eQuator.co.id – Jakarta-RK. Pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) menyambut positif penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) final dari 1 persen menjadi 0,5 persen. Langkah itu bisa membuat UMKM lebih memiliki daya saing di tengah gempuran produk impor.
Hanya saja, menurut Ketua Bidang IKM Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Nina Tursina, meski mengapresiasi langkah pemerintah memangkas tarif PPh final, tetapi masih ada beberapa insentif yang diinginkan UMKM. Di antaranya penurunan suku bunga kredit.
“Yang paling menggangu adalah bunga bank yang masih amat tinggi. Bunga bank ada yang 6 persen, 7 persen, ada juga yang masih single digit tapi single digit-nya 9,9 persen. Kan hampir double digit kurang dikit,” urainya kemarin (23/6).
Masalah jaminan dalam mengajukan permohonan kredit juga masih menjadi kendala bagi UMKM. Sebab, selama ini jaminan kredit yang diminta perbankan nilainya masih 100 persen dari nilai pinjaman. Menurutnya, banyak UMKM yang kesulitan untuk memenuhi persyaratan tersebut.
“Kalau UMKM kecil ya jaminannya jangan 100 persen, tetapi berapa persenlah. Jadi bunga bank dan plafon kredit harus ditinjau kembali,” imbuhnya.
Apalagi, sekarang cukup sulit bagi UMKM untuk bersaing dengan gempuran produk impor. Sehingga jika tarif perpajakan maupun suku bunga bisa ditekan, harga produk UMKM bisa bersaing. Dia juga menekankan perlunya sosialisasi yang masif agar UMKM bisa memahami kebijakan maupun insentif yang diberikan pemerintah.
“Masih banyak UMKM yang belum paham dan belum bisa mengakses sistem dengan segala keterbatasannya. Ini harus diikuti dengan kebijakan-kebijakan dan sosialisasi, pendampingan, pelatihan, sehingga mereka bisa menjalankan usahanya dan aktif mengikuti kebijakan pemerintah,” urainya.
Penurunan tarif pajak juga diharapkan menjaring wajib pajak baru dari UMKM. Sebab, dengan adanya kelonggaran yang diberikan pemerintah dapat mendorong UMKM patuh membayar pajak.
“Jadi mereka termotivasi bahwa membayar pajak adalah sesuatu yang harus dilakukan oleh semua dunia usaha. Tapi tidak merasa dia terbebani sulit berat,” tambah Nina.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis Yustinus Prastowo mengatakan, ke depan perbaikan administrasi perpajakan harus menjamin kemudahan pemenuhan kewajiban perpajakan. Di samping itu, pemilahan wajib pajak juga berdasar tingkat kepatuhan dan risiko, serta mekanisme reward and penalty yang lebih adil dan transparan.
“Sehingga mendorong semakin banyak orang tergerak hatinya berkontribusi membiayai pembangunan melalui pajak,” timpalnya.
Sebelumnya, pada Jumat (21/6), pemerintah telah memberikan angin baik kepada para pengusaha UMKM. Permintaan mereka untuk menurunkan besaran tarif PPh final yang selama ini diberlakukan, disetujui. Dari 1 persen menjadi 0,5 persen.
Pemerintah meyakini kebijakan tersebut bisa memperbesar ruang fiskal para pelaku UMKM untuk mengembangkan usaha. Penurunan tarif tersebut tertuang dalam (PP) Nomor 23 Tahun 2018 tentang PPh atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
“Sudah saya tandatangani kemarin (Kamis, 21/6,red),” ujar Presiden Joko Widodo saat meluncurkan penurunan tarif itu di Jatim Expo Surabaya Jumat (22/6). PP tersebut menggantikan PP 46/2013 dan akan berlaku efektif per 1 Juli mendatang.
Dengan demikian, UMKM dengan omzet di bawah Rp 4,8 miliar per tahun hanya dibebani pajak 0,5 persen dari omzet per bulan. Pembayarannya pun dilakukan setiap bulan. Sebagai gambaran, bila bulan ini omzet seorang pelaku UMKM Rp 10 juta, maka dia dibebani PPh Rp 50 ribu. Sementara, ketika bulan berikutnya dia hanya mendapat omzet Rp 5 juta, maka nilai PPh-nya ikut turun menjadi Rp 25 ribu.
