Semenit Harmal

Oleh: Dahlan Iskan

CARDIFF. Suasana Cardiff, Inggris, usai pertandingan Speedway. DISWAY PHOTO

eQuator.co.id – Jauh-jauh menyingkir ke Kota Swansea juga tidak mendapatkan kamar. Semua hotel juga penuh.

Apakah ada Speedway juga di Swansea?

“Ini minggu pertama perkuliahan di sini. Banyak orang tua mengantar anak mereka ke sini,” kata sopir taksi itu.

Heran. Di Cardiff terusir karena hotelnya penuh. Di Swansea tidak dapat hotel.

Tahu saya ketika sudah terlanjur di kereta api. Dalam perjalanan KA dari Cardiff itu saya sibuk cari hotel. Segala macam dotcom saya jelajahi. Selalu ada wifi di kereta api di Inggris. Juga di bus antarkota. Pun di bus kota.

Saya menyesal. Mengapa menyingkir ke Swansea. Kok tidak ke Kota Bristol saja. Sama-sama berjarak satu jam —beda arah.

Saya pilih ke Swansea dengan alasan praktis. Agar besoknya mudah untuk kembali ke Cardiff. Menyelesaikan pekerjaan di situ. Sekalian ingin tahu Kota Swansea. Belum pernah ke sana.

Tiba di Swansea saya pasrah. Apa kata nasib saja. Tapi tetap cari taksi. Minta diantar ke salah satu hotel. Go show. Untung-untungan.

Sopir taksi ini heran. Kok saya tidak memesan hotel jauh-jauh hari. Saya ceritakan mengapa saya terusir dari Cardiff. Ia pun tahu. Di Cardiff lagi ada pertandingan besar balap Speedway.

Maka janganlah meniru cara saya ini. Yang tidak merencanakan perjalanan secara detail. Bisa telantar seperti ini.

Itu karena saya banyak pekerjaan. Yang waktunya tergantung situasi.

Saya pernah mencoba tertib. Termasuk jauh-jauh hari memesan hotel. Dan tiket pesawat. Ternyata malah lebih boros. Banyak tiket yang hangus.

“Anda ini penjudi?“ tanya sopir taksi. Sambil tertawa ngakak. Humornya sangat mengena. “Sebenarnya bukan,” jawab saya.

Saya pun merasa jawaban itu terlalu serius untuk pertanyaan humor. Ketahuan tidak punya jiwa Inggris.

Ia pun mengusulkan ke satu hotel. Yang ia optimistis punya cadangan kamar.

“Anda juga penjudi?“ balas saya. Ia pun tertawa ngakak.

Tapi saya mau saja ia ajak berjudi: ke hotel yang ia maksudkan itu. Ternyata hotel itu di luar kota Swansea. Jauh sekali. Pantas ia perkirakan masih ada kamar.

Argometer jalan terus. Kami terus berjudi. Tapi ia yang menang. Argo menunjukkan Rp 900 ribu. Hotelnya pun penuh.

“Kembali ke stasiun kereta api saja. Atau ke terminal bus,” kata saya.

Sudah jam 7 malam. Hujan renyai-renyai. Langit gelap.

Saya tidak kenal kota ini. Saya pun diturunkan di stasiun bus. Loket tutup. Tinggal ada satu jurusan. Kota kecil. Satu jam perjalanan dari Swansea. Ke arah lebih jauh.

Saya tidak mau lagi berjudi. Saya buka dotcom. Sebelum naik bus saya cari hotel di kota itu —semua full booked juga. Untung tidak terus berjudi.

Saya pun meninggalkan stanplat bus itu. Naik taksi lagi. Ke stasiun kereta api. Melewati stadion Swansea City. Oh…Ini stadion yang sering ada di tv itu.

Masih ada satu kereta. Jurusan London. Berarti akan melewati Cardiff lagi. Setelah itu baru  Bristol.

Saya beli tiket jurusan Bristol. Ini berjudi lagi. Tapi Bristol kota besar. Pasti hotelnya banyak sekali. Saya akan bermalam di Bristol saja. Besoknya bisa balik ke Cardiff. Ketika penonton Speedway sudah meninggalkan kota itu.

Di dalam kereta saya kembali jelajah dotcom. Untuk mencari hotel di Bristol. Hasilnya: 3-0. Semua hotel di Bristol juga penuh.

Kalau begitu untuk apa ke Bristol? Yang jam 10 malam baru tiba di sana? Lalu tidak tahu akan ke mana?

Saya putuskan: turun di stasiun depan. Yang berarti, itu Kota Cardiff. Balik kucing.

Sama-sama tidak dapat kamar lebih baik balik ke Cardiff. Agar bisa tahu kelanjutan kehebohan setelah balap Speedway.

