eQuator.co.id – Inikah yang disebut seni negosiasi? Yang diklaim sebagai keahlian khusus Donald Trump? Sejak muda dulu? Sampai berhasil jadi konglomerat? Dan akhirnya jadi presiden Amerika?
Gebrak dulu. Dirundingkan belakangan. Ancam dulu dibicarakan kemudian.
Begitulah cara Trump menangani nuklir Korea Utara. Gebrak habis Kim Jong-Un. Sampai mau diserang secara fisik. Dengan kekuatan militer.
Hasilnya: pertemuan puncak di Singapura. Antara Trump dan Jong-Un. Korut pun sudah ngringkesi senjata nuklirnya.
Biar pun awalnya sangat mengkhawatirkan. Seperti akan mengancam keamanan dunia. Tapi hasilnya konkrit: Korut membongkar sendiri proyek nuklirnya.
Pun dengan Tiongkok.
Gebrak dulu. Dengan menaikkan pajak impor. Tanpa menghiraukan perjanjian internasional. Mengabaikan badan perdagangan dunia, WTO.
Gebrak dulu. Kirim kapal-kapal perang ke Laut Cina Selatan. Kirim kapal perusak ke selat Taiwan.
Gebrak dulu. Kuras emosi Tiongkok. Kirim pejabat tinggi ke Taipei. Ijinkan Presiden Taiwan mendarat di Los Angeles.
Gebrak dulu. Tangkap pimpinan puncak Huawei. Tuduh dulu dengan tuduhan pencucian uang dan pelanggaran dagang dengan Iran.
Tiongkok mencoba ganti menggebrak. Terjadilah perang dagang. Tapi akhirnya Tiongkok harus masuk meja perundingan.
Gebrak dulu Iran. Dengan pembatalan perjanjian internasional. Soal proyek nuklir Iran. Sangat sepihak. Tiba-tiba saja Trump tidak mengakui perjanjian itu. Mengabaikan tandatangan Presiden Obama. Tidak peduli negara-negara Eropa. Sahabatnya itu. Tidak diajak berunding lebih dulu.
Eropa marah pada Trump. Tapi juga tidak berani melawannya.
Gebrak dulu Ketua DPR Amerika, Nancy Pelosi. Dengan cara melarang pesawat angkatan udara penerbangkannya ke Eropa. Dan ke Iraq. Juga dengan ngambek: tidak mau tandatangan anggaran negara. Sampai mengakibatkan 25 persen instansi pemerintah pusat tutup.
Dan banyak lagi. Gebrak dulu. Rundingkan belakangan. Hukum tidak penting. Perasaan tidak dipakai. Pertemanan diabaikan. Solidaritas dicampakkan.
Itukah yang disebut seni bernegosiasi? yang jadi unggulannya?
Korut sudah menyerah. Tiongkok sudah kelihatan melunak. Akan banyak keinginan Amerika yang diakomodasikan.
Perundingannya sendiri sudah selesai. Yang tahap dua itu. Yang di Washington itu. Delegasi Tiongkok sudah pulang: untuk merayakan Imlek.
Harus diakui: berarti Trump berhasil. Dengan cara apa pun. Mungkin Trump penganut filsafat kekacauan: kacaukan dulu. Hasil yang baik tidak harus dilakukan dengan cara yang baik.
Nancy Pelosi memang belum menyerah. Permintaan Trump ke DPR masih ditolak. Soal anggaran tembok perbatasan itu.
Eropa juga belum takluk.
Huawei masih sulit dikalahkan.
Memang Trump sudah diijinkan berpidato: State of the Union. Di depan rapat gabungan DPR-DPD. Tapi anggaran tembok perbatasannya belum ada tanda-tanda dikabulkan.
Eropa memang tidak terang-terangan melawan Trump. Minggu lalu masih cari akal untuk berkelit.
Inggris, Jerman, Perancis bertemu di Buchares. Merumuskan taktik baru: membentuk lembaga keuangan khusus. Untuk menangani transaksi dagang dengan Iran. Sebagai siasat ‘melawan’ Trump.
Nama lembaga itu adalah Instex: Instrument in Support of Trade Exchanges. Instexlah yang akan menangani lalu-lintas pembayaran antara Iran dengan negara-negara Eropa.
Saya khawatir cara gebrak dulu itu dianggap jalan menuju sukses. Lalu akan menjadi pola umum. Banyak ditiru.
Kita bisa bayangkan: apa jadinya kalau semua kepala negara melakukan itu.
Tender proyek bikin tembok bakal ramai di seluruh dunia. (Dahlan Iskan)