Selain menurunkan tarif, pengenaan PPh khusus UMKM itu diberi jangka waktu cukup lama sebelum diwajibkan membayar pajak secara normal. Untuk wajib pajak (WP) orang pribadi, maksimal tujuh tahun. Kemudian, untuk WB badan koperasi, firma, dan sejenisnya 4 tahun, sementara untuk badan usaha berbentuk Perseroan Terbatas 3 tahun.
Selebihnya, mereka akan dikenakan tarif pajak secara normal. Tidak lagi diberlakukan pajak khusus UMKM. Dalam kondisi normal, untuk WP orang pribadi pemilik badan usaha, tarif pajaknya 0,75 persen dari omzet per bulan. Sementara, tarif untuk badan usaha nilainya 25 persen dari laba bersih tahunan sebelum pajak.
Keputusan tersebut, lanjut Jokowi, merupakan tindak lanjut dari keberatan para pelaku UMKM atas tarif pajak yang diberlakukan. ”Ternyata banyak UMKM yang mengeluh kalau pengenaan PPh 1 persen itu terlalu berat,” ujar Presiden yang baru berulang tahun ke-57 itu.
Ketika ditanya berapa kesanggupannya, para pelaku UMKM menyatakan sanggup membayar bila tidak lebih dari 0,5 persen. Bahkan ada yang meminta tarif 0,25 persen.
Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan dalam memutuskan penurunan tarif tersebut. Pertama adalah pengurangan beban para pelaku UMKM. Harapannya, beban yang sudah dikurangi itu bisa digunakan untuk pengembangan usaha. Sehingga, pelaku UMKM bisa naik kelas dari level usaha mereka saat ini.
”Yang mikro bisa naik jadi kecil. Yang kecil naik menjadi menengah, dan yang menengah menjadi besar,” urainya.
Tidak hanya itu, PP 23/2018 juga diharapkan dapat mendorong pelaku UMKM agar lebih berperan aktif dalam kegiatan ekonomi formal. ”Karena penurunan tarif pajak ini bisa menjaga arus kas pelaku UMKM. mereka semakin banyak modal untuk mengembangkan usaha serta memperluas kesempatan untuk memperoleh akses terhadap dukungan finanisal,” ucap Jokowi.
Kemudian, diharapkan penurunan tarif tersebut bisa menarik lebih banyak wajib pajak dari kalangan UMKM. Sehingga, basis pajak yang dimiliki negara semakin luas. Bagaimana dengan dampaknya terhadap pendapatan negara? Presiden tidak menyebutkan secara rinci. Yang jelas, dia memastikan Ditjen Pajak sudah menghitung besaran potensi pendapatan pajak dari kalangan UMKM pascapemberlakuan tarif baru itu.
’’Kalkulasinya sudah lebih dari enam bulan, dan baru diputuskan kemarin,’’ tambahnya.
Senada, Menko Perekonomian Darmin Nasution mengakui bahwa selama ini kontribusi WP UMKM memang belum besar. Sebab, WP yang sadar untuk membayar pajak juga belum banyak.
”Tahun 2017 kontribusinya 2,2 persen dari total penerimaan PPh yang dibayar sendiri oleh WP,” terangnya. Baik WP orang pribadi maupun badan usaha.
Sedangkan, secara keseluruhan realisasi penerimaan pajak secara nasional mulai Januari-Mei 2018 mencapai Rp 484,50 triliun. Realisasi tersebut tumbuh 14,13 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
”Meskipun kontribusi penerimaan PPh UMKM relatif kecil, tapi trennya selalu positif sejak 2013 sampai sekarang,” katanya.
Dari 205 ribu pembayar pajak badan UMKM pada 2017, mayoritas merupakan WP yang membayar pajak antara Rp 1-10 juta. Sedangkan, dari 1,26 juta WP orang pribadi yang membayar pajak UMKM, mayoritas adalah mereka yang kena pajak di bawah Rp 1 juta (lihat grafis).
Darmin menambahkan, ada tujuh provinsi yang pada 2017 lalu pendapatan pajak UMKM-nya paling besar. Yakni, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Banten, Jawa Tengah, Sumatra Utara, dan Bali.
”Jawa Timur nomor 3, nomor 1 Jakarta tentu saja,” tambahnya. Berbagai kemudahan akses membayar pajak membuat para pelaku UMKM semakin mudah membayar pajak. (Jawa Pos/JPG)