Revolusi mental itu tengah terjadi di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Tidak di tengah kota kabupaten. Tapi di desa-desa yang jauh di pedalaman. Di desa yang jalannya belum beraspal. Di desa yang setiap malam gelap gulita tanpa lampu.
Tengoklah desa Boti. Perlu waktu tempuh lima jam dari So’e, ibukota Kabupaten Timor Tengah Selatan. Berada di pegunungan yang sejuk. Punya hutan asam kandis dan kemiri yang bernilai ekonomi tinggi. Tetapi panennya tidak membuat sejahtera. Warga desa Boti sungguh miskin.
Di desa ini revolusi budaya tengah berlangsung. Luar biasa cepatnya. Juga di beberapa desa sekitarnya.
Setahun lalu, desa-desa itu gelap gulita di malam hari. Tidak ada penerangan. Jangankan lampu listrik. Lampu minyak tanah pun tidak terlihat. Minyak tanah tergolong barang mahal. Sulit dicari di sini.
Minyak tanah hanya bisa dibeli di kota kecamatan. Dua hingga tiga jam perjalanan. Ojeknya bertarif Rp 50 ribu sekali jalan. Sekali beli hanya beberapa liter. Pasti habis dalam beberapa hari.
Memiliki lampu minyak tanah di desa itu, bisa disebut kaya. Sebab punya uang lebih untuk bayar ojek.
Begitulah kehidupan di Boti sepanjang malam. Dari zaman sebelum kemerdekaan. Mereka melewati separoh hari dalam kegelapan.
Sejak matahari terbenam hingga terbit fajar. Rumah-rumah mereka tidak terlihat ada sinar yang berpendar. Begitu pun gereja dan surau atau langgar.
Tidak ada anak-anak sekolah yang belajar. Gelap. Begitu magrib tiba, saat itulah jam tidur mereka. Malam sungguh panjang di sini.
Setahun lalu, warga miskin itu mulai tersenyum sumringah. Bukan karena bisa menyalakan lampu minyak tanah. Tapi lampu listrik tenaga surya, sumbangan para dermawan melalui Lazismu. Lembaga amil zakat Muhammadiyah.
Pemasangan lampu listrik tenaga matahari itu sebenarnya program kerja Tim Percepatan Penaggulangan Kemiskinan atau TNP2K. Organisasi di bawah Kantor Sekretariat Wakil Presiden. Nama programnya bagus: Indonesia Terang.
Untuk mendanai program Indonesia Terang, TNP2K menggandeng berbagai pihak. Lembaga pemberdayaan masyarakat, lembaga amil zakat dan perusahaan yang memiliki corporate social responsibility atau CSR.
Semua diajak bergotong royong menerangi rumah-rumah warga miskin di daerah terpencil. Yang tidak terlayani jaringan listrik PLN, bahkan hingga 5 – 10 tahun mendatang.
Alasan PLN: tidak ekonomis. Alasan yang klasik. Tapi bisa diterima akal. Medannya memang sulit. Penduduknya juga sedikit. Jarak antarrumah berjauhan.
Listrik tenaga matahari pun menjadi pilihan. Listrik yang mandiri. Satu rumah satu paket.
Setiap rumah warga sangat miskin mendapat satu paket solar panel dengan tiga buah lampu hemat energi. Satu untuk ruang utama keluarga. Satu untuk kamar tidur. Satu lagi untuk dapur.
Cukup? Belum.
Idealnya setiap rumah punya 5 hingga 6 lampu. Tapi dana terbatas. Paket bantuan pun dipilih yang terkecil. Hanya 3 lampu saja. Agar bisa memberi manfaat kepada lebih banyak keluarga.
Saat saya tiba di sana April 2017, hari masih siang. Menyaksikan pemasangan panel dan lampu tenaga surya sumbangan donatur Lazismu.
Kebetulan cuaca mendung sejak pagi. Lalu hujan. Di dalam rumah biasanya gelap. Berkat lampu tenaga surya, sekarang menjadi terang-benderang.
Warga desa Boti girang bukan kepalang. ‘’Puji Tuhan!’’ ucap seorang nenek. Seorang penganut Katholik. Keyakinan yang dianut 98 persen penduduk setempat. Sisanya muslim.
Wajahnya sembab. Air mata meleleh dari kedua pelupuk matanya. Tak henti-hentinya dia memandangi ketiga bola lampu yang bergantung di langit-langit rumahnya. Nyala lampu itu sudah dinanti selama 72 tahun. Seumur Republik ini.
Setahun berlalu. Saya belum ke Boti lagi. Seorang anggota DPRD Timor Tengah Selatan mendadak mengirim pesan pendek. ‘’Kapan ke So’e lagi melihat perkembangan warga yang sudah punya lampu?’’