Sebenarnya ada masjid di Cardiff. Saya pun ingat masa muda. Kalau tidak dapat pondokan pilih tidur di masjid. Di mana pun.

Tapi ini bukan di Indonesia. Di Cardiff saya akan pilih tidur di emperan toko. Bisa pakai jaket rangkap dua. Saya lihat beberapa anak muda melakukan itu. Mereka bukan gelandangan. Tidurnya di emperan bacaannya buku tebal.

Malam itu Kota Cardiff sendiri tidak tidur. Pesta di mana-mana. Yang jagonya kalah pun pesta. Apalagi yang menang.

Orang pun berdisko di jalan-jalan. Juga di bar. Kota ini seperti penuh dengan bar. Begitu banyak bar. Seperti melebihi kaki lima di Makassar.

Rupanya pesta Speedway itu campur dengan pesta malam Minggu.

Apa pun dipamerkan oleh yang sedang jalan-jalan itu –pakaian terbuka, celana ketat, paha, dada, bir, kebab. Banyak juga wanita yang kelelahan: duduk sembrono di trotoar. Dengan rok mininya. Atau mencopot sepatunya, ganti pakai sandal jepit —sepatu sexynya ditenteng.

Akhirnya saya sendiri mendapat kamar hotel. Lewat tengah malam. Mungkin ada yang pilih pulang setelah Speedway. Jangan tanya mahalnya harganya —sama sekali tidak pantas disebut.

“Kalau ada pertandingan Rugby lebih mahal lagi,” ujar petugas hotel dengan entengnya.

Stadion Speedway itu memang juga dipakai pertandingan Rugby. Piala Dunia Rugby pernah dilaksanakan di situ.

Tiap tahun ada kejuaraan khusus Rugby di situ. Grand Prix enam negara. Pesertanya hanya enam negara terkuat Rugbynya: Wales (Cardiff), England (London), Scotlandia (Glasgow), Irlandia (Dublin), Italy (Roma) dan Prancis (Paris).

Stadion Speedway Cardiff ini nomor tiga terbesar untuk ukuran Rugby. Kapasitasnya 72.000 penonton. Hanya kalah dari Paris (80.000) dan London (75.000).

“Anda betul ke Cardiff ini. Kotanya seru,” ujar orang Belanda yang nobar Chelsea vs Liverpool kemarin.

Pesta Speedway selesai. Besoknya saya dapat kamar dengan tarif seperlimanya.

Saya pun berpikir positif: kalau dirata-rata masih ok. Dua malam murah, satu malam mahal.

Saya juga berpikir positif: tidak menyesal —ke Cardiff di saat seperti ini. Saya bisa mengerti apa itu Speedway. Yang motornya hanya satu gear dan tidak pakai rem. Yang balapan nya hanya satu menit.

Saya juga bisa merasakan ini: bagaimana olahraga sudah menjadi gaya hidup di Inggris. Olahraga apa saja sama serunya: sepak bola, kriket, rugby, tenis, speedway…

Saya jadi tahu: untuk Speedway, balapan satu menit itu pestanya sehari semalam.  Saya jadi ingat ketika ke Louisville, di negara bagian Kentucky, Amerika Serikat. Tiga tahun lalu.

Saat itu saya juga kesulitan kamar hotel. Penyebabnya: ada Kentucky Derby. Yakni pertandingan Grand Prix balap kuda. Salah satu yang terkenal di dunia.

Balap kuda itu ternyata hanya dua menit: 19 atau 20 kuda start bersamaan. Kurang dua menit kemudian mencapai finish.

Mereka menyebutnya “Inilah pertandingan olahraga tercepat yang menakjubkan”. Rupanya mereka tidak tahu DI’s Way, ups, Speedway.

Lihatlah Speedway ini: hanya empat pengendara motor siap di garis start. Ada dua tali terbentang di depan mereka. Tali itu dipegang dua orang —di kanan dan kiri lintasan.

Tali itulah aba-abanya. Begitu tali diangkat melejitlah empat pembalap itu. Yang remnya adalah roda depan yang diserongkan.

Arah balapannya pun kebalikan dari arah balap MotoGP. Putar kanan. Memutari lintasan oval empat kali. Kurang dari 1 menit selesai. Juaranya sudah langsung ketahuan. (Lihat DI’s Way:Terusir Speedway).

Saya pun jadi tahu: olahraga jenis ini sudah sangat tua. Balapan pertamanya di Newcastle tahun 1924. Juaranya justru dari Amerika.

Begitu pentingnya adu kecepatan. Di mana-mana. Kecuali di tempat-tempat yang serba lambat. (DIS)