Sengkarut PT Sintang Raya, Kaum Tani Surati Presiden Jokowi

Begitu Jahatkah Kami, Begitu Salahkah Kami?

MENGUNGSI. Inilah kondisi warga Desa Olak-Olak Kubu, Kubu Raya yang mengungsi di Kantor Komnasham Kalbar, Jumat (6/8).

eQuator.co.id – Hidup dihantui rasa takut, petani tujuh desa di bawah konsesi perkebunan sawit PT Sintang Raya, terdiri dari Desa Olak-olak Kubu, Seruat II, Mengkalang Jambu, Mengkalang Guntung, Sungai Selamat dan Pelita Jaya Kecamatan Kubu, Kubu Raya, membuat surat terbuka secara khusus untuk Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Surat terbuka yang juga ditujukan kepada Kompolnas, Kapolri, Menteri Agraria Tata Ruang dan Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Gubernur Kalbar dan Bupati Kubu Raya. Kop surat bertuliskan “Dari Rakyatmu Yang Tertindas, Teraniaya, Terintimidasi dan Merasa Takut”.

Isi surat terkait rasa tertindas, teraniaya dan terintimidasi, serta rasa takut yang warga alami, pasca bentrok dengan kepolisian dalam pengamanan konflik antara masyarakat dan perusahaan perkebunan sawit PT Sintang Raya beberapa waktu lalu.

“Surat terbuka ini juga kami tujukan kepada institusi Pemerintahan Republik Indonesia, seluruh elemen organisasi kemanyarakatan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), pengacara, jurnalis dan bahkan individu yang kami harapkan dapat memberikan dukungan atas perjuangan kami,” kata Wahyu Setiawan, Ketua AGRA Kalbar yang mengorganisasikan diri dalam Serikat Tani Kubu Raya (STKR) ketika membaca surat terbuka yang diterima harian Rakyat Kalbar, Jumat (5/8).

Menurutnya, para petani tidak banyak menuntut. Mereka hanya menuntut keadilan, kesamaan hak di depan hokum. Kemudian pembebasan warga yang dijebloskan ke penjara dan berharap tidak ada lagi intimidasi. “Serta teror yang membuat rasa takut yang teramat mendalam, menuntut dikembalikannya hak kami yang telah dirampas,” ujarnya.

Kaum tani di tujuh desa ini, selama berpuluh-puluh tahun lamanya menggantungkan hidup dengan mengolah dan memanfaatkan tanah beserta kekayaan yang terkandung di dalamnya melalui kerja ladang, berkebun kelapa (kopra), bertani jagung, nanas dan aneka jenis tanaman palawija. Mereka hidup berdampingan, meski memiliki latarbelakang dari suku bangsa dan agama yang berbeda-beda. Senantiasa hidup rukun, damai dan saling tolong-menolong dan toleransi yang cukup tinggi. Namun hubungan sosial yang dianggap cukup baik ini mulai retak dan semakin retak, sejak masuknya PT Sintang Raya.

“Kami terpaksa dan dipaksa untuk saling mencurigai satu sama lain. Kini hidup kami menjadi tidak tenang. Hari demi hari kami selalu dihantui dengan rasa takut dan waswas. Apalagi setelah kepolisian menurunkan personilnya ke desa kami. Keberadaan mereka dengan membangun pos di kantor manajemen perkebunan PT Sintang Raya dan melakukan patroli ke desa-desa, ke dusun-dusun, ke RW dan RT. Kami menjadi semakin takut, cemas, was-was kalau-kalau polisi mendatangi rumah kami dan mengirimkan surat panggilan sebagai saksi atau tersangka,” jelas Wahyu.

Dicontohkannya, seperti Katin dan Ponidi, warga Kubu yang dipanggil secara paksa, tanpa ada surat pemanggilan dan dibawa begitu saja oleh kepolisian ke Mapolres Mempawah. Serta Bambang Sudaryanto, Kepala Desa Olak-olak Kubu yang dikriminalisasi terlebih dahulu oleh PT Sintang Raya.

“Begitu juga degan keadaan perekonomian kami sebelum masuknya PT Sintang Raya, meskipun masih jauh dari cukup dan jauh dari sejahtera, namun kaum petani ini masih dapat bertahan, karena memiliki tanah yang cukup luas dan begitu juga tanah kami beserta kekayaan alam yang terkandung, masih menyediakan apa yang kami butuhkan,” terangnya.

