai. Harapannya: investor asing tidak perlu takut beli saham lewat pasar modal Shanghai.
Tapi ada mendadak sontaknya. Dua hari lalu Xiaomi membatalkan putusannya itu. Tidak jadi masuk pasar modal Shanghai.
Cukup di Hongkong saja. Pasar modal pun geger. Tiongkok merasa sangat terpukul. Rayuannya lewat CDR gagal.
Ternyata Tiongkok belum siap mental. Terutama untuk berubah ‘iman’. Untuk benar-benar meliberalkan pasar modalnya.
Pertanda-pertandanya: pengurus pasar modal Shanghai memanggil Xiaomi. Rencananya, sesuai undangan, Selasa kemarin.
Akan ada 84 pertanyaan yang harus dijawab Xiaomi. Yang paling pokok: mengapa Xiaomi menyebut dirinya perusahaan teknologi, padahal 90 persenĀ penghasilannya dari jualan hardware handphone.
Pertanyaan ini bisa dianggap kekanak-kanakan. Menunjukkan ketidaksiapan pasar modal Shanghai. Terutama dalam memasuki dunia pasar modal yang bebas iman.
Di Hongkong tidak akan ada pertanyaan jenis itu. Semua diserahkan ke penilaian pasar. Salah pembeli sendiri kalau tidak mampu menganalisa.
Dampak pertanyaan seperti itu memang berat. Bagi Xiaomi. Tiba-tiba saja Xiaomi bisa dikategorikan perusahaan manufactur. Bukan perusahaan teknologi. Harga sahamnya bisa jatuh. PE-nya bisa amat kecil.
Tentu ada alasan mengapa ada pertanyaan seperti itu. Tapi nantilah saya jelaskan. Kapan-kapan.
Intinya: tidak ada nasionalisme-nasionalismean. Xiaomi langsung batal go public di Shanghai. Keputusan dibuat hari Senin. Agar tidak perlu memenuhi panggilan hari Selasa. (dis)