Fery Nandus merupakan salah seorang seniman asal Kalimantan Barat yang berhasil menembus dunia. Misinya memperkenalkan musik-musik tradisional Suku Dayak, khususnya Dayak Taman Kapuas Hulu, terbilang cukup berhasil.
Fikri Akbar, Kota Pontianak
eQuator – Pria kelahiran 1978 di Desa Mendalam, Kecamatan Kayan, Kabupaten Kapuas Hulu, ini pun telah melanglang buana ke beberapa negara seperti Ukraina (2012), Jepang (2013), Dubai (2014), dan lainnya.
“Kalau untuk pulau di Indonesia sudah habis saya kunjungi. Kemarin (2015), saya baru pulang dari acara world expo di Milan Itali. Di luar negeri rata-rata sambutan mereka bagus,” tuturnya saat berbincang dengan Rakyat Kalbar, di Orchardz Hotel Pontianak, Kamis (3/12).
Kepiawaiannya memainkan alat musik tradisional sape’ membuat namanya kerap ditautkan dengan nama alat musik itu. Sapaan akrabnya memang Fery Sape’.
Ia juga pernah melakukan pementasan di Iran dalam acara peringatan seribu tahun usia hubungan Iran-Indonesia, kerja sama dengan Museum Indonesia, Museum Kalbar, serta Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kalbar.
Bincang-bincangnya dengan Rakyat Kalbar hari itu di sela-sela seminar bertajuk Revitalisasi Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional ‘Manyombaang’. Acara tersebut diselenggarakan oleh Sub Direktorat Kepercayaan dan Tradisi, Pengetahuan dan Ekspresi Budaya Tradisional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Dalam kesempatan itu, Fery Sape’ diminta memperkenalkan nyanyian tradisional Mayombaang kepada seratusan pelajar SMA yang hadir. Manyombaang merupakan salah satu tradisi ritual adat sastra lisan Suku Dayak Taman asal Kabupaten Kapuas Hulu.
Kepiawaian Fery Sape’ dalam memainkan sape’ mampu menghipnotis para peserta. Nada-nada yang dipilihnya seolah membawa pendengarnya ke suasana damai, menyatu dengan alam. Seolah berada di tengah persawahan, petikan jemari Fery Sape’ memberikan rasa sejuk dan segar, juga memberikan secercah rindu akan kampung halaman nan permai.
Kesan ritus tersebut semakin terpancar saat nada-nada indah tersebut diterjemahkan melalui gerak-gerik tarian tradisional Mayombaang yang dibawakan oleh Petrus Lengkong Budaya, seorang Tetua Adat Dayak Kalbar asal Desa Bekati, Kabupaten Bengkayang. Sehingga, sulit bagi peserta yang hadir untuk tidak memberikan tepuk tangan luar biasa saat keduanya menutup apik sesi pertunjukan itu.
Fery kecil, besar di lingkungan keluarga dan masyarakat yang memegang kuat adat istiadat Suku Dayak. Ayahnya cukup piawai dalam membuat dan memainkan alat musik sejenis gitar dengan tiga senar ini.
Kendati demikian, kemahiran Fery justru tak ia dapatkan dari Sang Ayah. Secara otodidak, dia belajar dari menyimak permainan para tetua kampung yang sering membawakan musik-musik dari sape’ saat acara.
“Tradisi ini dengan sendirinya mengalir,” tuturnya.
Dia juga aktif mengikuti ritual kebudayaan di kampungnya. Fery mengaku senang saat melihat para tetua kampung memainkan alat musik yang biasa juga dinamakan alat musik sampek oleh orang Kalimantan Timur.
“Saya mulai benar-benar belajar itu saat SMA, dengan para senior di paguyuban, di sanggar, saya masih ingat (waktu kecil) caranya, saya coba main. Untuk sape’ ini saya bikin sendiri, bapak saya lebih hebat, saya belajar dari dia,” ungkapnya.
Jika sape’ umumnya terdapat tiga senar, sape’ yang dimiliki Fery terdiri dari enam sampai tujuh senar. Dari kemampuannya bermusik tradisional ini, Fery banyak memiliki kolega dari kalangan pemusik berbeda aliran, semisal pop, metal, rock, reggae.
Uniknya, alat musik sape’ ini, kata Fery, mampu berbaur dengan aliran musik yang berbeda ragam tersebut. Namun begitu, tidak banyak generasi muda saat ini yang mau dan tahu cara memainkannya.
“Kalau gitar tata-rata orang lebih cepat tau, karena lebih umum. Musik ini ada pakem tradisionalnya, ada rasa,” kata Alumnus Fakultas Teknik Politeknik Negeri Pontianak tahun 2003 ini.
Walaupun memiliki senar yang sama dengan gitar, terdapat perbedaan yang mendasar antara memainkan gitar dengan sape’. “Kelemahannya di nada dasarnya, tidak bisa kaya’ gitar,” terang Fery.
Ia menambahkan, “Kalau nada dasar gitar bisa cepat pindah. Kalau nada dasarnya di ‘E’, kemudian berubah lagi dinada dasar ‘F’, nadanya akan sedikkit berkurang. Sape’ selalu memulai dengan nada dasar. Umpamanya, saya main di nada ‘G’ berubah lagi ‘D’, maka nada dasar ‘D’-nya masih ada, jadi tidak full”.
Selama sisa perjalanan hidupnya, Fery bertekad untuk terus mempopulerkan alat musik dan musik tradisional Suku Dayak. Dia berharap, kebudayaan tersebut tak hanya dikenal oleh generasi muda Indonesia namun juga dikenal semua belahan dunia. (*)