Sejak masuknya PT Sintang Raya, semua itu menjadi sirna. Hidup kaum tani yang sebelumnya miskin dan kekurangan, kini semakin diperparah karena masuknya PT Sintang Raya. Perusahaan telah mengambil tanah-tanah perseorangan milik petani dan tanah-tanah umum petani. Menyerobot tanam tumbuh tanpa ganti rugi. Akibatnya hidup petani yang sudah sulit, menjadi semakin sulit. Kerja ladang semakin sulit, berkebun kelapa (kopra) dan jagung juga demikian.

“Selain tidak tersedianya tanah, masuknya PT Sintang Raya juga mengakibatkan hama ladang dan kebun semakin tidak dapat kami tangani. Disaat yang bersamaan, janji kesejahtraan yang disampaikan oleh PT Sintang Raya juga tidak kunjung tiba. Alhasil, sebagian dari saudara-saudara kami kini terpaksa menjadi buruh upahan di tanah sendiri dengan tingkat upah sebesar Rp65 ribu per hari, dengan beban kerja yang sangat tinggi,” ujar Wahyu, masih membacakan surat terbuka.

“Masuknya PT Sintang Raya juga membawa dampak pada lingkungan kami. Pembukaan hutan dan terutama pada lahan-lahan gambut, telah mengakibatkan desa-desa kami kini terancam banjir. Sungai-sungai tempat kami mandi, mencuci, dan yang lainnya menjadi tercemar, juga air asin masuk,” lanjutnya membaca surat yang dikirim ke Presiden Jokowi.

Masuknya PT Sintang Raya

Masuknya PT Sintang Raya, perkebunan sawit skala besar, didanai perusahaan raksasa dari Korea sebagai pemilik saham, dianggap masyarakat tujuh desa tersebut dapat membawa kesejahteraan. Membawa perubahan dalam hidup masyarakat sebagaimana yang dijanjikan.

“Namun kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Jauh panggang dari api. Jangankan sejahtera, hidup kami yang telah miskin ini, yang telah susah ini, semakin dipersusah. Karena tindakan penangkapan dan pemenjaraan yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Begitu jahatnyakah kami, dan begitu salahkah kami? Jika karena alasan mempertahankan hak, kami harus ditetapkan sebagai tersangka dan dijebloskan ke dalam penjara,” paparnya.

Situasi seperti ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Tidak pernah mereka bayangkan bakal terjadi. “PT Sintang Raya secara semena-mena melaporkan kami yang berjuang mempertahankan hak kami kepada kepolisian. Dan celakanya lagi, aparat kepolisian juga dengan mudahnya menerima laporan PT Sintang Raya dan menetapkan kami sebagai tersangka. Sementara laporan kami dan permintaan kami sama sekali tidak pernah didengar. Bahkan permintaan kami yang didasarkan pada keputusan hukum pun juga tidak didengar. Seperti permintaan kami, agar pemerintah dan aparat kepolisian melaksanakan keputusan Mahmakah Agung (MA) yang telah membatalkan HGU PT Sintang Raya,” ungkap Wahyu.

Justru setelah keluarnya keputusan Mahkamah Agung, lanjut isi surat terbuka ini, PT Sintang Raya semakin represif. Seperti kasus penangkapan 15 kaum tani dari Olak-Olak kubu sebagai tersangka dengan tuduhan pencurian buah sawit. Dan begitu juga tindakan pemukulan, intimidasi, teror dan penangkapan yang terakhir ini, sebagai buntut dari aksi yang dilakukan masyarakat pada 23 Juli 2016.

“Aksi demonstrasi yang kami ketahui dijamin didalam konstitusi dan UUD sebagai hak dasar setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat, harus mendapat penghadangan oleh aparat kepolisian tanpa ada alasan yang jelas. Lebih menyedihkan lagi, setelah penghadangan, aparat kepolisian yang terdiri dari personil Polsek Kecamatan Kubu, Polres Mempawah, Brimob Polda Kalbar beserta preman bayaran mereka dengan semena-mena dan dengan penuh kejamnya memukuli kami, mencekik kami dan bahkan tindakan pelecehanpun dirasakan oleh ibu-ibu atau kaum perempuan yang ikut dalam aksi demonstrasi yang kami lakukan,” ujarnya.