Namanya Roy. Nonmuslim. Pengurus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di So’e. Menjadi wakil rakyat mewakili partai nasionalis berlogo bintang sembilan itu.
Roy sangat peduli dengan program Indonesia Terang. Dua kali saya ke So’e, dua kali pula dia mengantar hingga pelosok desa. Dengan mobilnya.
Mungkin hanya kebetulan. Saat Roy mengirim pesan, saya sedang dalam perjalanan menuju kantor TNP2K. Saya janji bertemu Regi Wahono, eksekutif Indonesia Terang. ‘’Mau kasih laporan,’’ kata Regi, penggemar olah raga bersepeda. Gaya hidup kekinian.
Tiba di kantor TNP2K, saya terlambat satu jam. Jakarta hari itu dilanda kemacetan luar biasa. Banjir mengepung di mana-mana. Hujan besar menjelang Imlek. Konon menjadi tanda kemakmuran.
Data yang ditampilkan Regi sungguh membuat saya tercengang. Takjub. Sedikit tak percaya. Begitu cepat perubahan itu terjadi. Bukan evolusi. Ini revolusi. Revolusi mental.
Karena lampu, produktivitas meningkat. Lepas magrib, warga tidak segera tidur.
Ibu-ibu menenun kain. Selimut, selendang, taplak, syal. Tenun khas Timor. Dibeli Pemerintah Daerah untuk souvenir tamu-tamu kehormatan. Juga dibeli para pedagang untuk oleh-oleh khas.
Lampu membuat kegiatan menenun beralih waktu. Dulu dikerjakan siang hari sampai petang. Sepulang dari ladang. Sekarang mereka berladang sampai petang. Menenun pindah jam ke malam.
Anak-anak sekolah sekarang rajin belajar. Yang rumahnya belum mendapat bagian lampu berdatangan. Belajar kelompok. Sepuluh hingga 15 orang di satu ruangan. Di bawah terang satu bola lampu. ‘’Prestasi belajarnya meningkat. Rapornya membaik,’’ terang Regi. Antusias sekali.
Sejak ada lampu, mulai ada kegiatan sosial baru: buka puasa! Beberapa keluarga muslim mengundang sanak saudara untuk berbuka bersama.
Mengundang handai tolan untuk buka bersama mungkin hal biasa bagi kita. Tapi tidak di sana. Karena lampu penerangan tidak tersedia.
Ada lagi yang yang baru: beberapa warga desa yang muda-muda sekarang punya handphone dan mulai kenal internet!
Jaringan telepon memang sudah lama menjangkau. Tetapi tidak ada yang mau punya perangkat komunikasi itu.
Punya handphone berarti harus siap menderita. Untuk nge-charge, mereka harus pergi ke kota. Naik ojek Rp 50.000 sekali jalan. Pergi-pulang Rp 100.000. Di konter pulsa, mereka numpang nge-charge dua jam. Bayar lagi Rp 3.000.
Paling lama 12 jam kemudian, mereka harus mengulangi kegiatan yang sama. Baterai sudah nge-drop. Harus di-charge ulang. Bayar ojek Rp 100.000 lagi. Bayar jasa colokan listrik Rp 3.000 lagi. Alangkah mahalnya.
‘’Siapa donatur lampu tenaga surya itu? Kami ingin mengucapkan terima kasih’’ tanya seorang pemuka adat. Pertanyaan itu diucapkan dalam sebuah forum. Lebih dari 100 orang hadir.
Begitulah warga Boti. Mewakili karakter mayoritas masyarakat Nusa Tenggara Timur. Tak pernah lupa berterima kasih.
Beberapa orang tetua adat menangis terharu. Mereka tak menyangka. Bantuan lampu itu berasal dari sumbangan anak-anak sekolah. Dari TK hingga SMP.
Semua pelajar di Jakarta. Siswa-siswi perguruan Muhammadiyah. Yang menyerahkan sumbangan dari celengan masing-masing.
Ada 10.000 celengan kaleng yang dibagikan ke berbagai sekolah. Setiap siswa mendapat satu. Dua minggu kemudian celengan itu dikumpulkan guru. Hasilnya dihitung. Lalu diserahkan.
Luar biasa. Celengan Filantropis Cilik itu sukses besar. Dana terkumpul hampir setengah miliar!
Menjelang Idul Fitri, seluruh dana diserahkan ke Lazismu. Untuk membeli lampu tenaga matahari dan sarana belajar lainnya. Tas. Alat tulis. Juga buku-buku.
Aksi para filantropis cilik di Jakarta itulah yang membuat warga desa Boti punya cita-cita. Gerakan peduli itulah yang membuat revolusi mental. Bukan pidato. Bukan baliho.
*Penulis adalah blogger dan admin www.disway.id official website of Dahlan Iskan