“Mereka mengira tindakan pemukulan dan pelecehan yang dirasakan akan berhenti di situ saja. Rupanya tidak. Pihak PT Sintang Raya memang belum puas, meskipun telah merampas seluruh yang masyarakat miliki dan tanah sebagai harta terakhir masyarakat. Bahkan menginjak-injak harkat dan martabat masyarakat sebagai petani pribumi. Setelah tindakan pemukulan pada saat aksi 23 Juli 2016, mereka lanjutkan dengan melakukan aksi patroli rutin, mencari pimpinan-pimpinan pejuang kami, menangkapnya tanpa rasa kemanusiaan. Seperti penangkapan Katin, setelah aparat kepolisian secara brutal memecahkan rumahnya Katin. Tangisan pilu dengan penuh permohonan dari istri Katin dan anaknya, sama sekali tidak merubah pikiran aparat kepolisian,” demikian kutipan dalam surat kaum tani.

“Kami tidak tau harus bagaimana lagi. Setelah kejadian tersebut kami hanya bisa mengadukan nasib kami kepada lembaga, intitusi, Ormas dan LSM yang kami anggap dapat melindungi dan membela kami. Salah satunya adalah Komnasham Kantor Kalbar. Dengan penuh kejujuran, kami yang merupakan perwakilan dari masing-masing desa mengadukan tindakan pemukulan pada saat kami menggelar aksi dan penangkapan kepada Komnasham. Komnasham merespon dengan baik dan berjanji akan membantu kami. Namun tidak lama, kami melaporkan kepada Komnasham, kejadian yang semakin membuat kami merasa takut adalah pada saat Kantor Komnasham juga disatronin oleh Intel. Berpura-pura mengatasnama teman kami, mereka bermaksud menanyakan siapa daftar nama dari kami yang melaporkan kejadian pemukulan dan penangkapan kepada Komnasham Kalimantan Barat,” sambungnya.

Tidak lama setelah adanya aksi melapokan kepada Komnasham, tindakan penangkapan kembali dialami oleh Ponidi. Pada Kamis, pukul 18.00, segerombolan polisi datang dengan tiba-tiba, masuk rumah Ponidi. Tanpa membawa surat perintah penahanan, langsung membawa Ponidi ke Mapolres Mempawah. “Dan pada saat kami menulis surat ini, pada jam 18.50 kami juga mendengar tindakan penangkapan lagi. Kali ini Bapak Efendi Liman dari Mengkalang juga kembali ditangkap secara paksa oleh 12 orang, empat diantaranya berpakaian preman. Demikiankah cara aparat kepolisian, aparat penegak hukum, pengayom masyarakat dan segala puja-puji dan sanjungan yang selama ini mereka kemukakan?” demikian isi surat kaum tani.

Kecewa Warga Terprovokasi

Beberapa kepala desa (Kades) mengaku kecewa, warganya terprovokasi kisruh PT Sintang Raya dengan warga. Para Kades berharap masyarakat tidak cepat percaya dengan oknum-oknum masyarakat, maupun organisasi yang melakukan provokasi.

“Kami sangat sayangkan ini. Apalagi, mereka tidak ada koordinasi dan komunikasi kepada kita. Seperti STKR, kami tidak tahu legalitasnya. Dan berapa kelompok tani yang bernaung di bawahnya. Tidak ada terdaftar di kami,” ucap Haidi, Kepala Desa Mengkalang saat menggelar jumpa pers, kemarin.

Diakui dia, pihaknya padahal telah sering mensosialisasikan kepada masyarakat terkait keberadaan PT Sintang Raya. Sehingga kalau ada tuntutan, hendaknya dapat disampaikan dengan cara yang baik, agar daerah tetap aman dan kondusif.

“Jadi yang kami lihat, hanya segelintir masyarakat yang ikut-ikutan saja. Tidak semua warga Mengkalang yang menolak adanya sawit,” tegasnya.

Kepala Desa Pelita Jaya, Mardi mengingatkan warganya untuk waspada terhadap orang maupun organisasi yang memiliki kepentingan. Apalagi yang bersifat memprovokasi.

“Seperti AGRA, pernah menjanjikan kepada masyarakat gaji UMR sampai Rp4 juta lebih. Ini kan tidak masuk akal. Karena UMR yang ditetapkan pemerintah saja Rp1,7 juta. Datang dari mana mereka bisa janjikan sampai Rp4 juta. Ini kan bohong,” tegasnya.

Sayangnya, kata dia, segelintir warga Pelita Jaya akhirnya terprovokasi dengan iming-iming itu. “Memang dulu sempat terjadi kasus kriminal seperti pencurian. Saat itu saya sebagai anggota BPD sudah mengingatkan, agar tidak ada memanen secara ilegal di lahan yang bukan milik kita,” ungkap Mardi.

Kepala Desa Dabong, Purwanto mengaku warganya merasa terbantu masuknya perusahaan sawit. Sebab tingkat ekonomi masyarakat meningkat. Seperti PT Sintang Raya, selama ini juga sudah membantu berupa CSR dalam bentuk pembangunan jalan maupun jembatan.

“Jadi harus kami tegaskan, desa kami aman-aman saja. Tidak ada warga yang ikut mengungsi seperti yang diberitakan,” katanya.

Purwanto juga membantah, jika HGU PT Sintang Raya masuk dalam hutan lindung. Kalau untuk lahan transmigrasi sekitar dua ribu hektar, itu bukan wilayah Dabong. “Tidak ada HGU PT Sintang Raya yang masuk hutan lindung,” ucapnya.

Terkait tapal batas yang juga menjadi salah satu akar permasalahan, Purwanto akui hingga sekarang pihaknya belum pernah memegang berita acara terbaru. “Kalau memang ada berita acara yang baru, kami tidak pernah memegangnya. Memang berdasarkan SK Bupati Nomor 117/2010, luas Desa Dabong justru lebih luas dari Desa Olak-Olak, karena desa ini pemekaran dari Dabong,” terangnya.

Sementara Kepala Desa Sungai Selamat, Dadang Suwantri mengatakan, pada prinsipnya sembilan desa dan masyarakat mendukung masuknya investasi sawit. “Secara umum masyarakat mendukung. Hanya segelintir saja masyarakat yang menolak,” tuturnya.

Dadang mengaku kecewa terhadap organisasi mengatasnamakan membela kepentingan masyarakat. Namun di balik itu, justru memprovokasi warga. “Seperti STKR. Kalau memang benar-benar pergerakan membela masyarakat dengan cara memprovokasi. Ini kan sama saja STKR itu Serikat Tukang Kompor Rakyat,” tegas Dadang.

Ditempat terpisah, Senior Manager Legal, Perijinan dan Humas PT Sintang Raya, Iskandar Zulkarnaen mengatakan, pihaknya tetap menunggu hasil eksekusi putusan Mahkamah Agung (MA) oleh BPN (Badan Pertanahan Nasional).

“Jadi kami berharap hasil eksekusi BPN dapat cepat direalisasikan. Termasuk pula proses mediasi yang akan dicanangkan oleh Pemkab Kubu Raya dapat segera dilaksanakan. Supaya masalah ini dapat terselesaikan. Kami juga tidak ingin masalah ini berlarut-larut karena ada tiga ribu orang lebih yang ekonominya tergantung dengan perusahaan,” ucap Iskandar.

PT Sintang Raya kata Iskandar, tetap bekerja seperti biasa. Kalau pun dikemudian hari ada aksi demonstrasi yang digelar, maka pihaknya akan minta bantuan aparat hukum untuk mengamankan aset investasi.

“Ini dilakukan, karena sudah sering kali. Jadi wajar kalau kami minta pengamanan dari penegak hukum. Kami hanya minta kepada aparat keamanan untuk mencari dalang dan aktor yang mengatur skenario di balik aksi-aksi demo itu. Karena kami anggap sudah meresahkan investasi,” tegasnya.

Kuasa Hukum PT Sintang Raya, Agus Sudjatmiko memastikan pihaknya akan menelaah dan mengkaji kembali isi perjanjian perdamaian yang pernah ditandatangani PT Cipta Tumbuh Berkembang (CTB). “Apalagi dalam perjanjian itu ada uang yang nilainya sangat besar telah dikucurkan PT Sintang Raya, Rp30 miliar lebih. Ini yang akan kami telaah dan kaji lagi,” tegas Agus.

Agus juga yakin berbagai aksi yang bertujuan memojokan PT Sintang Raya selama ini, di belakangnya ada dalang yang mengatur. “Karena itu kami sangat mendukung langkah kepolisian untuk mengusut tuntas, agar aktor atau dalang dibelakang semua ini terungkap. Apalagi, seperti waktu lalu, ada orang luar Kubu Raya ikut-ikutan berada dan demo di Kubu. Ada apa ini sebenarnya, kalau tidak ada yang mendalanginya,” ujarnya. (*)

Ocsya Ade CP dan Syamsul Arifin, Kubu Raya